Malang tak dapat ditolak, untuk tak dapat diraih. Inilah yang dialami oleh sebagian besar perusahaan yang tergabung di Grup Astra. Pada semester satu lalu, rata-rata emiten anggota Grup Astra mencatatkan kinerja keuangan yang tidak memuaskan.
Pasar pun bereaksi negatif atas penurunan kinerja saham-saham dari Grup Astra. Rata-rata, harga saham emiten Grup Astra melorot. Ambil contoh harga saham PT Astra Otoparts Tbk (AUTO). Pada penutupan perdagangan Kamis lalu (13/8), harga sahamnya melorot ke level Rp 1.755 per saham. Ini adalah level terendah harga saham AUTO tahun ini. Bila dihitung sejak awal tahun, harga saham AUTO sudah melorot 58,21%.
Saham PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) pun setali tiga uang. Pada penutupan perdagangan Rabu (12/8), harga saham emiten ini mencapai level terendah tahun ini di Rp 18.500 per saham. Bila dihitung sejak awal tahun, harga saham ini sudah melorot 23,71%. Untungnya, pada penutupan perdagangan Kamis, harga saham AALI naik jadi Rp 19.650 per saham.
Tentu saja, harga saham perusahaan induk, PT Astra International Tbk (ASII), juga ikut longsor. Pada penutupan perdagangan Kamis harga ASII berada di Rp 6.400 per saham. Tapi sehari sebelumnya, harga saham ASII jatuh ke level terendah tahun ini, yakni di Rp 6.075 per saham. Bila dihitung sejak awal tahun, harga saham ASII sudah melorot sekitar 18,18%.
Hanya PT United Tractors Tbk yang pergerakan harga sahamnya cukup positif. Pada penutupan perdagangan Kamis lalu, harga saham emiten yang memakai kode UNTR ini berada di Rp 19.200 per saham. Sebelumnya, harga UNTR sempat mencapai Rp 23.925 per saham, level tertingginya tahun ini. Meski cenderung turun, bila dihitung sejak awal tahun hingga Kamis lalu, harga saham UNTR masih naik sekitar 10,66%.
Penurunan harga saham membuat kapitalisasi pasar saham ASII ikut melorot. Pada penutupan perdagangan Kamis lalu, ASII menempati posisi keempat saham dengan kapitalisasi pasar terbesar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Nilai kapitalisasi pasar ASII mencapai sekitar Rp 254,03 triliun.
Padahal, di akhir 2014 lalu, saham ASII masih menempati posisi kedua saham dengan kapitalisasi pasar terbesar di BEI. Kapitalisasi pasar ASII saat itu mencapai Rp 300,59 triliun.
Kinerja masih lemah
Para analis menyebut, melambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini menjadi biang kerok penurunan kinerja emiten-emiten dari konglomerasi yang dirintis oleh keluarga William Soerjadjaja ini. Salah satu bisnis yang terpukul pelemahan ekonomi ini adalah bisnis otomotif.
Astra juga masih kurang beruntung di bisnis komoditas. Bisnis kelapa sawit serta minyak sawit yang dilakoni Grup Astra belum pulih. Harga minyak sawit mentah alias crude palm oil (CPO) di pasar internasional masih belum bagus.
Secara umum, analis masih meragukan kinerja Grup Astra tahun ini bakal moncer. Apalagi, bila melihat kondisi global, perlambatan ekonomi tampaknya masih jauh dari usai.
Meski begitu, bukan berarti Grup Astra tidak memiliki peluang memperbaiki kinerja. Kinerja Astra berpotensi membaik di akhir tahun nanti. “Dengan catatan pertumbuhan ekonomi kuartal empat membaik,” kata Robertus Yanuar Hardy, analis Reliance Securities.
Agar pertumbuhan ekonomi bisa tercapai, pemerintah harus lebih gesit memacu proyek-proyek infrastruktur. Dengan pergantian beberapa pos menteri bidang ekonomi, pelaku pasar berharap ekonomi tahun ini bisa benar-benar membaik.
Biar lebih jelas, yuk, simak analisa analis mengenai beberapa saham Grup Astra.
ASII
Astra International hanya mencatatkan pendapatan Rp 92,51 triliun pada paruh pertama tahun ini. Pendapatan di semester satu tahun ini turun 8,89% dibandingkan dengan pendapatan tahun lalu yang mencapai Rp 101,53 triliun.
Bukan hanya pendapatan yang merosot. Laba yang diatribusikan kepada pemilik entitas induk juga melorot sebesar 18% jadi Rp 8,84 triliun. Padahal, di periode yang sama setahun sebelumnya, Astra Internasional berhasil mencetak laba yang diatribusikan kepada pemilik entitas induk Rp 9,82 triliun.
Pendapatan dari bisnis otomotif pada semester satu 2015 lalu turun 11,55% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, jadi Rp 48,48 triliun. Kontribusi dari bisnis alat berat dan pertambangan juga merosot. Lini bisnis ini hanya memberi kontribusi pendapatan Rp 24,95 triliun, atau turun 9,37% dibandingkan tahun lalu.
Lini agribisnis juga masih mencatatkan kinerja yang lemah. Kontribusi lini bisnis ini di semester satu 2015 lalu hanya tercatat Rp 7,23 triliun, atau turun 9,74% bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Bisnis infrastruktur juga mencatatkan penurunan kinerja cukup dalam. Kontribusi bisnis ini hanya mencapai Rp 3,71 triliun. Artinya, ada penurunan sekitar 10,39% ketimbang kontribusi di periode yang sama setahun sebelumnya.
Analis BNI Securities Thendra Chrisnanda mengatakan tekanan terhadap bisnis Astra International tahun ini memang cukup besar. “Kontribusi terbesar dari bisnis ASII adalah sektor otomotif. Perusahaan ini berharap dua bulan jelang lebaran ada kenaikan permintaan, tetapi ternyata jelang lebaran permintaan mobil malah turun 20%,” kata Thendra.
Penyebab lesunya bisnis otomotif adalah daya beli masyarakat yang melemah. Tambah lagi, tingkat suku bunga saat ini cukup tinggi. Masyarakat yang masih mengandalkan pembiayaan untuk membeli kendaraan jadi berpikir ulang saat ingin membeli kendaraan.
Thendra bilang sampai akhir tahun ini kemungkinan bisnis Astra International belum pulih. Baik pendapatan maupun labanya akan mengalami penurunan dibanding tahun lalu.
Ia menghitung pendapatan Astra International akhir tahun ini turun sekitar 2,43% menjadi Rp 196,8 trilliun. Selain itu, laba bersih perusahaan ini diperkirakan hanya Rp 17,55 triliun.
Cuma, analis yakin penurunan kinerja Astra ini cuma sementara. “Kalau bicara jangka panjang, permintaan mobil masih besar karena penetrasi otomotif Indonesia masih rendah, kelas menengah juga masih tumbuh,” kata Thendra.
Robertus punya pendapat sedikit berbeda. Ia menilai ada peluang kinerja Astra membaik akhir tahun ini bila pemerintah berhasil meningkatkan ekonomi dalam negeri. “Perkiraan saya, pendapatan ASII bisa naik 3%-4%, dan laba bersih naik 2%-3%,” sebut dia. Tapi kalau ekonomi tidak membaik, kinerja Astra akan terpuruk.
Karena itu, Thendra dan Robertus sama-sama memberi rekomendasi tahan untuk saham ASII. Robertus memberi target harga ASII. Robertus memberi target harga ASII di Rp 6.200 per saham. Sementara Thendra menghitung, target harga ASII ada di Rp 7.600 per saham.
AALI
Berdasarkan laporan keuangan semester I-2015, Astra Agro Lestari hanya mencatatkan pendapatan Rp 7,23 triliun, turun 9,74% dari pendapatan setahun sebelumnya. Laba bersih perusahaan juga melorot tajam. Sepanjang semester I-2015, AALI hanya mencatatkan laba bersih Rp 444,43 miliar, longsor sekitar 67,05%.
Maklum saja, harga jual CPO masih rendah. Hubungan investor AALI Rudy Limardjo menjelaskan dalam keterangan resmi, total penjualan CPO AALI dalam enam bulan pertama 2015 turun 18,3% jadi 551.418 ton. Sedang harga CPO AALI turun 12,4% year-on-year (yoy) jadi Rp 7.642 per kilogram (kg).
Tapi analis Samuel Sekuritas Indonesia Frederick Daniel Tangela menyebut, penurunan harga jual CPO AALI tak sedalam turunannya harga penjualan CPO secara rata-rata. Di semester satu tahun ini, harga CPO internasional turun sekitar 25% menjadi US$ 600 per ton.
Tahun ini AALI bakal membangun dua pabrik pengolahan kelapa sawit. Kedua pabrik itu berkapasitas produksi 45 ton tandan buah segar (TBS) per jamnya. Pabrik ini baru akan rampung 12-18 bulan ke depan, sehingga hasilnya belum bisa dinikamti tahun ini.
Karena itu, analis Ciptadana Sekuritas Andre Varian mengatakan, sampai dengan akhir tahun ini bisnis AALI masih melambat. “Faktornya harga minyak dunia yang rendah, permintaan melambat, margin bisnisnya tipis,” kata dia.
Andre menganalisa hingga akhir tahun ini AALI hanya bakal mencatatkan pendapatan Rp 15,13 triliun. Tahun lalu, emiten ini mencetak pendapatan Rp 16,31 triliun. Sedang laba bersih diprediksi hanya mencapai Rp 1,17 triliun, turun dari Rp 2,5 triliun tahun lalu.
Tahun depan, AALI berpeluang memperbaiki kinerjanya. Selain faktor bertambahnya pabrik baru, harga CPO tahun depan berpotensi naik. Maklum, suplai CPO tahun depan diprediksi turun akibat dampak El Nino tahun ini. “Hal ini bisa memperbaiki harga komoditasnya,” kata Andre.
Karena itu, analis masih merekomendasikan tahan untuk AALI. Frederick memasang target harga di Rp 19.000 per saham, sementara Andre lebih optimistis dengan target harga Rp 20.200 per saham.
AUTO
Bisnis Astra Otoparts juga terganjal penurunan bisnis otomotif. Meski begitu, kinerja emiten berkode AUTO ini masih lebih baik dari sektor otomotif. “Hingga Juni 2015 penjualan kendaraan roda dua turun 24,5%, roda empat turun 18,2%, dan penjualan Otoparts hanya turun 8%,” kata Head of Public Relation Astra Otoparts Made Kusumawati.
Pendapatan bersih perusahaan ini hanya tercatat Rp 5,72 triliun, turun dari Rp 6,23 triliun tahun lalu. “Laba turun signifikan karena kenaikan upah buruh dan kenaikan kurs dollar AS, karena 60%-70% material kami masih diimpor,” jelas Made.
Astra Otoparts sudah menyiapkan strategi untuk mempertahankan kinerjanya. Di antaranya dengan memperkuat desain dan perancangan, serta memperkuat penguasaan proses produksi.
Baru-baru ini Astra Otoparts juga mengumumkan menambah anak usaha baru, yakni Bridgestone Astra Indonesia. AUTO menanam dana investasi sebesar Rp 174 miliar untuk membuat pabrik peredam getar berbahan karet di Purwakarta, Jawa Barat. “Diharapkan bisnis ini akan melengkapi lini produk komponen otomotif Astra Otoparts, khususnya komponen berbahan karet,” kata Made.
Analis First Asia Capital David Nathanael Sutyanto menilai prospek Astra Otoparts ke depan masih oke. “Tapi memang sentimen kurs membuat perusahaan ini kurang bagus tahun ini,” kata David.
Lantaran rupiah masih melemah, David memprediksi sampai akhir tahun penjualan dan laba perusahaan ini masih tetap turun. Tapi, untuk investasi jangka panjang, David merekomendasikan beli AUTO dengan target harga saham Rp 2.000 per saham. “Saham ini akan positif, terutama ketika rupiah mulai stabil,” kata David.
UNTR
United Tractors memang membukukan penurunan pendapatan bersih dari Rp 27,53 triliun di semester I-2014 menjadi Rp 24,95 triliun tahun ini. Tapi emiten ini masih bisa membukukan kenaikan laba bersih sekitar 3,60% menjadi Rp 3,41 triliun.
Kinerja UNTR tahun ini masih sulit melesat. Di semester satu lalu, penjualan alat berat Komatsu turun hingga 38%. Sektor pertambangan juga masih tertekan. Tercatat, dibandingkan semester I-2014, produksi batubara UNTR turun hingga 9% dan volume penjualan batu bara turun hingga 18%.
Analis Sucorinvest Central Gani Inav Haria Chandra menilai kinerja UNTR masih akan terganjal lemahnya pasr komoditas. “Hingga akhir tahun harga komoditas diprediksi belum membaik,” tutur Inav. Tambah lagi, proyek infrasturktur tahun ini banyak yang mundur.
Tapi, Inav menganalisa saham UNTR masih akan oke hingga akhir tahun ini. Ia menilai manajemen UNTR bisa menjaga margin. UNTR juga memperoleh keuntungan dari penguatan dollar AS, lantaran kontrak batubara menggunakan mata uang uwak Sam tersebut.
Analis Panin Sekuritas Fajar Indra menyebut salah satu kunci sukses UNTR adalah kinerja Tuah Turangga Agung. Perusahaan kontraktor batubara ini mampu menyumbang laba kotor semester satu senilai Rp 642 miliar dari posisi rugi kotor semester satu tahun lalu.
Inav menilai valuasi harga UNTR masih murah. PER emiten ini berkisar 13 kalli, sedang rata-rata PER UNTR selama setahun adalah 15 kali. Inav merekomendasikan beli UNTR dengan target harga Rp 25.450 per saham.
Sedang Fajar memberi rekomendasi netral untuk induk usaha PT Acset Indonusa Tbk ini. Fajar mematok target harga Rp 21.450 per saham.
Mari kita lihat, apakah Grup Astra bisa kembali berjaya tahun depan.
Sumber: Kontan
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak
Tinggalkan komentar