Semangat Bersaing yang Mengundang Risiko.

Image result for ekonomi

Selama dua tahun terakhir, pemerintah rajin menebar gula-gula fiskal. Di tahun 2015, pemerintah memberikan penghapusan sanksi dan denda, yang popular di sebut reinventing policy. Tawaran pengampunan pajak datang berikutnya, sejak semester kedua ini hingga akhir kuartal pertama tahun depan.

Belum lagi tax amnety kelar bergulir, pemerintah sudah menyiapkan iming-iming berikut untuk wajib pajak, yaitu pemangkasan tarif pajak penghasilan (PPh). Tak tanggung-tanggung, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sendiri yang mengungkapkan langsung rencana penurunan tarif PPh.

Dalam keterangan tertulis presiden, tarif PPh yang akan diutak-atik pemerintah adalah tarif PPh untuk badan. Besaran pemangkasan yang di janjikan terbilang menggiurkan. “Tidak menutup kemungkinan penurunan langsung ke 17%, jika setelah dikalkulasi memang memungkinkan,” ujar Presiden Jokowi. Mengingat, tarif PPh untuk badan saat ini sebesar 25%, berarti pemangkasan yang dijanjikan sebesar 8%.

Wacana pemangkasan tarif PPh sebetulnya bukan barang baru. Penurunan tarif PPh lazim masuk sebagai salah satu agenda reformasi pajak. Selain itu, “Pemangkasan pajak penghasilan menjadi tren saat ini karena banyak negara ingin tarif pajaknya lebih kompetitif,” tutur Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Tax Analysis.

Alasan lain Indonesia perlu memiliki tarif PPh yang lebih kompetitif adalah pelaksanaan pengampunan pajak. Di atas kertas, pengampunan pajak sangat ampuh membuat tax base kian melebar. Basis pajak yang kian melar itu merupakan salah satu syarat yang biasanya di cantumkan sebelum sebuah negara memangkas tarif PPh.

Pelebaran basis pajak harus terjadi lebih dulu sebelum tarif dipangkas agar penerimaan pajak tidak terganggu. Logika yang sederhana, penerimaan pajak dari 10 orang yang dikenakan tarif sebesar 20%, tentu tak berbeda jauh dengan penerimaan pajak dari 20 orang yang kena tariff 10%.

Pemangkasan tarif PPh juga biasa diresepkan setelah sebuah negara memberi ampunan pajak, yang melibatkan opsi repatriasi. Tujuannya, mencegah dana-dana yang berhasil ditarik dengan pengampunan pajak, hengkang lagi ke luar ngeri.

Ogah bersaing

Kendati rencana pemangkasan PPh itu disampaikan langsung oleh orang nomer satu di negeri ini, jangan terlalu berharap penurunan tarif segera terjadi. Mengingat PPh diatur dalam Undang-Undang, berarti perubahan tarif PPh memerlukan revisi UU PPh. Ini berarti, rencana itu harus melalui pembahasan dengan DPR.

Nah, pemerintah memang sudah mengajukan agenda revisi UU PPh ke DPR. Namun, melihat antrian aturan yang harus dibahas di Senayan, target palin realistis untuk melihat tarif UU PPh yang baru adalah tahun 2018, bukan 2017 . Bahkan, revisi UU PPh itu bisa jadi baru tuntas lebih lama lagi.

Saat ini, Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) dan Kementerian Keuangan (Kemkeu) tentang perubahan tarif UU PPh. “Kajian itu agak sulit tuntas tahun ini. Kami masih fokus di tax amnesty,” tutur Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama.

Seusai itu, Ditjen Pajak dan Kemkeu sudah punya agenda lain dengan DPR, yaitu membahas revisi UU Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (KUP). “Setelah pembahasan itu beres, baru RUU PPh dibahas bersama,” tutur dia.

Dengan alasan kajian masih berlangsung di pemerintah, Hestu tak banyak mengungkap tentang skema penurunan tarif PPh yang disiapkan. Ia hanya menyebut, dalam kajian terkini, yang menikmati penurunan tarif PPh hanya wajib pajak badan. Tarif PPh untuk wajib pajak perorangan tidak berubah. “Penurunan PPh badan kalau jadi, ya akan diberlakukan untuk semua,” tutur dia.

Sumber KONTAN menuturkan, dalam kajian yang pernah dilakukan pemerintah, penurunan tarif PPh akan berlangsung bertahap. Target penurunan ditahap pertama, sebesar-besarnya 5%. “Setelah itu bisa dipotong lagi secara bertahap hingga 17%,” ujar dia.

Angka 17% dipilih sebagai batas untuk mendekati tarif PPh maksimal yang diberlakukan Singapura untuk wajib pajak badan, yaitu 16%. Nah yang menarik, dalam pernyataan tertulisnya, Presiden  Jokowi menyebut tidak tertutup kemungkinan tarif PPh badan di pangkas lagi, hingga 10%.

Namun niat Presiden Jokowi agar Indonesia bisa memiliki tarif PPh yang bersaing dengan Singapura diragukan bisa terwujud. Penyebabnya, tak hanya kondisi demografis Indonesia dan Singapura yang berbeda.

Berbagai indikator perpajakan di antara kedua negara pun berbeda. Tax ratio di Singapura sudah berkisar 14%, sedangkan Indonesia masih bergerak di bawah 10%.

Perbedaan yang lebih penting lagi adalah kontribusi peran pajak penghasilan. Di Indonesia, lebih dari separuh penerimaan pajak datang dari pajak penghasilan. Dan, mayoritas pajak penghasilan di sini berasal dari wajib pajak badan. “Sedangkan di Singapura, pajak penjualan lebih domain sebagai penyumbang penerimaan pajak,” tutur Prastowo.

Ia meragukan, Indonesia bisa menang jika memainkan jurus merendahkan tarif PPh badan. Saat ini, Negeri Singa berani memberikan tarif PPh yang berbeda-beda. “Ambil contoh wajib pajak yang membawa investasi, bisa mendapatkan pengurangan pajak hingga berapa kali lipat dari nilai investasi yang dibawanya. Dengan insentif semacam itu, banyak wajib pajak yang praktis mendapatkan tarif 0%” tutur Prastowo.

Keengganan untuk adu rendah tarif PPh juga disampaikan Hestu. “Sebetulnya kita ingin agar negara-negara Asean ini tidak menurunkan tarif serendah-rendahnya untuk menarik investor. Perlu dibangun sesama negara Asean untuk tidak melakukan persaingan penurunan tarif yang serendah-rendahnya,” tutur dia.

Sikap ragu-ragu beradu rendah tarif PPh tentu tidak lepas dari besarnya konsekuensi yang harus ditanggung pemerintah jika memainkan jurus itu. Heriyanto Irawan, analis dari Deutsche Verdana Indonesia, memperkirakan, agar pemangkasan tarif PPh tak membawa dampak bagi anggaran, Indonesia perlu tambahan wajib pajak baru. Hitungan Heriyanto, untuk pemangkasan tarif PPh sebesar 5%, harus ada 2,5 juta wajib pajak baru agar anggaran tak guncang.

Apakah perluasan basis pajak itu bisa tercapai? Ya mungkin saja. Namun ada yang patut diingat oleh kita saat membahas ide pemangkasan tariff PPh.”Kalau sudah diturunkan, tariff itu tidak mungkin dinaikkan lagi, “ujar Prastowo. Nah, daripada kejeblos dalam situasi rawan, lebih baik memasang target pemangkasan tariff PPh yang realistis. Setuju Pak?

Penulis : Thomas H, Melrinda Riska

Sumber: Tabloid Kontan

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com



Kategori:Berita Pajak

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar