Pada 8 Juli lalu, Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro meneken Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 132 Tahun 2015 tentang Penetapan Sistem Klarifikasi Barang dan pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor.
Sontak saja, beleid yang terbit mendadak ini membuat kaget pelaku usaha otomotif di Tanah Air. Maklum, salah satu poinnya adalah bea masuk impor kendaraan bermotor secara utuh atawa completely built up (CBU) naik dari sebelumnya 40% menjadi 50%. Sedangkan bea masuk impor mobil rakitan lokal atau completely knocked down (CKD) naik dari semula 10% menjadi 50%.
Pemerintah berdalih tujuan menaikkan bea masuk impor mobil adalah untuk melindungi industri dalam negeri. Apakah kebijakan tersebut berdampak kepada angka penjualan nasional kendaraan bermotor? Terlebih, dalam beberapa tahun terakhir penjualan mobil anjlok menyusul perlambatan ekonomi.
Menteri Perindustrian Salah Husin pun mengakui, kalau angka penjualan sektor otomotif mengalami penurunan sekitar 16%-20% di paruh pertama tahun ini. Namun di sisi lain, sektor industri otomotif masih tumbuh cukup menjanjikan. “Beberapa sektor yang pertumbuhannya cukup tinggi adalah industri farmasi, makanan, dan minuman, serta otomotif yang tumbuh di atas 6%,” ujarnya.
Toh, April lalu, Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) telah merevisi target penjualan pada 2015 hanya mencapai 1,05 juta unit, turun dari target yang pernah diungkap pada akhir 2014, yakni 1,1 juta unit. Sebagai gambaran, dalam catatan Gaikindo, pada paruh pertama 2015, penjualan mobil turun 18% menjadi 525.458 unit.
Hanya saja, regulasi ini hanya berlaku bagi negara asal impor yang tidak menjalin kerja sama dengan Indonesia atau Asean. Artinya, siapa yang buntung dan untung dari keluarnya PMK No. 132/2015? Sejatinya, naiknya pajak bea masuk CBU dan CKD dianggap bisa mengganggu investasi dari negara yang terbebani.
Pasalnya PMK No. 132/2015 hanya menguntungkan bisnis dari negara yang masuk dalam Asean Free Trade Area (AFTA), Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJ-EPA), Asean-Korea Free Trade Area (AKFTA), Asean-India Free Trade Area (AIFTA), dan Asean-China Free Trade Area (ACFTA).
Ketua Gaikindo Jongkie D Sugiarto bilang, Indonesia memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan beberapa negara seperti anggota Asean, Jepang, Korea, dan India.
Nah, perjanjian tersebut sudah mengatur perpajakan sehingga deretan mobil impor dari negara-negara itu tidak dikenakan bea masuk. Alhasil, impor mobil dari negara anggota Asean, Jepang, Korea, dan India tidak terpengaruh oleh peraturan ini.
Tapi beleid ini menyebabkan harga jual mobil CBU dan CKD bakal naik sesuai kenaikan bea masuknya. Untuk harga mobil CBU bisa naik 10%, sesuai kenaikan bea masuknya, dari 40% menjadi 50%.
Adapun harga mobil impor yang dirakit CKD bisa naik 40% karena tarif bea masuknya yang semula 10% naik menjadi 50%. “Aturan ini berlaku untuk impor mobil dari negara yang belum punya perdagangan bebas,” kata Djongkie.
Tidak teliti
Nah, yang pantas gelisah dengan kenaikan bea masuk impor tentu produsen mobil dari Eropa dan Amerika Serikat (AS). Misalnya merek-merek seperti Fiat, Chrysler, Jeep, dan Dodge yang bernaung di bawah satu atap Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM) Garansindo Inter Global. Sementara merek-merek asal Jerman, seperti Mercedes-Benz, Audi, BMW, Mini, Jaguar, Land Rover, Volvo, dan Peugeot.
Sebab, aturan ini berlaku untuk negara Most Favoured Nation (MFN) atau negara yang belum memiliki ikatan perdagangan bebas dengan Indonesia. Jika aturan ini efektif, maka pengimpor mobil dari AS dan Eropa layak khawatir. Pasalnya, mereka harus merogoh kocek lagi guna membayar bea masuk impor.
Celakanya, mayoritas merek-merek asal AS dan Eropa masuk dalam kategori mobil bermesin besar yang sudah lebih dulu terjerat regulasi sebelumnya, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2014. Dalam peraturan itu, kenaikan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) sebesar 125% untuk mobil bermesin bensin di atas 3.000 cc dan bermesin diesel di atas 2.500 cc.
Sementara merek-merek seperti Toyota, Honda, Nissan, Suzuki, Isuzu, dan Mitsubishi yang juga punya pabrik di Indonesia tidak terkena imbas aturan ini. Termasuk sebagian sedan yang diimpor dari Thailand seperti Vios, Corolla, Camry, City, Civic, dan Accord. Hal sama terjadi untuk impor pikap seperti Navara, Hilux, Triton, dan D-Max yang terhindar dari regulasi baru.
Wajar saja, jika Presiden Direktur Garansindo Inter Global Muhammad Al Abdullah protes atas kebijakan bea masuk impor yang anyar, karena membuat mobil impor semakin mahal. Bukan tanpa sebab Garansindo keberatan. Abdullah menyodorkan data, sekitar 95% mobil impor dari total 150.000 unit lebih didatangkan melalui mekanisme AFTA.
Sisanya atau 5% diimpor dari AS dan Eropa yang jumlahnya tidak sampai 10.000 unit. “Ini yang saya bilang tidak teliti. Kalau mau mengecilkan keran impor, kok, memilih impor yang porsinya 5%,” ujar Abdullah keheranan.
Masalahnya, semua ATPM pada semester I 2015 menjerit karena penjualan yang terus merosot. Memang, angka penjualan pada semester pertama tahun ini bisa mencapai 500.000 unit, itu pun karena didorong oleh penjualan mobil dari model baru. “Jujur saja, semua babak belur. Sekarang, bagi kami yang penting adalah tetap jualan hingga bisa survive,” aku Abdullah lagi.
Untuk keluar dari jeratan regulasi, Garansindo mendorong prinsipal mempercepat produksi Jeep, Fiat, dan Chrysler di Tiongkok agar bisa memanfaatkan FTA untuk kelangsungan bisnis produk tersebut di Indonesia. “Kami pun berusaha menjaga loyalitas konsumen agar penjualan tetap stabil meski harus mengorbankan margin,” tandasnya.
Sebetulnya Garansindo sejak tiga tahun lalu, berusaha meyakinkan prinsipal agar membangun pabrik di Indonesia. Sayang, harapan ini terbentur regulasi dari pemerintah yang berubah-ubah, sehingga mereka lebih memilih Thailand sebagai basis produksi.
Senada diutarakan Yuniadi Haksono Dartono, Director External Affairs PT General Motors Indonesia, pemegang merek Chevrolet, yang menyayangkan berubah-ubahnya ketentuan pajak impor kendaraan.
“Sebagai perusahaan, kami membutuhkan stabilitas dan konsistensi soal regulasi,” jelasnya.
Yuniadi bisa memahami alasan pemerintah mengeluarkan kebijakan tersebut demi melindungi kepentingan dalam negeri dan menyelamatkan neraca perdagangan yang defisit.
Masalahnya, perubahan kebijakan dalam waktu singkat justru berpengaruh negatif bagi pebisnis. Soal dampaknya, Yuniadi mengatakan, perusahaan masih menganalisa berhubung kenaikan bea masuk impor kendaraan baru diumumkan pemerintah pada awal Juli lalu.
Direktur Pemasaran PT General Motors Indonesia Meilita Iskandar menyebutkan, penjualan Chevrolet memang mengalami penurunan, akibat tren pasar penjualan mobil yang secara keseluruhan sedang mengalami penurunan. “Jadi wajar jika penjualan mobil kami juga ikut turun,” kilahnya.
Berdasarkan data Gaikindo, penjualan mobil Chevrolet pada semester I 2015 sebanyak 2.334 unit atau turun sebesar 60,24% dibanding penjualan semester I 2014 lalu.
Ya, bisa dibilang sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Sumber: KONTAN
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak


Tinggalkan komentar