Menanti Dampak Paket Ekonomi versi Jokowi

16Tanda-tanda pertumbuhan ekonomi tahun ini tidak melampaui 5% semakin kuat

Deflasi yang terjadi sepanjang bulan September bsia diartikan sebagai daya beli masyarakat yang semakin menipis. Dua paket ekonomi yang sudah dirilis pemerintah memang tak banyak membidik perbaikan daya beli.

Roda ekonomi Indonesia berjalan semakin lambat di akhir triwulan ketiga tahun ini. Itu tersermin dari deflasi yang terjadi selama September sebesar 0.05%. merujuk ke catatan Badan Pusat Statistik (BPS), indeks harga konsumen (IHK) turun dari 121,73 menjadi 121,67.

Jika diukur dalam basis tahunana alias year-on-year, IHK masih mempelihatkan peningkatan. Inflasi secara tahunan per September, menurut BPS, sebesar 6,83%. “Inflasi inti tahunan sebesar 5,07%,” ujar Kepala BPS Suryamin.

Di atas kertas, deflasi bisa memiliki dua arti. Penurunan harga barang dan jasa bisa diartikan otoritas berhasil mengendalikan harga barang dan jasa. Suryamin menunjuk terkendalinya harga bahan makanan setelah bulan puasa dan perayaan Idul Fitri sebagai contohnya. Di kelompok bahan makanan, indeks harga mengalami penurunan sebesar 1,07%.

Namun deflasi juga memiliki arti lain. Penurunan IHK bisa berarti berkurangnya permintaan di saat pasokan tetap. Dengan kata lain, daya beli masyarakat semakin melemah. Kemungkinan itu dibantah Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution. “Permintaan melemah karena perlambatan ekonomi,” ujar Darmin, awal Oktober.

Tanda-tanda pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat sudah terlihat sejak kuartal kedua tahun ini. Ada banyak faktor yang menghambat ekonomi Indonesia tumbuh setinggi 5,7% seperti asumsi pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2015. Sebut saja, ketidakstabilan emonomi global yang mengakibatkan rendahnya nilai ekspor komoditas. Di dalam negeri, ada masalah pelemahan rupiah yang mengakibatkan daya beli masyarakat menurun serta rendahnya realisasi belanja pemerintah.

Sejak awal tahun ini pun, pertumbuhan ekonomi Indonesia berjalan pelan. Mengutip hitungan versi BPS, pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal pertama dan kuartal kedua masing-masing sebesar 4,71% dan 4,67%. Angka untuk kaurtal ketiga yang belum resmi dirilis, bisa jadi membaik dari angka di dua kuartal terdahulu.

Proyeksi Bank Indonesia, pertumbuhan ekonomi di kuartla ketiga mencapai 4,9%. Kendati tak menyebut angka, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro pun optimis pertumbuhan ekonomi selama Juli – September akan lebih tinggi dibanding dua kuartal sebelumnya. Proyek optimistis itu merujuk ke data penjualan sejumlah barang yang biasa menjadi indikator perputaran ekonomi, seperti semen, besi dan baja serta kendaraan bermotor.

Penjualan semen pada bulan Agustus dan September masing-masing meningkat 11% dan 6% dari realisasi di tahun sebelumnya. Sedang impot besi dan baja diperiode yang sama naik 60%. Kenaikan penjualan mobil selama Agustus pun terbilan tinggi mencapai 62,78%. Sementara penjualan motor Agustus meningkat 47,07% dari bulan sebelumnya.

Peningkatan penjualan di kuartal ketiga ini menjadi dasar BI dan juga banyak lembaga keuangan internasional, seperti Bank Pembangunan Asia dan Bank Dunia untuk memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia di kisaran 4,9%. “Kendati tidak sampai 5%, namun itu cukup baik jika dibandingkan negara lain yang juga mengalami perlambatan,” tutur David Sumual, ekonom dari Bank Central Asia.

 

Minim dampak

Untuk memutar roda ekonomi lebih kencang lagi, pemerintha telah merilis dua paket kebijakan ekonomi di kuartal ketiga. Paket pertama diumumkan awal September, dan paket kedua dirilis menjelang akhir bulan.

Ada tiga misi yang menjadi sasaran paket ekonomi tersebut. Masing-masing tujuan itu adalah mengembangkan kondisi makroekonomi yang kondusif, menggerakan perekonomian nasional, dan melindungi masyarakat berpendapatan rendah serta menggerakkan ekonomi pedesaan.

Agenda menjaga kondisi makroekonomi dilakukan pemerintah bersama dengan Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Selain stabilisasi fiskal dan moneter, misi lain yang menjadi incaran adalah percepatan realisasi belanja pemerintah dan memperkuat neraca pembayaran.

Satu indikator kestabilan makroekonomi yang paling mudah terlihat adalah kestabilan kurs rupiah dan inflasi yang terkendali. Tak heran dalam paket kedua, pemerintah bersama BI memasukkan agenda memancing dollar Amerika Serikat dari hasil ekspor.

Iming-iming dalam bentuk pengurangan pajak pun ditawarkan bagi eksportir yang bersedia memarkirkan dana hasil ekspornya di perbankan dalam negeri. Besar pengurangan pajak dikaitkan dengan mata uang simpanan serta periode dana tersimpan di perbankan dalam negeri.

Dalam agenda menggerakkan ekonomi nasional, tema deregulasi dan debirokatisasi mendominasi paket pertama dan kedua. Di paket pertama saja, tak kurang dari 134 peraturan dalam berbagai tingkat, yang mengalami penyederhanaan. Cakupan industri yang aturannya mengalami deregulasi dan debirokratisasi terbilang luas, mulai sektor infrastruktur, properti hingga ritel.

Misi ketiga yang terbilang paling sedikit agendanya dalam kedua paket ekonomi. Yang sudah dirancang untuk melindungi masyarakat pendapatan rendah dan masyarakat di pedesaan seperti mempercepat pencairan dana desa, meningkatkan pembagian beras untuk kalangan miskin (raskin), serta stabilisasi harga pangan.

Sebelum paket resmi meluncur, pemerintah juga sudah meningkatkan nilai pendapatan tak kena pajak, agar masyarakat punya dana lebih besar untuk dibelanjakan.

Seberapa efektif kedua paket tersebut? Ini pertanyaan yang tak mudah dijawab mengingat usia kedua paket yang belum lagi genap dua bulan, sementara misi yang hendak dicapai, membutuhkan waktu realisasi hingga tahunan.

Namun di pasar, memang tak terlihat dampak dari kedua paket tersebut. Nilai tukar dollar terhadap rupiah masih anteng di kisaran Rp 14.000-an.

Memang, pemerintah belum usai mengeluarkan seluruh jurus ekonominya. Paket kebijakan ketiga akan segera terbit. Agenda menarik yang kabarnya akan masuk dalam paket ketiga seperti penurunan harga bahan bakar minyak (BBM) untuk mengerek daya beli.

Agenda lain yang sempat menjadi wacana publik, namun luput disertakan dalam paket pertama adalah pengurang tarif pajak penghasilan perusahaan menjadi 18%. Demikian juga rencana untuk memberikan pengampunan pajak bagi pebisnis yang ingin merepatriasi alias memanggil pulang dananya dari luar negeri.

 

 

Sumber: KONTAN

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com



Kategori:Berita Pajak

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar