Di Tengah Kelesuan Masih Bisa Mengharapkan Cuan

21Tekanan di bisnis properti seakan tiada akhir. Di tengah kelambatan ekonomi dan penurunan daya beli masyarakat, pasar properti menghadapi batu sandungan dari aturan baru perpajakan.

Padahal, saat ini sektor properti belum benar-benar bangkit setelah sepanjang tahun lalu terpukul oleh suku bunga tinggi dan kebijakan loan to value (LTV) untuk kredit pemilikan rumah (KPR). Alih-alih menggeliat, pasar properti selama tiga bulan pertama tahun ini justru makin lesu. Maklum, penurunan daya beli masyarakat berimbas ke hampir semua sektor, tak terkecuali sektor properti.

Kelesuan kinerja sektor properti tercermin pada hasil survey harga properti residensial yang dirilis Bank Indonesia (BI) pekan lalu. Berdasarkan survei yang digelar terhadap pengembang proyek perumahan di 16 kota di Indonesia ini, pertumbuhan harga properti residensial pada kuartal I-2015 melambat dibandingkan dengan kuartal IV-2014.

Gejala ini berlangsung sejalan dengan pertumbuhan penjualan properti residensial yang melambat. Dibandingkan kuartal sebelumnya, penjualan rumah tapak pada kuartal I-2015 tumbuh 26,62%. Padahal, kuartal IV tahun lalu penjualan rumah tapak masih tumbuh 40,7%.

Penjualan nan lesu juga tampak dari penyaluran KPR dan kredit pemilikan apartemen (KPA) yang letoi. Penyaluran KPR dan KPA dalam tiga bulan pertama tahun ini cuma Rp 317,8 triliun, tumbuh 0,12% dibandingkan kuartal sebelumnya. Padahal, penyaluran kredit properti pada kuartal IV-2014 masih tumbuh 2,56% dibandingkan kuartal sebelumnya. Berdasarkan survey tersebut, BI memproyeksikan kenaikan harga dan pertumbuhan penjualan properti residensial masih terus tertahan hingga kuartal II-2015.

Penurunan penjualan properti jelas bakal berdampak negatif bagi emiten di sektor properti. Pada saat yang sama, emiten properti bakal terpapar sentimen negatif dari aturan baru pajak penghasilan (PPh) pasal 22. Yaitu, tentang pungutan pajak penghasilan dari pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah.

Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 90/PMK/03/2015 yang terbit akhir bulan lalu, pemerintah memperluas objek yang terkena PPh pasal 22. Dalam beleid lawas, properti yang tergolong barang sangat mewah adalah rumah beserta tanah dengan harga jual di atas Rp 10 miliar dan luas bangunan lebih dari 500 m2. Sedangkan apartemen disebut sangat mewah jika harga jual lebih Rp 10 miliar dan atau luas bangunan lebih dari 400 m2.

Berdasarkan beleid anyar yang mulai berlaku akhir bulan ini, rumah disebut sangat mewah jika harga jual lebih dari Rp 5 miliar atau luas bangunan lebih dari 400 m2. Sedangkan apartemen yang tergolong sangat mewah dengan harga jual lebih dari Rp 5 miliar atau luas bangunan lebih 150 m2. Nah, pembeli yang masuk kategori sangat mewah ini akan dikenai PPh pasal 22 dengan tarif 5%.

Tak cuma itu, kinerja emiten properti harus siap tertekan lebih dalam akibat rencana pemerintah merevisi aturan pajak penjualan barang mewah (PPnBM). Rencananya, pemerintah akan memperluas batasan penjualan properti yang terkena PPnBM dengan tarif 20%. Meskipun belum kunjung terbit, perubahan aturan ini juga menjadi sentimen negatif yang bakal mendera emiten properti.

Analis Ciptadana Securities Maula Adini Putri menilai aturan pajak yang baru akan berdampak negatif bagi pengembang properti. Sebab, kebijakan perpajakan ini bakal membikin permintaan properti tahun ini lebih melambat.

Dalam riset 8 Mei 2015, analis Mandiri Sekuritas Liliana S. Bambang, menganalisis, dampak aturan baru PPh 22 sebetulnya kecil. Dengan tarif 5%, PPh 22 hanya menambah harga jual properti sebesar 5%. Liliana justru lebih mengkhawatirkan perubahan aturan PPnBM yang mengenakan tarif 20% dari harga jual properti. “Kebijakan pajak akan memperlambat sektor properti,” tukasnya.

Masih prospektif

15Bagi emiten properti, aturan baru PPh 22 tidak akan terlalu banyak berdampak. Analis Samuel Sekuritas Indonesia Akhmad Nurcahyadi mengatakan, porsi produk properti dengan harga di atas Rp 5 miliar rata-rata hanya 25%-30% dari total produk yang ditawarkan emiten properti. Karena itu, penurunan penjualan akibat aturan baru pajak tergantung pada masing-masing emiten yang menjual unit hunian di atas Rp 5 miliar.

Meski diterpa berbagai sentimen negatif, emiten properti tahun ini bakal memperoleh sedikit angin segar. Rencananya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan melonggarkan aturan LTV. Namun, hingga saat ini, relaksasi aturan LTV akan berdampak positif bagi sektor properti. Maklum, perlambatan sektor properti tahun lalu salah satunya disebabkan aturan LTV.

Akhmad menilai, pelonggaran aturan LTV memang akan positif bagi emiten yang menjajakan produk untuk segmen menengah bawah. Namun, bagi emiten besar, pelonggaran LTV tidak berdampak banyak. Pasalnya, emiten besar biasanya tidak menjual produk melalui KPR. “Sebanyak 80% emiten besar menjual produk secara tunai maupun installment,” kata dia.

Secara umum, Suria menganggap prospek emiten sektor properti masih bagus. Meski pertumbuhan penjualan properti melambat, permintaan masih tetap banyak. Buktinya, emiten properti tidak merevisi target prapenjualan alias marketing sales pada tahun ini.

Di mata para analis, setidaknya ada tiga emiten properti yang sahamnya masih layak dikoleksi. Yaitu : PT Summarecon Agung Tbk, PT Bumi Serpong Damai, Tbk, dan PT Pakuwon Jati Tbk. Simak rekomendasi para analis tersebut.

Dalam tiga bulan pertama tahun ini, Summarecon Agung membukukan pendapatan bersih Rp 938,2 miliar, naik 0,4% dibandingkan dengan periode sama tahun 2014. Sayang, laba bersih emiten dengan kode saham SMRA ini turun 10% menjadi Rp 247,25 miliar.

Direktur sekaligus Sekretaris Perusahaan SMRA Michael Yong mengatakan, penurunan laba bersih dikarenakan adanya kenaikan beban bunga atas utang bank dan utang obligasi. Sepanjang kuartal I-2015, beban bunga utang meningkat 94% menjadi Rp 113 miliar.

Toh, SMRA sepanjang kuartal I ini sudah mengantongi marketing sales sebesar Rp 1,2 triliun. Hasil prapenjualan ini tumbuh 84,6% dibandingkan periode sama tahun 2014. Alhasil, realisasi marketing sales sudah mencapai 21,8% dari target tahun ini sebesar Rp 5,5 triliun.

SMRA tampaknya tidak khawatir dengan penerapan aturan baru PPh 22 pada akhir bulan ini. Sebab, Michael mengatakan, produk SMRA dengan harga di atas Rp 5 sudah mencapai 21,8% dari target tahun ini sebesar Rp 5,5 triliun.

SMRA tampaknya tidak khawatir dengan penerapan aturan baru PPh 22 pada akhir bulan ini. Sebab, Michael mengatakan, produk SMRA dengan harga di atas Rp 5 miliar sangat sedikit dibandingkan total produk yang dipasarkan tahun ini. Tahun ini, SMRA juga tidak memasarkan rumah dengan luas lebih dari 400 m2 maupun apartemen dengan luas lebih dari 150 m2.

Untuk mencapai target marketing sales tahun ini, SMRA masih mengandalkan pengembangan proyek Summarecon Kelapa Gading, Summarecon Serpong, dan Summarecon Bekasi. Selain itu, SMRA akan meluncurkan proyek baru yang berlokasi di Bandung. Proyek Summarecon Bandung ini ditargetkan menyumbang prapenjualan senilai Rp 800 miliar pada tahun ini.

Dengan mengandalkan sejumlah proyek itu, SMRA menargetkan pertumbuhan pendapatan 15%-20% pada tahun ini. Michael bilang, SMRA akan memastikan produk yang telah dipasarkan selesai tepat waktu. Maklum, pendapatan atas produk rumah baru bisa diakui setelah proyek rampung 100%.

Suria menilai, SMRA selama ini selalu menyelesaikan proyek dengan tepat waktu. Selain itu, kualitas produk juga bagus. Sedangkan Akhmad menganggap SMRA konsisten dalam berekspansi dengan terus meningkatkan tabungan lahan alias landbank demi memperbesar ruang untuk perluasan proyek.

Di tengah sentimen negatif dari aturan PPh 22, Akhmad melihat, SMRA punya kemampuan diversifikasi risiko proyek. Ia pun menerka, penjualan SMRA tahun ini sebesar Rp 6,13 triliun dengan perolehan laba bersih Rp 2,01 triliun.

Baik Akhmad maupun Suria memberi rekomendasi beli saham SMRA dengan target harga Rp 2.150 per saham. Rabu (13/5) lalu, harga saham SMRA masih Rp 1.865 per saham.

Hingga tulisan ini naik cetak, Bumi Serpong Damai belum merilis laporan keuangan. Namun, sepanjang tiga bulan pertama tahun ini, emiten dengan kode saham BSDE ini sudah membukukan marketing sales senilai Rp 2,2 triliun, naik 27% dibandingkan periode sama tahun lalu. Artinya, realisasi marketing sales BSDE sudah mencapai hampir 30% dari target tahun ini sebesar Rp 7,5 triliun.

Direktur dan Sekretaris Perusahaan BSDE Hermawan Wijaya, optimistis, target marketing sales tahun ini bisa tercapai. Aturan baru PPh pasal 22, menurut dia, tidak akan berdampak terlalu besar terhadap perolehan pra-penjualan. Sebab, tahun ini, BSDE tidak menjajakan rumah tapak dengan luas di atas 400 m2.

Selain itu, jumlah unit dengan harga di atas Rp 5 miliar dibandingkan total unit yang dipasarkan BSDE kurang dari 10%. “Kami juga masih bisa menjual unit itu dengan memperkecil ukurannya,” kata dia.

Tahun ini, BSDE masih mengandalkan pengembangan BSD City yang pada kuartal I tahun ini menyumbang marketing sales Rp 1,94 triliun. Selain itu, BSDE mengandalkan proyek hunian Nava Park yang merupakan hasil kerjasama dengan Hongkong Land, Dalam lima tahun mendatang, proyek Nava Park diharapkan mendatangkan angka penjualan hingga Rp 5 triliun.

Proyek lain yang menjadi unggulan BSDE adalah Indonesia Convention Exibition (ICE). Hasil kerjasama dengan Dyandra. Lalu, proyek AEON Mall yang akan dirilis bulan ini.

Maula menilai, kinerja BSDE masih bagus karena penjualan rumah disesuaikan dengan daya beli masyarakat. Selain punya tabungan lahan cukup besar, kondisi keuangan BSDE cukup solid. Ia pun menaksir, BSDE akan mampu meraup pendapatan Rp 6,5 triliun dan laba bersih Rp 4,3 triliun tahun ini.

Meski memiliki kinerja dan prospek bagus, Suria mengingatkan, BSDE sering melakukan aksi korporasi yang dapat menganggu harga sahamnya. Investor juga harus hati-hati karena BSDE kerap melakukan transaksi afiliasi.

Seperti diketahui, pada Maret lalu BSDE menggelar penambahan modal tanpa hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD) alias private placement senilai Rp 1,65 triliun. BSDE juga berencana menerbitkan obligasi global senilai US$ 225 juta melalui anak usahanya di Singapura, Global Prima Capital Pte Ltd.

14Suria memasang target harga Rp 2.450 per saham dengan rekomendasi beli saham BSDE. Maula juga memberi rekomendasi beli dengan target harga Rp 2.240 per saham. Rabu (13/5) lalu, harga saham BSDE masih Rp 1.945 per saham.

Sepanjang tiga bulan pertama tahun ini, Pakuwon Jati mencetak kenaikan pendapatan sebesar 41% menjadi Rp 1,16 triliun. Namun, laba bersih emiten dengan kode PWON ini turun 15% menjadi Rp 328 miliar. Direktur Keuangan dan Sekretaris Perusahaan PWON Minarto Basuki bilang, laba bersih turun lantaran ada rugi selisih kurs. “Laba bruto kami naik 43,6% menjadi Rp 686,7 miliar,” katanya.

Hingga akhir April lalu, PWON mengantongi marketing sales sebesar Rp 1,56 triliun atau 45,8% dari target 2015 sebesar Rp 3,4 triliun. Minarto yakin, target prapenjualan tahun ini bakal tercapai. Aturan baru PPh pasal 22 juga tidak bakal berdampak besar. Sebab, Pakuwon tidak menjajakan rumah tapak dengan luas di atas 400 m2 ataupun apartemen dengan luas lebih dari 150 m2. Sementara, unit dengan harga di atas Rp 5 miliar tidak sampai 20% dari total unit yang dijual PWON pada tahun ini.

Minarto mengatakan, PWON tengah menggarap proyek Kota Kasablanka tahap II dan Tunjungan City tahap V. Kasablanka Tower II akan meluncur semester II-2015. Pakuwon juga akan merilis kluster baru di Pakuwon City.

Untuk menjaga pendapatan, PWON juga mengandalkan pendapatan berulang alias recurring income dari berbagai aset propertinya, seperti pusat perbelanjaan ritel Tunjungan Plaza maupun Sheraton Hotel di Gandaria City. “Pendapatan berulang kami mencapai 46% dari total pendapatan per kuartal I 2015,” ujar Minarto.

Maula menilai, PWON memiliki pusat perbelanjaan yang bisa menyumbang pendapatan berulang cukup tinggi. Sehingga, ketika marketing sales tidak begitu bagus, pendapatan berulang masih bisa menopang pendapatan keseluruhan.

Di tengah perlambatan penjualan properti, analis BNI Securities Thendra Chrisnandra melihat, PWON diselamatkan oleh pendapatan berulang yang cukup bagus. Selain itu, dengan tabungan lahan yang besar di Surabaya, PWON menyimpan prospek cerah. Maklum, permintaan properti di Surabaya masih tinggi dan belum jenuh seperti di Jabodetabek.

Maula memperkirakan, pendapatan PWON tahun ini Rp 4,8 triliun dengan laba bersih Rp 2,9 triliun. Makanya, dia merekomendasikan beli saham PWON dengan target harga Rp 620 per saham. Thendra juga merekomendasikan beli dengan target harga Rp 450 per saham. Rabu (13/5) lalu, harga saham PWON Rp 436 per saham.

Selamat memilih rumah… eh, saham idaman Anda!

 

Sumber: Kontan

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com



Kategori:Berita Pajak

Tag:, , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar