
Efek BI rate bagi sektor property masih menunggu penurunan bunga kredit dari perbankan
JAKARTA. Suku bunga acuan atau BI rate memang turun. Tapi efek ke industri properti belum tentu terasa.
Maxi Liesyaputra, Analis KDB Daewoo Securities, mengatakan, penurunan suku bunga tidak serta merta menstimulus rebound industri properti. “BI rate turun, belum semua bank ikut menurunkan bunga kredit,” ujar Maxi kepada KONTAN akhir pekan lalu.
Masih tingginya bunga kredit otomatis menahan penurunan bunga kredit pemilikan rumah (KPR) atau kredit konsumsi. Selain itu, daya beli masyarakat belum sepenuhnya pulih. Ini menambah tekanan bagi industri properti.
Dua hal ini yang menekan industri properti. Tekanan ini juga berdampak pada rontoknya sejumlah saham sektor properti tahun lalu. Dalam kondisi seperti ini, pemain properti yang masih terlihat prospektif adalah emiten dengan diversifikasi portofolio bisnis yang kuat.
“Yang besar dan memiliki pendapatan berulang,” imbuh Maxi.
Memang, hasil pendapatan berulang atau recurring income lebih kecil ketimbang penjualan properti atau development income. Tapi, pendapatan berulang mampu memberikan kestabilan di tengah ketidakpastian.
PT Pakuwon Jati Tbk (PWON) salah satunya. Bahkan, recurring income emiten properti berbasis di Surabaya ini menyumbang hampir 50% pendapatan konsolidasi.
“PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR) juga memiliki recurring income yang cukup baik dari bisnis rumah sakit (Siloam),” ujar Maxi.
Jangan lupakan PT Summarecon Agung Tbk (SMRA), lewat sejumlah pusat perbelanjaan yang menghasilan recurring income kuat. Dari ketiga pemain tersebut, Maxi menyukai SMRA.
Ia merekomendasikan saham ini dengan target harga Rp 2.000 per saham. Harga saham SMRA Rp 1.575 per saham (26/2), jadi ada potensi kenaikan Rp 425 per saham. Bandingkan dengan LPKR. Maxi menargetkan harganya Rp 1.175 per saham, sementara harganya Jumat lalu sudah Rp 1.005 per saham (22/6).
Sanni Satrio Dwi Utomo, Analis Bahana Securities, dalam risetnya menjelaskan, industri properti tahun lalu terpukul lesunya daya beli masyarakat. Diperburuk pula oleh kebijakan perpajakan pemerintah yang agresif. Depresiasi rupiah turut menggerus sebagian pendapatan pemain properti.
Akibatnya, pemain properti merevisi target marketing sales mereka. “Lemahnya pencapaian marketing sales berakibat pada rendahnya earning pemain properti tahun ini,” tambah Sanni.
Lesunya permintaan juga menyebabkan pelaku industri menurunkan harga jual untuk menstimulus permintaan. Tapi, strategi ini berdampak pada penurunan margin. Sanni memprediksi, rata-rata pertumbuhan marketing sales properti tahun ini sebesar 9% year on year.
Dia melihat, prospek industri properti tahun ini konservatif. Sanni memberikan rating underweight atas prospek industri properti.
Sumber: Kontan
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak
Tinggalkan komentar