Mau Terus Diperiksa atau Bayar Sekarang?

5Salam tanda berakhirnya shalat dzuhur berjamaah di Masjid Salahuddin, Kantor Pusat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak baru saja dibacakan. Seperti biasa, imam shalat lantas meminta jamaah untuk memanjatkan doa yang spesial. “Mari kita sama-sama berdoa agar penerimaan pajak tahun ini bisa tercapai,” ujar sang imam serius. Para jamaah pun ramai-ramai mengangkat tangan dan menundukkan kepala.

Tak ada seorang pun yang tersenyum atau tertawa mendengar permintaan doa yang tak lazim tersebut. Maklum, selain sudah terbiasa mendengar doa tersebut, para jemaah yang mayoritas adalah karyawan Ditjen Pajak memang sedang stress mengejar penerimaan pajak. Realisasi pemasukan pajak sampai 22 November lalu baru mencapai Rp 828,9 triliun.

Artinya, dengan tenggat waktu yang hanya sebulan lagi, realisasi penerimaan baru mencapai sekitar 64% dari target pajak di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015 yang sebesar Rp 1.294 triliun. Jangan heran, kalau para pegawai pajak terlihat khusyuk mengaminkan doa yang dilantunkan sang imam.

Meskin demikian, ikhtiar yang dilakukan bukan Cuma doa semata. Ditjen Pajak juga mengerahkan segala upaya untuk menggenjot pemasukan pajak. Yang terbaru, Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan instruksi penghentian pemeriksaan khusus bagi wajib pajak (WP) yang menyampaikan surat pemberitahuan (SPT) pajak pembetulan sebelum tahun berakhir.

Kebijakan itu muncul dalam Instruksi Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Nomor INS-04/PJ/2015 tentang penyelesaian pemeriksaan khusus melalui penghentian pemeriksaan dengan membuat Laporan Hasil Pemeriksaan Sumir sebelum penyampaian Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan dalam rangka mendukung tahun pembinaan wajib pajak.

Beleid yang diluncurkan awal November itu lalu pada intinya menawari WP, baik orang pribadi maupun badan, yang akan atau sedang menjalani pemeriksaan khusus oleh Ditjen Pajak untuk membayar pajak terutang sebelum 31 Desember 2015. Sebagai imbalannya, Ditjen Pajak akan menghentikan pemeriksaan yang sedang berjalan.

Harapannya, dengan penawaran ini, wajib pajak tergerak untuk melaporkan dan menyetor pajak yang sebenarnya terutang, dengan menyampaikan SPT pembetulan. Stress karena diperiksa aparat pajak juga ikut hilang. Bagi Ditjen Pajak, kebijakan ini juga bisa mempercepat penerimaan pajak karena proses pemeriksaan biasanya memakan waktu yang lama. Belum kalau WP memilih mengajukan keberatan atau banding.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP Mekar Satria Utama mengakui, kebijakan ini diharapkan akan membantu mengerek penerimaan pajak. Meski demikian, ia membantah jika kebijakan ini dikeluarkan mendadak demi mengamankan realisasi penerimaan pajak tahun ini. “Kebijakan ini merupakan bagian dari program tahun pembinaan WP,” kata Toto, demikian Mekar biasa disapa. Aturan ini merupakan hasil pertimbangan laporan hasil rapat pimpinan nasional Ditjen Pajak (DJP) pada 5 Oktober 2015.

Great sale

Buat Anda yang belum tahu, saat ini Ditjen Pajak sedang menawarkan program “Diskon pajak” besar-besaran lewat kebijakan tahun pembinaan yang beken disebut reinventing policy.

Ada beberapa kebijakan “great sale” yang diluncurkan Ditjen Pajak: Pertama, fasilitas pengurangan dan penghapusan sanksi administrasi atas keterlambatan penyampaian surat pemberitahunan, pembetulan, dan keterlambatan penyampaian surat pemberitahuan, pembetulan, dan keterlambatan pembayaran atau penyetoran pajak dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 91/PMK.03/2015.

Kedua, fasilitas diskon tarif pajak untuk revaluasi aset yang diatur lewat PMK Nomor 191/PMK.010/2015. Ketiga, fasilitas yang ditawarkan PMK Nomor 197/PMK.03/2015 berupa pengurangan sanksi administrasi atas Surat Ketetapan Pajak (SKP), Surat Ketetapan Pajak Bumi dan Bangunan, dan Surat Tagihan Pajak (STP) yang diterbitkan berdasar hasil pemeriksaan, verifikasi, atau penelitian.

Kebijakan Instruksi Dirjen Pajak yang baru sesungguhnya merupakan kelanjutan dari semua beleid terebut. Dengan kata lain, kalau WP sedang diperiksa dan memutuskan untuk membetulkan sendiri jumlah pajak terutangnya, mereka mendapat fasilitas penghapusan dan pemotongan sanksi, plus penghentian pemeriksaan.

Mekanismenya, Ditjen Pajak akan menghentikan pemeriksaan dengan membuat laporan hasil pemeriksaan (LHP) Sumir. Ini sesuai dengan PMK Nomor 17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan. Cuma, agar pemeriksaan berhenti ada syaratnya. “Jumlah pembetulan yang disampaikan harus sama dengan atau lebih besar dari hasil perhitungan atau temuan tim pemeriksa,” kata Toto. Jika nilai pembetulan lebih kecil daripada hitungan tim pemeriksa, pemeriksaan tak akan dihentikan.

Menurut dia, dengan mekanisme itu Ditjen Pajak tidak akan kehilangan potensi penerimaan. Sebaliknya, penerimaan pajak bakal lebih lancar.

Bagaimana dengan wajib pajak yang sudah diperiksa? Padahal sejatinya mereka bisa mendapatkan fasilitas ini? Tak perlu khawatir. Mereka yang sudah diperiksa masik bisa memanfaatkan fasilitas yang disediakan tiga PMK yang masuk program reinventing policy. “Mereka bisa mendapatkan fasilitas pengurangan sanksi administrasi sebesar 50%,” ujar Toto.

Ketentuan ini sesuai dengan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009. Pasal 36 UU tersebut menyatakan, Dirjen Pajak diberikan kewenangan untuk mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena adanya kekhilafan wajib pajak.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prawoto menilai, kebijakan ini sebenarnya progresif karena pemerintah ingin memberikan rasa keadilan lewat perlakuan yang setara. Masalahnya, aturan ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum di masa depan serta menabrak Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Pasa 8 UU KUP tersebut menyatakan walaupun Dirjen Pajak telah melakukan pemeriksaan, dengan syarat belum diterbitkannya SKP, wajib pajak dengan kesadaran sendiri dapat mengungkapkan ketidakbenaran dalam laporan tersendiri. Dan atas jumlah pajak kurang bayar itu tetap dikenai administrasi berupa kenaikan 50%.

Mekanisme ini tidak dicakup dalam aturan-aturan baru tersebut karena mekanismenya lewat pembetulan SPT. Apalagi ketiadaan transparansi dan akuntabilitas yang seharusnya hadir dalam SKP, berpotensi menghadirkan moral hazard.

3D render showing a character sitting on a word, with head in hands looking stressed.

Selain itu, pasal yang sama UU KUP juga mengatur pemeriksaan tetap dilanjutkan. Meski penerbitan LHP sumir merupakan salah satu bentuk keberlanjutan proses pemeriksaan, tidak terbitnya SKP dapat menimbulkan ketidakpastian hukum di masa mendatang, terutama kepada wajib pajak.

Adapun pelaku usaha punya pendapat lain. Haryadi Sukamdani, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), menyambut baik niat dan ide Ditjen Pajak untuk memberikan fasilitas kepada Wajib Pajak. “Pengusaha itu senang dikasih diskon, lebih senang kalau terus tidak diotak-atik,” katanya.

Masalahnya, Haryadi menilai kebijakan ini belum tersosialisasi dengan baik. Situs Ditjen Pajak sendiri sampai sekarang belum memuat pengumuman atau penjelasan soal terbitnya Instruksi Dirjen Nomor 4 tersebut. Sementara untuk kebijakan reinventing policy sebelumnya juga belum maksimal berjalan. “Untuk revaluasi aset saja nih, ya, yang saya dengar ada Kanwil-Kanwil pajak yang belum siap,” katanya.

Karena itu, ia menyarankan agar jangka waktu pemberian fasilitas ini diperpanjang sampai awal tahun depan, minimal sampai Februari 2016. Sebab, kalau batas waktunya hanya sampai Desember, tak banyak wajib pajak yang punya kesempatan menggunakannya. “Kenapa sih harus kesannya semua harus masuk dan selesai di tahun ini banget?” katanya.

Ya, buat mengamankan penerimaan pajak tahun ini, Pak.

Sumber: Kontan

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com



Kategori:Pemeriksaan Pajak

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar