Perlambatan ekonomi nasional membuat pekerjaan kian berat bagi para pengepul penerimaan negara. Apalagi, target penerimaan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015 terbilang ambisius.
Buktinya bisa terlihat dari realisasi penerimaan pajak selama empat bulan pertama 2015. Hingga 30 april, realisasi penerimaan pajak mencapai Rp 310,1 triliun, lebih rendah 1,29% daripada hasil di periode yang sama tahun sebelumnya, yaitu Rp 314,13 triliun.
Aparat pajak sejatinya tidak cuma duduk manis. Pajak Penghasilan (PPh) Non Migas, misalnya, berhasil naik 10,58% year-on-year (yoy) dari Rp 162,93 triliun menjadi Rp 180,16 triliun.
Kontributor utamanya adalah PPh Pasal 26 yang disetor wajib pajak luar negeri, PPh final, PPh Pasal 25/29 Badan, PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, dan PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi yang tumbuh cukup signifikan. Ini artinya partisipasi masyarakat dalam membayar pajak masih cukup bagus.
Persoalannya, aktivitas ekonomi yang melambat membuat penerimaan beberapa jenis pajak ikut-ikutan seret. Ambil contoh PPh Pasal 22 Impor yang turun 12,35% (yoy) menjadi Rp 1,78 triliun. Segendang sepenarian, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Impor juga merosot 9,09 % (yoy) menjadi Rp 43,52 triliun.
Rendahnya daya beli masyarakat juga tercermin dari penurunan penerimaan PPN dalam negeri 1,43 % (yoy) menjadi Rp 63,20 triliun. Pun begitu PPnBM dalam negeri melorot 6,97 % menjadi Rp 3,03 triliun.
Belum lagi dampak pemangkasan target lifting minyak dan asumsi harga minyak mentah Indonesia dan Indonesia Crude Price (ICP) serta nilai tukar rupiah. Dalam APBN 2015 yang disusun pemerintah sebelumnya, lifting minyak ditargetkan mencapai 900.000 barel per hari, ICP senilai US$ 105 per barel, sedang kurs senilai Rp 11.900 per USD.
Nah, pada APBN 2015 yang disusun pemerintah Joko Widodo (Jokowi), ketiga asumsi penting ini dipangkas. Target lifting minyak dikurangi menjadi 825.000 barel per hari, ICP US$ 60 per barel, sementara kurs Rp 12.500 per USD.
Alhasil, target penerimaan dari PPh Migas ikut disunat dari Rp 88,7 triliun menjadi Rp 49,5 triliun. Fakta di lapangan, realisasi penerimaan PPh Migas hingga akhir april 2015 anjlok 46,18% (yoy) dari Rp 31,11 triliun menjadi hanya Rp 16,74 triliun.
Selama empat bulan pertama tahun ini, rata-rata ICP masih jauh di bawah asumsi, yakni cuma US$ 52,71 per barel. Sementara nilai tukar rupiah terhadap dollar AS hingga 30 April 2015 masih jauh di atas asumsi APBNP 2015. Berdasarkan data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) rata-rata nilai tukar dalam periode tersebut ada di level Rp 12.835 per USD.
Lantas, bagaimana dengan proyeksi penerimaan pajak di sisa tahun ini? Pada kuartal II dan awal kuartal III, kenaikan penerimaan pajak, terutama yang bersumber dari impor dan pembelian barang oleh masyarakat bisa diharapkan. “Target kuartal II, kita lihat terus perkembangannya. Mudah-mudahan sesuai dengan yang diharapkan,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak, Mekar Satria Utama.
Dasarnya, secara historis, momen Puasa Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri selalu efektif mengungkit konsumsi masyarakat. Kondisi ini membuat impor barang-barang yang terkait dengan kedua momen tersebut biasanya juga ikut terdongkrak.
Secara keseluruhan, pemerintah berharap program “Tahun Pembinaan Pajak” bisa membantu pencapaian target penerimaan pajak. Lewat strategi khusus ini, pemerintah akan menghapus atau mengurangi sanksi pajak bagi wajib pajak (WP) yang melaporkan SPT PPN dan PPh. Berbekal data perpajakan yang diklaim lebih up to date dan sifat program yang mandatori, Satria Utama yakin dampaknya lebih besar ketimbang Sunset Policy yang digelar 2008 silam. Kala itu, penghapusan sanksi pajak hanya berlaku untuk PPh dan bersifat voluntary.
Pengamat pajak, Darussalam, optimis program ini bakal banyak dimanfaatkan wajib pajak. Pasalnya, penghapusan sanksi administrasi pajak merupakan “berkah” yang terlalu sayang untuk dilewatkan. Apalagi, jenis pajak yang bisa memperoleh penghapusan sanksi administrasi mencakup PPh dan PPN. Tahun pelaporan pajaknya pun tidak dibatasi.
Dengan begitu, penerimaan pajak bisa ikut terdongkrak. Meski demikian, soal target tambahan penerimaan pajak 20%-30%, bergantung pada seberapa masif sosialisasi yang dilakukan pemerintah. Yang jelas, “Jenis pajak yang diberi pengampunan lebih banyak, ada PPh dan PPN. Jadi harusnya Sunset Policy jilid II ini lebih berhasil dari tahun 2008,” harap Darussalam.
PNBP seret
Yang jelas, kerja aparat pajak memang kian berat lantaran sumber fulus negara yang lain tidak bisa banyak diharapkan. Target Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), misalnya, disunat dari posisi APBN 2015 yang mencapai Rp 410,34 triliun menjadi tinggal Rp 269,1 triliun dalam APBN-P 2015.
Pemangkasan target PNBP dilakukan seiring dengan penurunan target setoran dari dua pos utama; penerimaan Sumber Daya Alam (SDA) migas dan setoran dividen Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Penerimaan SDA migas cuma dipatok Rp 81,4 triliun, jauh lebih rendah dari target sebelumnya yang mencapai Rp 224,2 triliun. Penyebabnya sama seperti pemangkasan target PPh Migas, yakni asumsi lifting minyak dan ICP yang lebih rendah, serta asumsi kurs rupiah terhadap dollar AS yang lebih tinggi dari sebelumnya.
Sementara pendapatan yang berasal dari bagian laba BUMN juga dikurangi dari posisi Rp 44 triliun berdasarkan APBN 2015. Namun, berdasar APBN-P 2015, target setoran yang diminta hanya Rp 37 triliun. Pemangkasan dilakukan agar BUMN lebih ekspansif.
Selain itu, kinerja kuangan banyak BUMN yang berada dalam tekanan. PT Bukit Asam (Persero) Tbk alias PTBA, misalnya, masih belum bisa melepaskan diri dari dampak buruk rendahnya harga batubara, sama seperti perusahaan tambang batubara yang lain. Kinerja bank pelat merah juga mengendur lantaran kondisi ekonomi yang tidak mendukung.
Menteri BUMN Rini Soemarno mengaku, belum memproyeksikan apakah target setoran laba BUMN itu bisa terlampaui atau tidak. “Namun, setoran untuk tahun 2015 ini pasti dipenuhi,” kata Rini.
Meski sudah disunat, bukan berarti target PNBP tahun ini sudah pasti tercapai. Masalah yang paling kentara adalah PNBP batubara yang ditargetkan mencapai Rp 45,6 triliun. Artinya, ada kenaikan 53,53 % dari realisasi tahun lalu yang hanya Rp 29,7 triliun.
Persoalannya, sejak awal target ini dianggap sudah tidak realistis. Penurunan harga batubara yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir, kata Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Supriatna Sahala, bikin banyak perusahaan tambang menurunkan produksi.
Kata Supriana, tak sedikit pula perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang terpaksa menutup operasi. “Dalam situasi yang memprihatinkan seperti sekarang, saya enggak yakin target PNBP batubara bisa tercapai,” ujarnya.
Bukti memang sudah terlihat di empat bulan pertama 2015. Pada periode ini produksi batubara nasional hanya 130 juta ton. Ini artinya ada penurunan 11,56 % dibanding dengan periode yang sama tahun lalu.
Sejatinya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sudah menyadari kondisi ini. Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Batubara Kementerian ESDM Adhi Wibowo menyebut, produksi batubara tahun ini sulit digenjot. “Hampir semua perusahaan minta turun produksinya karena harga lagi engga baik,” kata Adhi.
Lantaran sulit mendongkrak PNBP batubara dari segi produksi, Adhi menyebut pihaknya menyiapkan strategi yang lain. Salah satunya adalah menagih tunggakan piutang PNBP perusahaan tambang batubara. Menurut Adhi, cukup banyak perusahaan tambang batubara yang belum melunasi kewajibannnya, termasuk perusahaan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).
Sayang, Adhi mengaku belum memegang data rincian perusahaan dan jumlah piutangnya. Yang jelas, nilai tunggakan PNBP itu mencapai triliunan rupiah dan akan cukup membantu pencapaian target setoran PNBP batubara.
Ada yang optimis
Memang tak semua kementerian bakal kesulitan memenuhi target setoran PNBP. Kementerian Telekomunikasi dan Informatika (Kemkominfo), misalnya, optimis target setoran sekitar Rp 14,61 triliun tahun ini bisa terpenuhi.
Tahun lalu saja, kala dipimpin Tifatul Sembiring, realisasi PNBP Kemkominfo mencapai lebih dari Rp 15,92 triliun. Padahal, saat itu targetnya cuma sekitar Rp 13 triliun.
Di bawah kepemimpinan Rudiantara, Kemkominfo sepertinya juga bakal melewati target setoran PNBP. Dasarnya, optimisme yang dikemukakan Budi Setiawan, Dirjen Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (SDPPI), asal tahu saja, Ditjen SDPPI merupakan penyumbang utama PNBP di Kemkominfo. Tahun ini mereka ditargetkan bisa menyetor sekitar Rp 11,46 triliun.
Menurut Budi, sekitar Rp 11,39 triliun diantaranya bakal diperoleh dari Biaya Hak Pengelolaan (BHP) frekuensi. Sumber penerimaan lain bakal berasal dari hasil lelang frekuensi 2,1 Ghz blok 11 dan blok 12 yang rencananya bakal digelar akhir 2015.
Dari hasil lelang dua blok tersebut, negara diperkirakan bakal mendapat setoran Rp 1 triliun. Perolehan dari masing-masing blok ditargetkan sebesar Rp 500 miliar. Dus, total PNBP yang bisa disetor ditjen SDPPI tahun ini paling tidak bisa mencapai Rp 12,39 triliun, alias melebihi target Rp 11,46 triliun. “Tidak seperti pajak yang ada potensi enggak bayar. Kalau di kami PNBP-nya pasti dibayar. Jadi target selalu terpenuhi ,” kata Budi optimis.
Dalam beberapa tahun terakhir, realisasi PNBP di Ditjen SDPPI memang selalu melampaui target. Tahun lalu saja, dari target setoran sekitar Rp 9,95 triliun, mereka mampu menyetor sebanyak Rp 12,79 triliun. Kontribusi terbesar berasal dari BHP frekuensi.
Semoga tercapai, ya!
Sumber: KONTAN
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak

Tinggalkan komentar