Pengusaha sektor kehutanan tengah melobi Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup agar bisa tetap ekspansi di lahan gambut
JAKARTA. Usai merilis Surat Edaran (SE) Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang menutup izin baru dan pembukaan lahan berizin di areal gambut bagi korporasi, pemerintah bersiap menegaskannya dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres) dalam waktu dekat.
Meski beleid ini masih digodok, pengusaha kehutanan berharap bisa menggelar ekspansi usaha perkebunan dan kehutanan di lahan gambut tahun depan. Karena itu, asosiasi pengusaha mencoba melobi pemerintah.
Menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Purwadi Suprihanto, sebelum melarang pembukaan lahan gambut seharusnya pemerintah lebih dahulu memetakan mana lahan gambut yang harus dilindungi dan yang bisa dikelola untuk industri.
Purwadi sudah menyampaikan usulan tersebut secara lisan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). “Kami akan menyampaikan secara formal dalam waktu dekat ini, sebelum peraturan presiden (perpres) terbit,” ujarnya kepada KONTAN, Senin (16/11).
Purwadi menyatakan, jika pemerintah melarang pembukaan lahan gambut secara keseluruhan, hal ini akan merugikan korporasi sektor kehutanan. Sebab, banyak diantaranya yang sudah merancang investasi sejak jauh-jauh hari. APHI mencatat bahwa luas hutan tanaman industri (HTI) saat ini kurang lebih 10 juta hektare (ha). Dari HTI tersebut, sebanyak 1 juta ha di antaranya merupakan eks lahan gambut.
Saat ini, ada lahan gambut seluas 7 juta ha dan Area Penggunaan Lain (APL) yang belum dibuka oleh pengusaha hutan. Menurut Purwadi, sebelum ada aturan larangan membuka lahan gambut berizin, ekspansi pengusaha hutan pada tahun ini sudah tersendat lantaran maraknya kebakaran hutan dan lahan yang menimpa areal perusahaan HTI.
Jika akhirnya pelarangan penggunaan areal gambut ini disahkan dalam bentuk perpres, opsi yang paling realistis bagi pengusaha hutan tahun depan adalah menanam ulang lahan yang sudah dibuka saat ini.
Tak serap tenaga kerja
Larangan pembukaan lahan gambut jelas menambah kerugian pengusaha HTI. Irsyad Yasman, Wakil Ketua APHI, mengatakan, tuduhan sebagai pelaku pembakar hutan dan lahan membuat perusahaan HTI dirugikan secara moril maupun materiil.
Selain aset berupa lahan yang terbakar, pengusaha hutan mendapatkan boikot dari masyarakat, padahal status hukumnya masih penyelidikan. “Seharusnya azas praduga tak bersalah dijunjung tinggi,” ujarnya.
Purwadi menambahkan, akibat kebakaran hutan ini, pasokan kayu sepanjang kuartal III-2015 turun sekitar 29% menjadi 6,56 juta meter kubik (m³) dibandingkan dengan kuartal II-2015 yang sebesar 9,26 juta m³.
Pasokan yang berkurang berasal dari daerah bencana kebakaran hutan Riau, Jambi, Sumatra Selatan, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah. Akibat terhambatnya kegiatan operasional ini, terjadi penurunan penyerapan sebanyak 1 juta tenaga kerja, baik secara langsung maupun tidak langsung. Termasuk terhentinya kegiatan oleh para mitra kerja HTI.
“Devisa ekspor pulp dan kertas turun dari saat ini yang sebesar US$ 5,6 miliar per tahun,” jelasnya. Kondisi ini juga akan berdampak pada turunnya kepercayaan perbankan akibat publikasi masif yang menuding HTI sebagai pelaku pembakaran hutan.
Karena kondisi ini, APHI menyatakan belum bisa menentukan dan menghitung target produksi dan pendapatan dari sektor kehutanan pada tahun 2016. Pasalnya, saat ini, pengusaha di sektor kehutanan tengah menunggu kepastian regulasi dari pemerintah sambil menyusun rencana kerja baru.
Sumber: KONTAN
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak
Tinggalkan komentar