Memburu Para Penunggak Piutang Negara

Piutang negara mencapai Rp 259,8 triliun yang sebagian berstatus macet.

Hasil Indonesia Corruption Watch (ICW) membedah Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2013 menemukan fakta yang mengejutkan. Angka piutang negara tahun lalu membengkak 16,7% menjadi Rp 259,8 triliun ketimbang tahun sebelumnya yang sebesar Rp 225,5 triliun.

6

Perinciannya: piutang pajak mencapai Rp 103,2 triliun dan piutang bukan pajak sebesar Rp 147,7 triliun. Temuan ICW yang dirilis pertengahan November 2014 lalu tersebut menyebutkan, piutang pajak terbanyak ada di Direktorat (Ditjen) Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemkeu) senilai Rp 77,3 triliun, lalu di Ditjen Bea dan Cukai Kemkeu Rp 25,8 triliun.

Sedang piutang bukan pajak paling banyak ada di Bendahara Umum Negara sebesar Rp 115,5 triliun, kemudian Kejaksaan Agung Rp 13,2 triliun, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rp 11,6 triliun, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) Rp 3,2 triliun, serta Kementerian Kehutanan Rp 2,3 triliun.

Gawatnya, sebagian besar piutang negara tersebut masuk kategori macet dan sudah kedaluwarsa masa penagihannya lantaran sudah lebih dari lima tahun. Sebut saja, piutang di Ditjen Pajak yang berkualitas macet mencapai Rp 42,5 triliun dan piutang kedaluwarsa Rp 23,4 triliun. “Tanpa kesungguhan dan keberanian pemerintah, piutang negara sebesar Rp 259,8 triliun itu akan hilang dan tidak tertagih,” kata Firdaus Ilyas, Koordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran Indonesia ICW.

Banyak hal yang menyebabkan penagihan piutang negara rendah, mulai ketidakseriusan pemerintah dalam menagih, masalah klise keterbatasan pegawai, sampai campur tangan kekuatan pihak ketiga yang menjadikan Ditjen Pajak tak berdaya menembus penunggak pajak korporasi terutama pertambangan. Padahal, pemerintah punya instrumen hukum untuk menindak tegas para penunggak pajak.

Undang-Undang (UU) nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara menyatakan, prinsip pertama yang dianut dalam pengurusan piutang Negara adalah due prcess of law. Maksudnya, pemrintah memanggil debitur untuk menyampaikan bukti terkait dengan utang dan cara penyelesaiannya.

Jika debitur sepakat mengenai jumlah utang dan cara penyelesaiannya (mengangsur atau membayar sekaligus), maka dibuat pernyataan bersama. Tapi, kalau debitur tidak mampu melunasi utangnya, ditawarkan alternative penyelsaian lain. Misalnya, debitur diberi kesempatan menjual sendiri barang jaminan dan penjamin utang diberi kesempatan melakukan penebusan.

Selain pendekatan noneksekusi, pemerintah memiliki kewenangan untuk melakukan penagihan sekaligus dengan surat paksa, penyitaan, dan pelelangan barang jaminan. Wewenang lainnya adalah melakukan pencegahan debitur bepergian ke luar negeri, lalu pemblokiran harta kekayaan lain termasuk rekening di bank, serta paksa badan.

Batas akhir

            Tak mau ada lagi piutang bukan pajak tahun ini, Kementerian ESDM mengambil langkah tegas dengan mengultimatum perusahaan pertambangan, agar melunasi tunggakannya paling telat akhir 2014 nanti. Piutang bukan pajak itu berasal dari iuran royalty serta iuran tetap kontrak karya (KK), izin usaha pertambangan (IUP), dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B). “Kebijakannya ketat, batas waktu pembayaran royalty dan iuran tetap Oktober lalu, sisanya harus lunas sampai akhir tahun ini,” kata R.Sukhyar, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM.

Kalau tidak melunasi tunggakan, Kementerian ESDM tak bakal mengeluarkan surat rekomendasi kepada perusahaan tambang sebagai syarat bisa mengekspor produknya. Ya, untuk mengantongi rekomendasi dari Kementerian ESDM dan eksportir terdaftar (ET) dari Kementerian Perdagangan supaya bisa melakukan ekspor, perusahaan tambang mesti membereskan dulu iuran royalti dan tetap sesuai besaran yang disepakati. Tapi, ada keringanan jika perusahaan tidak punya uang, boleh memakai bank garansi.

Tak cuma iuran, Sukhyar menambahkan, perusahaan tambang juga harus membuat fakta integritas, yang intinya patuh terhadap kebijakan pemerintah. “Ketentuan baru soal royalti ini membut mereka kebakaran jenggot. Tapi, pemerintah, kan, harus tegas agar pemasukan Negara optimal,” ujar dia.

Ladjiman Damanik, direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo), bilang, pengusaha tambang pasti melunsai tunggakannya. Sebab kalau tidak, mereka tidak bisa melakukan ekspor. “Teman-teman pun sudah paham, sehingga mau tidak mau mereka harus menaati,” kata Ladjiman.

Ladjiman menambahkan, pemerintah harus berlaku adil soal iuran royalti ini. Soalnya, pemegang IUP yang rata-rata pengusaha local ditarik iuran royalti lebih tinggi ketimbang pemilik KK semacam PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara. Padahal Peraturan Pemerintah (PP) No. 9/2012 tegas menyatakan, pemegang KK harus membayar royalti sebesar 2,75%, tapi tariff yang dipakai masih mengacu di ketentuan KK. Alhasil, Freeport Cuma menyetor royalti 1%, sedang royalti pemegang IUP 3% sampai 7%.

Sementara, Ditjen Pajak berjanji bakal sekuat tenaga melakukan penagihan kepada para penunggak pajak. Tapi, menurut Wahyu K. Tumakaka, Direktur Penyuluhan dan Pelayanan dan Humas Ditjen Pajak, mengejar piutang pajak bukanlah perkara mudah. “Banyak wajib pajak tidak diketahui lagi rimbanya,” ucapnya. Contoh, wajib pajak badan usahanya bangkrut. Pemiliknya seakan lenyap ditelan bumi, sehingga butuh kerja ekstra untuk melacaknya.

Cuma, Wahyu menegaskan, selagi wajib pajak yang menunggak pajak jelas posisinya, enggak ada alasan bagi Ditjen Pajak menunda eksekusi. Juru sita bakal segera melakukan penyitaan aset jika sampai batas waktu yang ditentukan mereka tak kunjung bayar.

Cara lainnya, Ditjen Pajak menggandeng penegak hokum, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian RI (Polri), untuk menyelesaikan tunggakan pajak. “Permohonan cegah pun sudah kami layangkan agar mereka tidak kabur ke luar negeri,” kata Wahyu.

 

Piutang Kedaluwarsa

Terkait piutang Negara yang kedaluwarsa, Wahyu menerangkan, penyelesaiannya merujuk UU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) yang terbaru. Piutang pajak masuk kategori kedaluwarsa kalau sudah berumur lima tahun dan belum dilunasi. Dalam ketentuan sebelumnya, piutang pajak kedaluwarsa berjangka waktu 10 tahun.

Artinya, bila samapi lima tahun wajib pajak tidak melunasi tunggakan pajaknya, maka pemerintah bisa memutihkan atau menghapusnya. Dan, itu tadi, nilai piutang pajak yang kedaluwarsa enggak sedikit, mencapai Rp23,4 triliun.

Meski begitu, PP No 14/2005 menyebutkan, penghapusannya hanya bisa dilakukan setelah piutang tersebut diurus secara optimal oleh Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN). Usulan penghapusan diajukan menteri ke Presiden dengan persetujuan DPR unutk jumlah lebih dari Rp100 miliar per debitur.

Sedang penyelsaian piutang bukan pajak di Kemkominfo, Yan Rianto, Direktur Pengendalian Pos dan Informatika Kemkminfo, bilang, sesuai aturan main di PP No. 22/2005 tentang Pemeriksaan Penerimaan Negara Bukan Pajak. Bagi para penunggak, Kemkominfo akan memberikan teguran hingga tigs kali, dengan selang waktu masing-masing sebulan.

Dari situlah, Kemkominfo kemudian menetapkan statusnya, apakah tagihan lancer atau macet. “Kalau macet akan dilimpahkan ke PUPN,” ujar Yan. Piutang Negara di Kemkominfo berasal dari biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi serta pengenaan denda.

Menurut Yan, mereka yang menunggak setoran bukan pajak di Kemkominfo, misalnya, akibat proyeksi usaha meleset, proyek gagal, atau kalah bersaing, sehingga keuangan perusahaan terganggu. Meski begitu, penagihan jalan terus.

Betul. Jangan menyerah, kejar terus sampai dapat. “Kalau pemerintah berani menaikkan ruang fiscal dari subsidi, maka seyogianya berani juga menagih piutang Negara. Ini sebagai kompensasi ditariknya subsidi untuk rakyat,” kata Firdaus.

 

Sumber: Kontan

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com



Kategori:Berita Pajak

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar