Niat berinvestasi di property bisa jadi semakin mini. Selama 2-3 tahun terakhir, banyak pengamat yang menyebut harga property sudah keliwat mahal. Namun jika menyimak laju pertumbuhan harga property kelas atas di Jakarta, bisa jadi ruang gerak memancing laba semakin menipis.
Nah, hitung-hitungan tentang imbal hasil property bakal kian suram di mata pemilik dana dengan perubahan aturan pajak property. Di antara investor yang sudah berniat menginvestasi protofolionya di property adalah Johannes Sutikno, Presiden Direktur Valbury Asia Securities. “Saya memilih jual seluruh asset saya saja sebelum masuk aturan yang memberatkan lagi,” ujar dia.
Johannes memang pantas merasa resah. Dalam waktu yang hampir bersamaan, pemerintah akan mengubah beberapa aturan pajak property yang membuat beban masyarakat, termasuk investor ritel kian membengkak. Salah satunya rencana revisi peraturan menteri keuangan (PMK) yang akan menurunkan kategori property sangat mewah.
Dalam PMK nomor 253 tahun 2008, property yang dikenai PPh pasal 22 adalah rumah beserta tanah dengan harga jual di atas Rp 10 miliar dan luas bangunan lebih dari 500 meter persegi (m2). Sementara untuk rumah jangkung, batasannya adalah harga jual di atas Rp 10 miliar dengan luas bangunan lebih dari 400 m2.
Nah, akhir Januari 2015 ini, revisi peraturan tadi bakal diterbitkan dengan menurunkan criteria barang sangat mewah. PPh pasal 22 bakal dikenakan terhadap rumah beserta tanah dengan harga jual lebih dari Rp 2 miliar atau luas bangunan lebih dari 400 m2. Sementara untuk apartemen, kondominium, dan sejenisnya, batasannya adalah yang harga jualnya di atas Rp 2 miliar atau luas bangunan di atas 150 m2.
Pada akhir tahun, PPh pasal 22 ini bisa menjadi penguang pajak penghasilan yang anda bayar atau bisa diklaim sebagai restitusi. Masalahnya, proses dan waktu restitusi yang tidak gampang bikin banyak pembeli property keder duluan.
Aturan lainnya adalah PMK tentang tariff dan batasan barang mewah (PPnBM). Yang bakal terkena aturan ini adalah town house, apartemen, ruko, dan rukan. Pajak yang dikenakan malah jauh lebih besar, yakni 20% dari harga jual. Selain itu, “Saat ini pengenaan PPnBM berdasarkan luas bangunan. Pemerintah mau kriterianya ditambah dengan harga per meter persegi,” ujar pengamat property, Ali Tranghanda.
Tak relevan
Persoalannya, revisi aturan pajak tersebut muncul di tengah kondisi sektor properti yang kurang menggembirakan. Ali menilai, pasar properti sejatinya sedang mengalami masa jenuh akibat lojakan harga yang sebelumnya terjadi. Puncaknya, pada tahun 2013 ketika kenaikan harga property di pasar sekunder melambung hingga 50%, bahkan ada yang mencapai 60%. Investor ritel kala itu menjala untung besar. “Tapi sekarang capital gain rata-rata Cuma 10%, baik untuk sewa maupun jual,” kata Ali.
Di sisi lain, property residensial di kisaran harga Rp 2 miliar tidak bisa digolongkan sebagai barang sangat mewah. Kondisi ini terutama berlaku di Jakarta. Pasalnya, untuk apartemen di sekitar harga Rp 2 miliar per unit saat ini memang lebih banyak menyasar segmen kelas menengah.
Sementara untuk rumah tapak, hampir tidak ada lagi developer yang mengembangkan proyek baru di Jakarta. Kalaupun ada, harganya sudah sangat fantastis, belasan hingga puluhan miliar rupiah. Kecuali di daerah-daerah pinggiran, seperti Jakarta utara, yang masih tersedia stok rumah tapak dengan harga di bawah Rp 10 miliar.
Bagi investor ritel, jika jadi diberlakukan, tambahan beban pajak ini bisa membuat keuntungan yang diraih semakin menipis. F. ranch. Suherman, managing director re/max Indonesia bertutur, kenaikan imbal hasil investasi properti di Jakarta malah terbilang tipis karena harga propertinya sendiri sudah mahal. “untuk rumah di atas Rp 2 miliar saat ini capital gain jual sekitar 5%-7% setahun. Sedangkan yield untuk pendapatan sewa sekitar 5%,”katanya.
Pendapat berbeda disampaikan risza bambang. Aktuaris yang dikenal sebagai investor properti ini menganggap, capital gain dari residensial, terutama rumah tapak di Jakarta masih cukup bagus. Ini seiring dengan permintaan yang memang masih besar. “dari NJOP (nilai jual objek pajak) saja tiap tahun sudah naik 10%. Nah, kalau rumah dijual kembali, kenaikan bisa 20%-30%, “kata risza.
Associate director research and advisory Cushman & wakefield Indonesia, arief rahardjo juga punya pandangan serupa dengan risza. Permintaan apartemen dengan harga Rp 15 juta per m2-Rp 25 juta per m2 masih cukup bagus. Hunian jangkung di level harga segini umumnya membidik pembeli dari segmen kelas menengah dan berada di luar kawasan Central Business District (CBD). Ini bisa terlihat dari tingkat penjualan apartemen yang belum selesai dibangun antara 65%-70%. Sementara apartemen yang sudah jadi penjualannya bisa 98%.
Tingginya permintaan paling tidak tercermin dari animo pengembang dalam mengguyur pasar dengan proyek-proyek baru. Catatan Arief, sampai akhir 2014, di Jabodetabek, ada 139 ribu unit apartemen baru yang tersedia. “Yang sedang dipasarkan saat ini 165 ribu unit, dan akan jadi dalam dua-tiga tahun lagi,” ujar Arief.
Beli perdana
Meski begitu, peluang cuan investasi property yang masuk kategori sangat mewah sejatinya masih cukup terbuka. Salah satunya dengan cara memburu property di harga perdana. Menurut Arief, kenaikan harga property dari harga perdana hingga proyek selesai rata-rata bisa mencapai 30%-40%. Meski keuntungan yang cukup besar bisa sedikit mengompensasi tambahan beban pajak yang musti Anda bayar.
Kalau ingin keuntungan lebih maksimal lagi, Anda bisa memelihara portofolio dalam tempo yang agak jangka panjang, misalnya di atas dua tahun. Di kawasan Bintaro Jaya, contohnya, kenaikan harga tanah sejak kawasan itu dibangun tahun 1980-an rata-rata 16% per tahun. Khusus untuk periode 2010-2013, kenaikannya malah mencapai 40% per tahun. Hal ini jelas mempengaruhi harga rumah di kawasan itu.
Sekretaris Perusahaan Jaya Real Properti, Arum Prasasti mencontohkan, pada 20111 silam pihaknya menjual rumah tapak di kluster Emerald View seharga Rp 300 juta pada 201. Luas tanahnya 105 m2 dan bangunan 110 m2. Pada 2013 harganya sudah menjadi Rp 800 juta. “Saat ini kami menawarkan tipe yang sama di kluster Discovery Aluvia harganya sudah Rp 2 miliar,” ujar dia.
Potensi berikutnya ada di property residensial second. Jangan lupa, pengenaan pajak property PPh pasal 22 dipungut oleh wajib pajak yang berbentuk badan. Dalam hal ini developer yang memungut pajak tersebut dari pembeli propertinya. Namun aturan ini tidak berlaku jika penjual property adalah wajib pajak pribadi. Dengan begitu, investor ritel bisa menetapkan harga jual tanpa perlu memasukkan faktor tambahan beban pajak.
Menurut Risza, factor pajak memang bisa membuat investor beralih mengincar residensial di pasar second. Tentunya yang diperoleh sebelum adanya perubahan ketentuan pajak.
Meski begitu, Anda tetap harus teliti dalam membidik rumah bekas. Factor lokasi tetap harus menjadi pertimbangan utama. “Rumah second di atas Rp 2 miliar tapi lokasinya tidak sesuai kebutuhan Anda, untuk apa juga,” ujar Risza mewanti-wanti.
Prospek luar Jakarta
Meski tergencet, peluang meraih untung lumayan dari investasi property masih cukup terbuka. Di daerah penyangga Jakarta, seperti Bekasi dan Tangerang, potensi kenaikan harga dan minat pembeli nyatanya masih besar. Apalagi, masih cukup banyak properti residensial yang ditawarkan dengan harga kurang dari Rp 2 miliar.
Apartemen Barclay di Grand Kamala Lagoon, Kalimalang, Bekasi, bisa jadi contoh. PT PP Properti meluncurkan proyek ini pad Kamis, 22 Januari 2015. “Pada hari pertama launching sudah 375 unit yang laku. Sampai kemarin (Rabu, 28 Januari 2015) sudah 500-an unit yang laku terjual,” ujar Direktur PT PP Properti, Indaryanto. Dus, tinggal sekitar 500 unit Apartemen Barclay saja yang kini tersisa.
PP Properti mematok harga jual Rp 300 jutaan per unit untuk tipe studio Barclay. Sementara untuk tipe dua kamar, saat ini belum dipasarkan. Namun, harga jualnya, kata Indaryanto, diperkirakan sekitar Rp 700 juta per unit.
Banderol harga ini sudah lebih tinggi ketimbang proyek serupa di Grand Kamala Lagoon yang ditawarkan oleh PP Properti pada Mei tahun lalu. Kala itu, developer mematok harga Rp 250 juta untuk tipe satu kamar tidur, dan Rp 600 juta untuk unit apartemen dua kamar tidur. Artinya, dalam tempo kurang dari setahun, harga apartemen di kawasan tersebut sudah naik hingga 20%.
Potensi kenaikan harga yang tak jauh berbeda juga terjadi di daerah Bintaro. Sekitar Februari 2013 silam, PT Jaya Real Property Tbk melansir proyek apartemen Bintaro Plaza Residence tahap I. Dari 600 unit yang ditawarkan, sekitar 500 unit diantaranya terjual pada tahun itu juga. Sementara sisanya habis tahun 2014. “Awalnya harganya Rp 18 juta per m2. Tapi terakhir sudah naik ke Rp 21 juta per m2,” kata Arum.
Nah, kuartal II 2015, rencananya pengembang bakal menjual Bintaro Plaza Residence tahap II. Apartemen yang akan dipasarkan sebanyak 800 unit yang berasa di dua tower. Harga jualnya kemungkinan antara Rp 22 juta per m2 – Rp 25 juta per m2, atau berkisar antara Rp 400 juta per unit hingga Rp 800 juta per unit.
Jadi, tak perlu mengurungkan investasi cuma karena pajak yang membengkak, ya!
Pajak Properti bisa Kontraproduktif
Pemerintah berniat merevisi beberapa aturan pajak peroperti tahun ini. Niatnya, agar penerimaan pajak bisa lebih besar dari sebelumnya. Namun kebijakan ini dianggap bisa kontraproduktif hingga misi awal pemerintah justru tak kesampaian.
Pengamat property Ali Tranghanda memperkirakan, revisi aturan pajak, baik pajak penghasilan (PPh) pasal 22 maupun Pajak Pertambahan Nilai Baran Mewah (PPnBM) bisa saja diakali oleh pengembang. Ia mencontohkan, dengan menurunkan harga jual rumah sedikit di bawah ketentuan, atau menurunkan ukuran luas bangunan. “Bisa saja harga jualnya Rp 1,9 miliar tapi nggak pake marmer. Nah, Rp 100 juta lagi dianggap sebagai peningkatan mutu sehingga baru dipasang marmernya. Intinya semua bisa diakali,” kata Ali.
Langkah ini snagat mungkin dilakukan lantaran harga property saat ini sudah kelewat mahal. Belakangan pengembang juga sudah lebih berhati-hati dalam menetapkan harga jual. Nah, jika pembeli masih harus menanggung tambahan beban pajak, penjualan property malah bisa terkoreksi.
Selain itu, factor pajak juga bisa membuat inverstor ritel local beralih ke property luar negeri. Saat ini saja, pengembang-pengembang asing gencar menawarkan property residensial di luar negri, semisal Malaysia, Singapura, dan Australia. Stabilitas ekonomi, politik, dan konsistensi aturan di Negara-negara tetangga itu, diyakini menjadi daya tarik investor asal Indonesia. Ditambah lagi aturan kepemilikan property oleh warga Negara asing jauh lebih lunak ketimbang di Indonesia.
Soal imbal hasil, juga tak jauh berbeda. Untuk kawasan dan pengembang tertentu, keuntungan yang bisa diraih investor ritel dari property di Indonesia memang cukup besar. Namun, besarnya beban pajak yang harus dibayar membuat imbal hasil investor bisa terpangkas signifikan.
Ambil contoh, investor membeli di harga perdana dan menjual saat proyek kelar dibangun. Saat itu kenaikan haga sudah mencapai 30%-40%. Masalahnya, jika property yang dibelinya terkena aturan PPnBM, investor masih harus memperhitungkan beban tarif pajak yang besarnya mencapai 20% dari harga jual. Jika ditambah dengan PPh pasal 22 yang tarifnya 5% dari harga jual, maka makin mini saja keuntungan investor.
Sumber: Kontan
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak

Tinggalkan komentar