
JAKARTA – Kasus pembunuhan juru sita pajak di Gunungsitoli dinilai oleh para pengusaha lantaran petugas dari KPP Pratama Sibolga tersebut menagih tidak sebanding dengan aset bahkan omzet mereka. Akibatnya, sejumlah pengusaha ada yang merugi dan bangkrut. Selain itu ada yang memilih menyanggah surat tagihan tersebut.
Menanggapi kejadian ini, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo memandang hal tersebut terjadi lantaran adanya disinformasi data Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dengan wajib pajak (WP). Oleh sebab itu, dia menyebutkan dibutuhkan suatu rekonsiliasi data perpajakan agar tidak terjadi lagi disinformasi atau perbedaan persepsi seperti ini.
“Ya itu saya kira ada perbedaan persepsi mungkin yah. Makanya harus ada rekonsiliasi data. Saya kira perlu rekonsiliasi data itu berarti jangan sampai ada perbedaan persepsi. Kalau yang menurut kantor pajak tunggakan, wajib pajak bukan,” ujarnya kepada Okezone.
Dia menyebutkan, terkadang wajib pajak tidak mengetahui bahwa hal tersebut merupakan suatu sengketa. Sehingga, wajib pajak tidak menghiraukan kewajibannya jika merasa keberatan.
“Misalnya saya punya hak untuk mengajukan keberatan. Kalau saya merasa enggak setuju, saya enggak usah bayar. Nah ini yang penting,” jelas dia.
Menurutnya, sistem penagihan pajak di daerah-daerah pun jangan disamakan dengan kawasan kota besar seperti Jakarta, yang mana wajib pajak lebih melek terhadap peraturan perpajakan.
“Saya bayangkan sekali daerah yang soal disinformasi. Jadi tidak usah disamakan dengan orang Jakarta yang melek perpajakan,” tukasnya.
Sumber: okezone.com
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak
Tinggalkan komentar