Ketika Hulu Lesu, Hilir Turut Mati Kutu

12Kelesuan perekonomian domestik tahun ini telah menjadi kenyataan yang sulit dihindari. Bukan Cuma sektor riil yang mulai merasakan imbas dari perlambatan ekonomi, industri pasar modal malah terlebih dulu merasakan guncangan.

Bursa saham, misalnya. Usai mencetak rekor tertinggi pada awal April lalu, Indeks Saham Gabungan (IHSG) longsor hingga parkir di 5.253,38, Rabu (27/5). Animo pemodal ikut menurun. Transaksi cenderung sepi dan pemodal banyak memilih untuk wait and see.

Pasar yang sepi dan perekonomian yang lesu tak urung membuat banyak korporasi menahan diri, termasuk hasrat untuk menghimpun dana masyarakat lewat pasar modal.

Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperlihatkan fenomena tersebut. Sejak awal tahun hingga 15 Mei lalu, tercatat baru ada dua emiten baru melenggang di Bursa Efek Indonesia (BEI). Adapun perusahaan yang melakukan penawaran umum terbatas dan penawaran obligasi juga cuma dua perusahaan. Untunglah masih cukup banyak korporasi merilis obligasi berkelanjutan. Hingga Mei lalu sebanyak 12 perusahaan menerbitkan obligasi tersebut.

Total emisi efek sejak awal tahun hingga 15 Mei mencapai nilai Rp 21,86 triliun. Memang, angka itu sedikit lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun lalu (Rp 19,63 triliun). Namun, saat itu jumlah perusahaan yang menggelar emisi efek sedikit lebih banyak. Jumlah perusahaan yang melepas saham perdana (IPO) saja ada enam perusahaan. Padahal tahun lalu, sentimen politik terkait pemilihan umum, cukup membuat waspada pemodal.

Situasi saat ini tentu menjadi tamparan tersendiri bagi pelaku industri sekuritas, khususnya segmen penjaminan efek atawa underwriting. “Baik pemodal ataupun korporasi banyak yang memilih menunda keputusan hingga situasi pasar sedikit lebih baik,” ujar Handrata Sadeli, Presiden Direktur PT Panin Sekuritas Tbk.

Abiprayadi Riyanto, Direktur Utama PT Mandiri Sekuritas, mengamini. Situasi bisnis penjaminan efek di awal tahun ini memang cenderung lebih sepi dibanding tahun lalu. “Sampai Juni nanti saja baru empat perusahaan yang IPO,” kata dia.

Maklum, di tengah situasi perekonomian yang seret, mengail dana dari pasar modal melalui emisi efek menjadi langkah yang kurang strategis ketika kondisi pasar juga cenderung sepi. Di sisi lain, menurut Handrata, cenderung sepinya bisnis penjaminan efek selama separo pertama tahun ini juga dipengaruhi masalah teknis: penggunaan tahun buku sebagai acuan penyelenggaraan emisi efek. “Proses penjaminan efek bisa memakan waktu berbulan-bulan dari persiapan hingga turun izin efektif,” jelas dia.

Meski demikian, Handrata mengakui, pasar yang sepi menjadi sebab lebih dominan mengapa greget emisi efek cenderung lesu sekarang ini. “Bukan Cuma penjaminan efek yang sepi, bisnis brokerage juga ikut lesu,” imbuh Handrata.

10Berharap pada obligasi

Lantas, bagaimana para pebisnis sekuritas berkelit dari situasi yang kurang menguntungkan ini? Abiprayadi mengungkapkan, Mandiri Sekuritas akan menggenjot lini bisnis penjaminan efek obligasi. Dia menilai, tahun ini emisi obligasi berpeluang lebih ramai dibandingkan saham. Maklum, sifat obligasi berbeda dengan saham. Ketika ada obligasi jatuh tempo, si emiten kebanyakan akan menerbitkan obligasi baru sebagai langkah refinancing kendati pasar tengah lesu.

Menurut Abiprayadi, hingga separo pertama tahun ini nilai rencana emisi obligasi korporasi di pasar sekitar Rp 30 triliun. Dari nilai itu Mandiri Sekuritas mengklaim telah mengantongi mandat sebagai underwriting obligasi sekitar Rp 15 triliun. “Semoga saja iklim investasi membaik sehingga banyak korporasi yang IPO dan emisi efek yang lain,” imbuh Abiprayadi.

Maklum, pendapatan dari penjaminan obligasi relatif lebih kecil bila dibandingkan underwriting fee dari aksi IPO atau rights issue.

Bisnis penjaminan efek menyumbang 40% pendapatan bagi lini investment banking Mandiri Sekuritas. Tahun ini, anak usaha Bank Mandiri itu menargetkan meraih mandate penjaminan efek dari 22 emiten. Sampai saat ini, baru 5 mandat yang mereka kantongi.

Sekuritas pelat merah lainnya, PT Bahana Securities, menilai, strategi bisnis memang harus selalu fleksibel menghadapi dinamika pasar. Tahun ini misalnya, komitmen pemerintah menggenjot proyek infrastruktur dan kebijakan pengucuran modal baru bagi BUMN, bisa menjadi peluang. “Banyak BUMN yang merilis obligasi maupun saham baru tahun ini, masih ada peluang di sana,” ujar Eko Yuliantoro, Komisaris Utama Bahana Securitites.

Cara lain adalah mengoptimalkan lini bisnis advisory untuk korporasi di luar pasar modal. Strategi itu juga dipilih oleh Mandiri Sekuritas. Lini advisory terdiri atas layanan konsultasi seputar rencana restrukturisasi korporasi, merger dan akuisisi, penjualan kepada mitra strategis, private placement, rights issue, tender offer, dan divestasi. “Itu yang akan kami tempuh tahun ini dan sejauh ini sudah ada 10 emiten yang memanfaatkan jasa advisory itu,” jelas dia.

Lini bisnis lain seperti trading brokerage, asser management juga akan lebih dipacu lagi agar target bisa tercapai. Pelaku industri sekuritas memilih berharap, kondisi semester II tahun ini bisa berbalik menjadi lebih baik.

Langkah wajib lain: berdoa agar ekonomi pulih kembali

 

Sumber: Kontan

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com



Kategori:Berita Pajak

Tag:, , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar