Insentif Properti

Pemerintah terus memberikan sejumlah insentif untuk sektor properti. Sebut saja, bagi perusahaan properti yang menerbitkan Dana Investasi Real Estate (DIRE) pemerintah memangkas pajak penghasilan final (PPh) dari 5% menjadi 0,5% dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dari 5% menjadi 0,5% dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dari 5% menjadi maksimal 1%.

Bank Indonesia pun melonggarkan aturan kredit pemilikan rumah (KPR). Loan to value (LTV) yang tadinya 80%, dinaikkan menjadi 85%. Artinya, masyarakat bisa membeli rumah dengan uang muka Cuma 15%. BI juga membuka lagi keran KPR untuk inden rumah kedua.

Terbaru, pekan lalu, pemerintah memangkas PPh Penjual untuk properti di luar rusuk sederhana dan rumah sederhana dari 5% jadi 2,5%.

Di level pemerintah daerah, DKI Jakarta berencana membebaskan BPHTB untuk rumah di bawah Rp 2 miliar pada 2017. Di Batam, BPHTB akan dipangkas menjadi 2,5%.

Pemerintah pun mengizinkan dana yang tadinya parkir di luar negeri masuk ke sektor properti, setelah melalui proses amnesti pajak.

Di atas kertas, kombinasi kebijakan di atas seharusnya akan kembali mendorong sektor properti yang sempat lesu, dua tahun terakhir.

Namun, yang lebih penting sebenarnya, apakah kebijakan-kebijakan tersebut bisa mendorong pemerintaah kepemilikan rumah. Berdasarkan data BPS, pada 2014, masih kekurangan pasokan rumah (backlog) sebesar 13,5 juta unit. Diperkirakan, saban tahun akan terjadi penambahan backlog sekitar 400.000 unit.

Backlog tidak hanya terjadi  lantaran ketidakmampuan pengembang memenuhi kebutuhan rumah layak, melainkan juga dari sisi konsumen, ada masalah daya beli. Padahal, pemerintah menargetkan backlog bisa turun jadi 5 juta saja pada 2019.

Melongok Indonesia Properti Expo 2016, pengembang dan bank agaknya mendukung niat baik pemerintah. Misalnya, dengan insentif bunga serendah 7,1% hingga tenor kredit maksimal 25 tahun. Beberapa pengembang mematok uang muka 5%. Apakah ini akan cukup memadai untuk mendorong aksi beli rumah dari masyarakat yang memang butuh?

Tergantung. Sebab, masalah lain yang menggelisahkan adalah terlalu kuatnya posisi pengembang dalam menentukan harga rumah. Ditambah, pemerintah daerah bisa seenaknya menaikkan nilai jual objek pajak (NJOP) tanah sehingga Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) kian berat. Semoga ini jadi perhatian pemerintah pusat. Sehingga, insentif properti benar-benar bisa dinikmati rakyat kebanyakan.

Sumber : Harian Kontan, 18 agt 2016

Penulis: Asih Kirana Wardani

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com

 

 



Kategori:Berita Pajak

Tag:, , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar