
Pertengahan bulan ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan menerima rekomendasi tentang Free Trade Zone (FTZ) Batam. Rekomendasi akan berupa opsi-opsi yang dihasilkan dari rapat koordinasi (rakor) kementerian dan lembaga yang berkepentingan dengan FTZ Batam.
Rakor merupakan hasil mandat rapat cabinet 4 Desember 2015 supaya menemukan solusi atas berbagai permasalahan yang menjangkiti FTZ alias Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) Batam. Seusai rakor Selasa (5/1) Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution bilang, rakor belum menghasilkan keputusan final dan masih akan berlanjut pekan ini. Dalam rakor tersebut, hampir setiap menteri dan kepala lembaga punya pendapat dan rekomendasinya sendiri, meskipun seragam secara garis besar.
Pertama, masalah kependudukan. Jumlah penduduk meledak, tenaga kerja tidak produktif, dan urbanisasi tidak terkendali.
Kedua, masih banyaknya aturan dan perundang-undangan yang harus disesuaikan agar tak tumpang tindih. Istilah pemerintah, disharmoni vertical.
Ketiga, kebocoran dalam kegiatan ekspor. Pelabuhan tikus terus bertambah, penyelundupan makin marak, dan ditengarai ada sekitar lebih dari 300 titik lubang penyelundupan.
Keempat, dualisme kewenangan. Intinya, sejak awal, pengelolaan FTZ Batam adalah otorita Batam yang sekarang kita kenal sebagai Badan Pengusahaan (BP) FTZ Batam. Dalam Perjalanannya, muncul penguasa kedua di Batam atas kelahiran Undang-Undang (UU) Pemerintah Daerah.
Menurut Direktur Industri, Iptek, Pariwisata, dan Ekonomi Kreatif Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Mesdin Kornelis Simarmata, Badan Otorita Batam yang berdiri 1970-an menjadi badan hukum satu-satunya pengelola Batam. Badan ini mempunyai hak pengelolaan lahan (HPL) di seluruh pulau.
Dalam perjalanannya, payung-payung hukum memang mengalami penyempurnaan untuk memperkuat kelembagaan Badan Otorita Batam yang kemudian berubah menjadi Badan Pengusahaan FTZ Batam. Tahun 1983 dan 1984, bahkan sempat muncul regulasi tentang hubungan kerja antara Kotamadya Batam dan Badan Otorita Batam.
Namun, tahun 1999 muncul Undang-Undang (UU) Tentang Pemerintahan Daerah menyusul UU pembentukan Kota Batam. Dengan begitu, muncullah Pemerintah Kota (Pemkot) Batam.
Sejak itu, bibit dualisme kewenangan mulai tumbuh. Jadi, lanjut Mesdin, smua ekspor-impor sampai urusan kependudukan yang semula menjadi kewenangan mulai berpindah ke Pemkot Batam. “Mereka bisa menuntut kewenangan dan secara undang-undangkan mereka punya kewenangan,” terang Mesdin.
Rupanya, pemerintah pusat yang jelas-jelas tahu masalah tersebut, tidak segera menindaklanjuti. Gampangnya FTZ Batam memang produk salah asuh pemerintah. “Sejak awal, meski memperoleh hak pengelolaan 70 tahun dan pemko baru muncul tahun 1999, Otorita Batam itu sudah salah pengelolaan sejak awal,” tutur Tjahjo Kumolo, Menteri Dalam Negeri.
Secara sederhana, menurut versi Bappenas, dua pengelola di FTZ Batam membuat investor bingung. “Dengan siapa sih sebenarnya para investor itu berurusan. Nah, masalah ini sebenarnya ingin diselesaikan pemerintah,” tegas Mesdin ke KONTAN, kamis (7/1).
Dualisme kewenangan itupun berbuntut panjang. Sejak munculnya “dua matahari” di FTZ Batam, penyediaan infrastruktur di sana masih belum memenuhi standar internasional, komitmen pembangunan belum jelas, serta adanya pertentangan financial interest. Juga menyebabkan perizinan usaha makin lamban dan pengelolaan tanah tak jelas.
Tiga rekomendasi awal untuk status Batam
Jika Tjahjo Kumolo, Menteri Dalam Negeri masih berupaya mengusulkan BP Batam dihapuskan, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Franky Sibarani lebih berprinsip pada kepastian investasi dan mengatasi masalah dualisme kewenangan.
Menurutnya, ada tiga masalah utama di FTZ Batam. Pertama, perburuhan. Masalah ini cukup besar pengaruhnya, antara lain upah tenaga kerja, hingga masih banyaknya demonstrasi tenaga kerja. Kedua, pengelolaan kawasan alias dualism kewenangan tadi, antara BP Batam dengan Pemkot Batam. Ketiga, soal Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) . “Ketiganya membuat investor bingung,” tutur Franky.
Seandainya usulan Tjahjo masuk ke dalam rekomendasi hasil rakor, artinya sudah terdapat tiga rekomendasi awal untuk presiden. Rekomendasi pertama, membubarkan BP Batam dan menyerahkan pengelolaan FTZ Batam sepenuhnya kepada Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau.
Rekomenadi kedua, menurut Darmin, adalah penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) yang bakal menegaskan UU No. 36/2000, sekaligus menjelaskan PP No.46/2007 dan memerinci lebih detil kewenangan BP Batam dan Pemko Batam. Sehingga, BP Batam tetap ada, hanya memperjelas kewenangan masing-masing. Namanya PP Hubungan Kerja antara BP Batam dengan Pemko Batam.
Rekomendasi ketiga, namun bersifat jangka panjang, rencana penerbitan UU tentan pembentukan Batam sebagai daerah otonomi khusus berbasis ekonomi. Bentuk otonomi khusus tersebut hingga kini belum ada bentuknya di Indonesia. Kemungkinan besar, pengelolaannya akan langsung ditangani oleh pemerintah pusat. Semua perizinan dan aturan akan langsung ke pusat.
Catatan saja, pemerintah pusat menilai pembentukan FTZ Batam sudah melenceng dari tujuan awal. Dalam perjalanannya, perkembangan investasi dari hasil FTZ Batam juga cenderung menurun alias melambat. Jokowi bilang, kawasan ekonomi khusus Batam, Bintan, dan Karimun penuh dengan masalah di sisi legal. Di lapangan, kata Jokowi, aturan perundang-undangan FTZ tidak otoritatif dan belum efektif. Lalu UU No.23 /2014 dan UU No. 36/2000 juncto UU No 46/2007 masih belum harmonis, sehingga salah satunya menimbulkan dualisme tadi.
Hanya saja, menurut Pengamat Batam sekaligus pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Internasional Batam Suyono Saputro, Jokowi sepertinya juga harus membaca lebih detil apa yang sedang terjadi di FTZ Batam. Ribuan hectare (ha) lahan di Pulau Rempang dan Pulau Galang tidak dimanfaatkan karena menteri dalam negeri menetapkan status quo untuk kedua pulau. Padahal, banyak investor baru yang perlu mencari tanah dan Batam kesulitan menampung para investor yang masuk. Selain itu, berbagai aturan buatan pusat juga masih banyak yang saling tumpang tindih .
Kapasitas pelabuhan di Batam juga masih kecil jika dibandingkan Singapura atau Johor Baru, Malaysia. Kapasitas pelabuhan terbesar di Batam cuma 600.000 TEU per tahun. Sementara pelabuhan Singapura 35 juta TEU dan Johor Baru 15 juta TEU. Lagipula, perlambatan dinilai pemerintah itu terjadi memang karena kondisi ekonomi global sedang melambat. Sementara mayoritas industry di FTZ Batam merupakan industri asing Jadi, pengaruh global ke industri di Batam sangat signifikan.
Menurut catatan BP Batam, realisasi investasi di FTZ Batam Januari-November 2015 sekitar US$ 238,5 yang berasal dari 134 perusahaan baru. Periode yang sama tahun lalu, terdapat sekitar 136 perusahaan bary dengan total investasi US$ 568 juta. Kalau tahun 2015 terdapat sekitar 10 perusahaan bereskpansi aluas perluasan usaha dengan menggelontorkan US$ 23,86 juta, tahun sebelumnya ada 18 perusahaan dengan total investasi pengembangan usaha mencapai US$ 417 juta.
Maka, yang harus dilakukan pemerintah adalah reorganisasi, evaluasi, dan revitalisasi. Reorganisasi manajemen alias sumber daya manusia (SDM). Harus SDM yang bervisi global dan menjawab tantangan bisnis ke depan. Lali, evaluasi tugas pokok BP Batam dan Dewan FTZ, telaah lagi berbagai aturan yang menghambat, serta revitalisasi BP Batam. Jangan dibubarkan. “Ingat, BP Batam punya asset sangat besar, tidak hanya asset fisik berupa bandara, rumah sakit, pelabuhan , politeknik, dan segala macam, tapi juga berupa sertifikat lahan yang sejak 40 tahun lalu dikeluarkan BP Batam,” tegas Suyono.
Direktur Humas dan Promosi BP Batam Purnomo Andiantono pun bingung dengan pernyataan Tjahjo yang menyatakan pemerintah pusat kehilangan pajak Rp 20 triliun per tahun di FTZ Batam. Lalu, Purnomo juga menyebut, pertumbuhan ekonomi di FTZ Batam masih di angka 6,5%-7% atau di atas pertumbuhan ekonomi nasional per tahun. Kita sebenarnya baik-baik saja. Tahun 2016 ini ada roadmap yang dibuat konsultan internasional. Ada delapan focus industri yang akan kita kejar supaya masuk ke Batam,” tutur Purnomo ke KONTAN, kamis (7/1).
Baik-baik saja atau tidak, kita tunggu saja sikap bijak Jokowi menentukan masa depan FTZ Batam.
Sumber: Kontan
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak
Tinggalkan komentar