Sistem Remunerasi Ditjen Pajak Dievaluasi

Hasil gambar untuk remunerasiJAKARTA – Akhir tahun selalu menjadi waktu yang paling menegangkan bagi para pejabat di Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak). Masa krusial ini biasanya terjadi dalam tiga bulan terakhir sebelum tutup tahun.

Hal ini terkait dengan nasib anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN): apakah defisit di akhir tahun aman, ataukah tidak? Nah, itu juga erat kaitannya dengan kemampuan pegawai di Ditjen Pajak dalam mengejar target penerimaan negara dari pajak. Jika, defisit APBN lebih dari batas yang ditentukan, yaitu 3%, nasib pemerintahan akan di ujung tanduk.

Di sisi lain, mengejar target penerimaan pajak juga menjadi pertaruhan bagi pegawai pajak untuk membuktikan bahwa tidak sia-sia pemerintah memberikan gaji sesuai beban yang harus dipenuhi. Maklum, dari sisi gaji dan pendapatan (remunerasi), yang didapat pejabat dan pegawai otoritas pajak relatif lebih besar dari lembaga lainnya.

Sayangnya, tingkat penghasilan yang besar itu ternyata tidak menjamin kinerja Ditjen Pajak sesuai harapan. Lihat saja, sejak tahun 2008, Ditjen pajak memang tidak pernah bisa memenuhi target penerimaan pajak 100%. Hasilnya selalu di bawah itu.

Itu belum termasuk noda di lembaga itu. Beberapa tahun terakhir, ada beberapa kasus pelanggaran hukum yang melibatkan pejabat di Ditjen Pajak. Yang terbaru melibatkan Kepala Sub Direktorat Bukti Permulaan Direktorat Penegakan Hukum Ditjen Pajak, Handang Soekarno.

Wajar saja Menteri Keuangan Sri Mulyani bakal mengambil sikap drastis terhadap sistem remunerasi di Ditjen Pajak. Dalam waktu dekat, Kemkeu akan meninjau ulang aturan remunerasi di Ditjen Pajak. Saat ini, soal remunerasi diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 37 Tahun 2015. “Saya berjanji akan melakukan koreksi terhadap Perpres tersebut,” ujar Sri Mulyani, Senin (28/11).

Dalam sistem yang baru ini, Kemkeu akan membedakan sistem remunerasi antara pejabat eselon III atau setingkat direktur, ke bawah. Sri Mulayani berjanji memberikan insentif lebih kepada petugas pajak yang berada di eselon III ke bawah. Sebab, merekalah yang selama ini berhubungan langsung dengan para Wajib Pajak (WP).

Selain mengenai remunerasi, Sri Mulyani juga bilang, pihaknya akan memperbaiki proses bisnis di Ditjen Pajak, terutama proses bisnis dalam memeriksa. Ia menginginkan, setiap pegawai petugas pajak yang melakukan pemeriksaan bisa terpantau. Dengan begitu, petugas pajak tidak seenaknya mengeluarkan Surat Tagihan Pajak (STP) dengan dasar perhitungan yang tidak terukur.

Pengawasan melekat

Anggota Komisi XI Dewan Perwajilan Rakyat KardayaWarnika menilai, mekanisme pengawasan melekat (waskat) di Ditjen Pajak sejauh ini masih lemah. Dalam sistem itu, setiap pimpinan harus bertanggung jawab atas kesalahan bawahannya.

Misalnya, ketiga ada pegawai pajak yang melanggar hukum, sang pejabat harus berani mundur. Saat ini, yang terjadi memang ada pengawasan dari pimpinan. Namun ketika terjadi masalah, pimpinan tidak berani bertanggung jawab. “Etika seperti itu perlu karena akan mendorong setiap pejabat di Ditjen Pajak menerapkan pengawasan yang maksimal,” ungkap Kardaya dalam rapat kerja Komisi XI dengan Menteri Keuangan, Senin (28/11).

Anggota Komisi XI Andreas Eddy Susetyo mengatakan, Dirjen Pajak seharusnya bertanggung jawab atas. Apalagi, pihaknya sudah menyetujui kenaikan remunerasi dan anggaran untuk pengawasan di DJP, khususnya pengembangan sistem informasi.

Penulis: Asep Munazat Zatnika, Hasyim Azhari

Sumber : Harian Kontan

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com



Kategori:Berita Pajak

Tag:, , , ,

Tinggalkan komentar