Hasil penelitian harta calon Dirjen Pajak yang dilakukan KPK dan PPATK atas permintaan Panitia Seleksi (Pansel) Calon Dirjen Pajak perlu dimanfaatkan dengan lebih arif oleh Pansel. Hal tersebut sebaiknya hanya dimanfaatkan untuk mengetahui apakah sang kandidat sudah sepenuhnya mematuhi Kode Etik atau belum.
Ukuran kepatuhan terhadap Kode Etik hendaknya bukan dilihat dari banyaknya harta yang sekarang dimiliki, tapi dilihat dari pertambahan harta setelah berlakunya Kode Etik dan ada tidaknya transaksi keuangan mencurigakan setelah berlakunya Kode Etik.
Banyaknya pertambahan harta setelah berlakunya Kode Etik bagi kandidat yang sebelumnya sudah memiliki harta yang cukup besar juga masih perlu diteliti asal muasalnya. Mungkin saja penambahan harta yang luar biasa tersebut berasal dari keuntungan bermain saham di pasar modal atau dari bisnis properti.
Mengapa saat perolehan harta perlu dikaitkan dengan saat berlangsungnya Kode Etik? Tujuannya agar kita tidak sampai kehilangan kandidat yang sangat potensial memimpin Direktorat Jenderal Pajak (DJP) gara-gara mempersoalkan hartanya yang berlimpah padahal harta itu diperoleh pada saat menerima uang dan lain-lainnya dari wajib pajak (WP) belum dianggap sebagai perbuatan terlarang.
Sebelum berlakunya Kode Etik di DJP, menerima uang dari WP tidak dianggap sebagai perbuatan terlarang atau dosa. Kebanyakan uang itu muncul dari kebijakan apar pajak menindaklanjuti temuan penyimpangan yang dilakukan oleh WP. Ketika ditemukan bahwa WP tidak sepenuhnya memnuhi kewajiban, ada kalanya fiskus harus mengambil jalan tengah agar temuan itu menghasilkan penerimaan bagi Negara.
Untuk memastikan itu, terkadang aparat pajak harus berunding dengan WP dengan kemungkinan akan sedikit mengalah agar ketetapan pajak yang akan diterbitkan benar-benar akan dilunasi. Perundinga yang menghasilkan kesepakatan terkadang menghasilkan kick back bagi fiskus, meskipn tidak selalu. Kick back inilah yang pada saat itu tidak dinggap sebagai hal yang haram.
Kandidat Dirjen Pajak sekarang sangat wajar memiliki harta yang lumayan besar hasil kick back tersebut apabila sempat menduduki jabatan basah, seperti Kepala Seksi PPh Badan, Kepala Seksi PPN, apalagi sebagai Kepala KPP sebelum berlakunya Kode Etik.
Baru jadi budaya
Kick back baru dinyatakan haram setelah Menteri Keuangan memberlakukan kode etik di DJP melalui KMK Nomor 222/KMK.03/2002 tanggal 14 Mei 2002. Kode Etik adalah semacam pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan yang mengikat pegawai dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya serta dalam pergaulan hidup. Di dalamnya tercantum kewajiban dan larangan. Salah satu larangan adalah menerima segala pemberian atau penghargaan dalam bentuk apapun, termasuk yuang, saham atau surat berharga lainnya, komisi, hadiah, cindera mata, hiburan, jamuan, perjalanan wisata, sponsorship, dan jasa lainnya dari WP.
Melalui PMK No. 1/PM.3/2007 tanggal 23 Jul 2007, larangan menerima kick back atau uang haram kemudian diperluas tidak lagi dibatasi hanya dari WP, tapi juga sesame pegawai dan pihak lain.
Pada awalnya Kode Etik hanya berlaku bagi pegawai yang bekerja pada unit-unit kerja tertentu. Kode Etik baru benar-benar dinyatakan berlaku untuk seluruh pegawai DJP setelah terbitnya PMK Nomor 33/PMK.3/2007 yang berlaku surut sejak tanggak 1 Januari 2007. Penegasan tentang berlakunya Kode Etik bagi semua pegawai DJP ditegaskan juga oleh UU KUP No 28 Tahun 2007 yang diundangkan pada tangga 17 Juli 2007.
Oleh karena itu, meskipun berdasarkan undang-undang korupsi atau hukum pidana menerima kick back itu sudah dulu termasuk sebagai perbuatan terlarang, tapi secara “budaya” hal tersebut baru benar-benar dianggap sebagai perbuatan terlarang sejak 2007.
Akan sangat bijaksana apabila Pansel tidak mempersoalkan besarnya harta yang dimiliki oleh para kandidat, tapi lebih memperhatikan kapasitas dan kompetensi untuk memimpin DJP serta tingkat kepatuhannya terhadap Kode Etik dalam tujuh tahun terakhir.
Kalau kita berpikir ekstrem, sebenarnya kandidat yang sudah memiliki harta berlimpah dan patuh terhadap Kode Etik justru paling aman menjadi DJP-1. Tantangan terberat mematuhi Kode Etik justru akan dialami oleh kandidat yang lebih “miskin”.
Sumber : Kontan
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak

Tinggalkan komentar