CANBERRA. Australia berusaha menutup celah bagi perusahaan raksasa multinasional yang selalu menghindari pembayaran pajak di negara tersebut. Pemerintah Australia, Selasa (12/5), mengusulkan pemberlakukan undang-undang (UU) baru terkait hal ini kepada Parlemen Australia.
Kelak dengan UU yang baru, Australia akan memburu perusahaan dengan total pendapatan global lebih dari A$ 1 miliar, yang terbukti tidak membayar pajak dari aktivitasnya di negara Kanguru. Bahkan, “Di bawah UU yang baru, perusahaan yang curang itu harus membayar dua kali lipat dari pajak terutang, ditambah denda bunga,” tandas Joe Hockey, Menteri Keuangan Australia dihadapan Parlemen seperti diberitakan Reuters, kemarin.
Saat ini, lanjut Hockey, Australia sudah mengidentifikasi 30 perusahaan internasional yang terindikasi memindahkan hasil keuntungan yang dihasilkan di Australia tanpa mau membayar pajak.
Lewat aturan baru itu, Australia ingin mengikuti jejak Inggris yang berani bertindak keras terhadap perusahaan multinasional, semisal Google Inc (GOOGL.O), Apple Inc (AAPL.O) dan Microsoft Corp (MSFT.O). Perusahaan-perusahaan tersebut, terindikasi kerap memindahkan laba ke yurisdiksi tanpa pajak atau yang memiliki pungutan pajak lebih rendah.
Unit usaha ketiga perusahaan global tersebut kini tengah diperiksa (under review) oleh Kantor Pajak Australia alias Australian Ta Office (ATO) terkait aktivitas transfer pricing. Lewat aktivitas ini, ketiga perusahaan berusaha mengerdilkan nilai tagihan pembayaran pajak dengan cara menggelembungkan transaksi barang modal dari induk kepada unit usaha di Asutralia, sehingga keuntungan kian menipis.
Di bawah kepemimpinan Australia tahun lalu, Kelompok 20 (G20) telah menyepakati standar umum mengenai pertukaran informasi rekening perbankan.
Asal tahu saja, pendapatan Apple di Australia pada tahun 2013 tercatat sebesar A$ 6,1 miliar. Angka ini tumbuh 74,28% dari tahun 2010 yang sebesar A$ 3,5 miliar. Dari jumlah itu, total pendapatan pajak yang hilang diperkirakan masing-masing sebesar A$ 166 juta dan A$ 240 juta pada setiap periode itu.
“Saya pikir, jika ingin benar-benar ingin melindungi kepentingan pajaknya, Australia harus berfikir mengenai tindakan sepihak,” ucap Anthony Ting, Profesor di Sydney University.
Namun, usul Ting tentu saja bukan tanpa risiko. Sebab, “Ini tidak bijaksana dan keliru. Semua perjanjian sudah ada dalam aturan OECD,” kata George Barker, ahli perpajakan dan ekonom di Australian National University’s Center for Law and Economics.
Sumber: Kontan
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak

Tinggalkan komentar