Tax Counterbalancing

Haryo Kuncoro

Dosen Keuangan Negara Fakultas

Ekonomi Universitas Negeri Jakarta

 

Setelah mengajukan RUU Tax Amnesty dengan DPR, pemerintah tengah mempersiapkan revisi sejumlah undang-undang (UU) perpajakan turunannya, anatara lain UU Pajak Penghasilan (PPh) dan UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Rencananya, tarif PPh Badan pasal 25/29 diturunkan dari 25% menjadi kisaran 18%. Tarif PPN akan dinaikkan dari 10% menjadi 12%.

Rancangan yang diwacanakan sejak awal tahun 2015 ini tetap menjadi fenomena menarik untuk dicermati. Pajak senantiasai mebeturkan tiga kepentingan yang berbeda, yaitu pemerintah, produsen, dan konsumen. Dari sisi pemerintah, revisi tarif pajak merupakan upaya untuk menggenjot penerimaan (tax counterbalancing) setelah tahun lalu mengalami shortfall perpajakan.

Penurunan tarif PPh Badan mendorong daya saing dunia usaha dalam memerangi praktik transfer pricing. Apabila PPh tetap 25%, banyak pengusaha yang mengalihkan domisili usahanya keluar Indonesia hanya untuk menghindari beban PPh Badan.

Per definisi, PPh termasuk kategori pajak langsung. Pembayar pajak sekaligus adalah penanggung beban akhirnya, Dengan demikian, efektivitas penurunan tarif PPh terhadap penerimaan pajak tergantung pada seberapa besar derajad responsivitasnya.

Pemerintah berkeyakinan tarif yang lebih rendah akan meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak (WP) sehingga mendongkrak penerimaannya. Akan tetapi, pengalaman empiris menunjukkan tarif yang lebih rendah tidak serta-merta diikuti dengan meningkatnya kepatuhan WP.

Apalagi, basis penerimaan pajak masih bertumpu (90%) pada PPh Badan. Dengan begitu, penurunan tarif PPh-jika tidak diikuit dengan penyempurnaan perangkat hukum- akan berpotensi gagal meningkatkan penerimaan negara.

Dalam hal PPN, logika bahwa tarif yang lebih tinggi akan berbanding lurus dengan penerimaan bisa menjadi bumerang. Sebagaimana diteorikan dengan kurv Laffer, penerimaan negara bisa menurun tatkala kenaikan tarif efektifnya telah terlampaui.

Tarif PPN 10% yang kini masih berlaku seperti sudah mencapai titik optimum. Tarif itu kurang lebih sama dengan margin keuntungan perusahaan. Kenaikan PPN dikhawatirkan mengusik kondisi Pareto Optimum. Artinya, kenaikan PPN harus dibayar dengan penurunan margin keuntungan sehingga PPh yang diraup juga mengecil.

Kenaikan PPN juga berdampak langsung terhadap konsumen dalam bentuk harga jual yang lebih tinggi. Persoalannya adalah kenaikan PPN dan penurunan PPh Badan demi peningkatan penerimaan negara haruskah mengorbankan kepentingan konsumen.

Kearifan implementasi

Dampak tarif pajak pada konsumen dapat diverifikasi dari efek subsitusi dan efek pendapatan. Untuk barang manufaktur dan barang mewah, efek pendapatan lebih tinggi daripada efek harga. Dalam kasus ini, kebijakan mengubah tarif PPN akan berhasil menuju sasarannya.

Sebaliknya, elastisitas harga lebih rendah (relative terhadap elastisitas pendapatan) umumnya berlaku pada kebutuhan pokok. Oleh karena itu, kenaikan PPN atas komoditas jenis ini niscaya merugikan konsumennya.

Dari sini dapat disimak bahwa kebijakan perpajakan tidak semata-mata hanya berurusan dengan kas negara. Pajak berperan strategis dalam hal pertumbuhan, pemerataan, dan stabilisasi.

Kebijakan tax counterbalancing diharapkan tetap berada pada koridor tiga aspek di atas. Oleh karena itu, penerapannya disesuikan situasi dan kondisi domestic yang khas terjadi.

Otoritas pajak bisa mendesain, misalnya, pemotong PPh untuk provinsi dengan tingkat pendapatan dan pertumbuhan yang rendah. Insentif pajak pada daerah tertinggal tidak mengurangi penerimaan pajak, karena mendorong aktivitas ekonomi yang menggerakan produksi dan konsumsi.

Terkait dengan segmen masyarakat kelas bawah, tax counterbalancing bisa dipilah sampai pada level komoditas. Sebab, perilaku konsumen dalam menyikapi kenaikan tarif PPN berbeda-beda tergantung pada karakteristik barang, individu, daerah, dan waktu penerapannya.

Alhasik, untuk jangka pendek, tax counterbalancing memang diperlukan. Akan tetapi, urgensi jangka panjang sesungguhnya terletak pada kearifan implementasinya. Pada titik ini, penerapan pada hal-hal yang bersifat kasuistik memerlukan kecanggihan berfikir yang spesifik demi efektivitas UU PPh dan PPN yang baru.

 

Sumber: Kontan

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com

 



Kategori:Berita Pajak

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar