Kemauan besar membutuhkan kemampuan yang juga besar. Jangan sampai keinginan banyak, tapi kemampuan keuangan tak mencukupi. Karena itulah, pemerintah mau tak mau harus mendongkrak pendapatan demi membiayai anggaran pelbagai program prioritas.
Memang, pemerintah menurunkan anggaran belanja. Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2015, pemerintah mengalokasikan anggaran belanja Negara sebesar Rp 1.994,9 trilliun. Nilai ini turun Rp 44,6 trilliun dibandingkan dengan alokasi anggaran belanja negara dalam APBN 2015. Penurunan anggaran belanja dilakukan pemerintah melalui penghematan anggaran subsidi bahan bakar minyak (BBM): pemberlakuan subsidi tetap untuk solar dan penghapusan subsidi bensin premium.
Di sisi pendapatan, dalam RAPBN-P 2015 pemerintah menargetkan pendapatan negara sebesar Rp 1.765,97 trilliun. Nilai ini juga menurun Rp 24,6 trilliun dibandingkan dengan target pendapatan dalam APBN 2015 yang dipatok oleh pemerintahan SBY dan DPR lama sebesar Rp 1.793,59 trilliun. Pengecilan target ini berasal dari penurunan target penerimaan negara bukan pajak (PNBP) menjadi sebesar Rp 281,01 trilliun. Dalam APBN 2015, pemerintah mematok target PNBP sebesar Rp 410,34 trilliun. Penurunan target ini berdasar asumsi harga minyak anjlok.
Untuk mengompensasi penurunan PNBP, mau tak mau pemerintah harus mendongkrak penerimaan perpajakan. Dalam RAPBN-P 2015, pemerintah mematok target pendapatan perpajakan sebesar Rp 1.484,59 trilliun. Nilai ini melonjak Rp 104,6 trilliun dibandingkan target penerimaan perpajakan dalam APBN 2015.
Menambah target pemerimaan pajak tampaknya bukan perkara sulit. Soal realisasi nanti, belum tentu. Jangan lupa, realisasi penerimaan pajak tahun 2014 lalu hanya Rp 1.143,3 trilliun. Artinya, jika dibandingkan realisasi penerimaan pajak tahun lalu, pemerintah harus menggenjot tambahan penerimaan pajak hingga Rp 341,29 trilliun. Bukan perkara mudah.
Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak harus menanggung beban berat. Maklum, dalam beberapa tahun terakhir, realisasi penerimaan pajak tidak pernah mencapai target. Apalagi, target tahun ini luar biasa tinggi. Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, mengatakan, rasio pajak Indonesia saat ini sebesar 12%. Artinya, baru 12% jumlah penduduk yang membayar pajak. Sebagai negara berkembang, seharusnya Indonesia punya rasio pajak 16%. Nah, bila dihitung berdasarkan produk domestic bruto (PDB) saat ini, nilai penerimaan pajak dan bea cukai seharusnya mencapai kisaran Rp 1.700 trilliun. Dibandingkan dengan realisasi penerimaan pajak tahun lalu, Bambang bilang, masih kesenjangan Rp 600 trilliun yang belum digali.
Namun, mencapai tambahan pajak Rp 600 trilliun dalam waktu satu tahun jelas bukan sulapan. Karena itu, Bambang bilang, pemerintah mematok target ini di kisaran Rp 1.480 trilliun. “Ini menjadi tantangan bagi kami,” kata Bambang.
Menurut Pak Menteri, pemerimaan pajak masih rendah lantaran kepatuhan wajib pajak (WP) juga rendah. Sepanjang tahun lalu, penerimaan pajak dari WP orang pribadi (OP) karyawan mencapai Rp 100 trilliun. Namun, penerimaan pajak dari WP OP non-karyawan Cuma Rp 5 trilliun.
Berbagai Strategi
Bambang mengatakan, ada WP yang sudah membayar pajak. Namun, pembayaran pajaknya tak sesuai seharusnya. “Ada yang berusaha menyembunyikan potensi pajak yang sebenarnya,” kata Bambang.
Mardiasmo, Wakil Menteri Keuangan sekaligus Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pajak mengatakan, untuk menjaring WP OP non-karyawan, Ditjen pajak akan melakukan operasi pasar. Aparat pajak akan menyisir para professional yang memiliki usaha sendiri. Misalnya, dokter yang punya klinik, artis yang punya rumah produksi, atau pengacara yang punya kantor pengacara sendiri.
Untuk meningkatkan kepatuhan WP badan, Mardiasmo mengatakan, Ditjen pajak akan membentuk pusat analisis pajak yang bertugas memelototi kepatuhan WP bada
n di tiap sektor usaha. Di tiap sektor, Ditjen pajak akan menerjunkan 10 orang dalam pusat analisis tersebut. Mereka akan melakukan analisis usaha di tiap sektor, memeriksa kepemilikan nomor pokok wajib pajak (NPWP), dan menyusun profil tiap sektor usaha. Dari profil tersebut, Ditjen pajak bisa membuat acuan alias benchmark margin setiap sektor usaha. “Jika rata-rata margin sektor usaha 15%, kok ada perusahaan marginnya Cuma 5%, tentu akan kami tanyakan,” kata mardiasmo.
Khusus untuk sektor usaha kecil dan menengah (UKM), Kementrian Keuangan akan mengusulkan revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013 yang mengatur pajak final 1% untuk UKM. Sebab, tak sedikit pelaku UKM menyalahgunakan aturan tersebut. Mereka yang sebelumnya menggunakan tarif pajak umum malah membayar tarif 1% mengikuti aturan tersebut. “Aturan pajak final 1% semestinya untuk pelaku UKM yang belum punya pembukuan,” kata Mardiasmo.
Selain itu pemerintah juga akan memasang cash register alias mesin kasir disetiap pelaku usaha ritel. Mesin kasir tersebut akan dihubungkan secara online dengan kantor pajak. Dengan begitu, pelaku usaha tidak bisa mengelabui transaksi jual-beli. “Kami juga akan mengoptimalkan penerimaan pajak dari transaksi online,” kata Mardiasmo.
Untuk meningkatkan pajak pertambahan nilai (PPN), pemerintah juga berencana mengenakan pajak bagi pengguna jasa listrik dengan daya 2.200 watt hingga 6.600 watt. Selama ini pengguna jasa listrik dengan daya diatas 6.6600 watt sudah dikenakan PPN. Selain itu, Mardiasmo bilang, pemerintah juga berencana mengenakan pajak bagi pengguna jalan tol.
Dia menambahkan, pemerintah juga akan mengusulkan perluasan obyek pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM). Rencananya, beberapa barang mewah seperti sepatu, tas, maupun perhiasan akan dikenai PPnBM.
Selain kepatuhan, Ditjen Pajak juga akan meningkatkan penegakan hukum. Ini dilakukan melalui berbagai upaya seperti pencekalan, pencegahan ke luar negeri, maupun penyidikan terhadap WP yang tidak patuh. Bambang menambahkan, pemerintah juga akan meningkatkan akses data WP untuk melacak data WP dan mencegah Transfer pricing.
Gunadi, pengamat pajak dari Universitas Indonesia, menilai, kenaikan target penerimaan pajak sebesar 30% pada tahun ini sangat berat. Sebab, biasanya target penerimaan pajak cuma naik 20%. “Kalau target cuma naik 20% mungkin masih bisa tercapai,” kata Gunadi.
Jelas ini menjadi tantangan Dirjen Pajak yang baru. Karena itu, Gunadi mengatakan, presiden dan wakil presiden harus memberikan dukungan penuh bagi Dirjen Pajak yang baru nanti. Sebab, selama ini Dirjen Pajak kurang memperoleh dukungan maksimal.
Senada itu, pengamat pajak Darussalam mengatakan, sulit bagi Ditjen Pajak mencapai target tahun ini. Ditjen Pajak harus memperoleh kapasitas lebih besar baik dari sisi kewenangan kelembagaan, kewenangan organisasi, maupun kewenangan rekrutmen SDM. Ditjen Pajak juga perlu membentuk direktorat khusus untuk peraturan perpajakan internasional. Sebab, separuh penerimaan pajak berasal dari perusahaan multinasional yang melakukan transaksi antarnegara.
Selain itu, pemerintah perlu memperluas objek pajak. Pajak warisan, pajak bagi perusahaan yang mau berekspansi ke luar negeri, serta pajak atas transaksi spekulatif di pasar keuangan bisa dikenai tarif yang tinggi. “Tiga objek pajak ini sudah menjadi international best practices,” kata Darussalam.
Pendek kata, pemerintah harus bekerja ekstra keras dan ekstra cerdas.
Sumber: Kontan
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak
Tinggalkan komentar