Selain saham, Johanes Doetikno memilih property sebagai instumen untuk membiakkan duit. Namun, begitu mendengar kabar pemerintah akan memperketat aturan pajak pembelian rumah mewah, Direktur Utama Valbury Asia ini malah ingin melego semua asset property yang dimilikinya.
Keputusan Johanes tentu bukan tanpa alas an. Menurut dia, pengenaan pajak penghasilan (PPh) pasal 22 sebesar 5% untuk penjualan rumah dan apartemen dengan harga di atas Rp 2 miliar bakal membikinbeban pembelian rumah semakin besar. Padahal, harga rumah sudah naik tinggi. Alhasil, pungutan pajak akan membikin harga rumah semakin tidak masuk akal. Nah, sbeelum aturan pajak property semakin bertambah berat, Johanes memilih menjual semua asetnya. “Saya juga jadi malas beli property lagi,” keluh Johanes.
Keluhan Johanes tentu wajar. Selama ini, untuk membeli rumah, calon pembeli harus membayar berbagai pajak dan biaya seperti pajak pertambahan nilai (PPN), bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), dan juga biaya balik nama. Nah, untuk rumah yang tergolong mewah atau sangat mewah, pembeli harus membayar pajak penghasilan (PPh) pasal 22 dan pajak penjualan barang mewah (PPnBM). Total jenderal, untuk membeli rumah seharga lebih dari Rp 2 miliar, pembeli harus siap nanggung pajak yang sebesarnya sekitar 40% dari harga.
Namun, perlu diketahui, untuk transaksi pembelian barang snagat mewah, pungutan PPh pasal 22 yang dibayar pembeli tidak bersifat final dan dianggal sebagai kredit PPh. Artinya, di akhir tahun, setoran PPh pasal 22 tersebut bisa mengurangi pajak terutang. Nah, jika jumlah kredit pajak lebih besar daripada jumlah pajak terutang, wajib pajak bisa menyatakan kelebihan bayar dalam surat pemberitahuan (SPT) pajak penghasilan di akhir tahun.
Direktur Penyuluhan dan Pelayanan Masyarakat Direktorat Jenderal Wajib Pajak Wayu Karya Tumakaka, mengatakan, pembeli bisa mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak alias restitusi. “Jadi, pungutan PPh pasal 25 bukan tambahan beban bagi pembeli karena bisa diminta kembali ketika terjadi kelebihan bayar pajak,” kata Wahyu.
Minta Pengembalian
Wahyu mengatakan, wajib pajak bisa mengajukan permohonan restitusi ke Direktorat Jenderal Pajak melau kantor pelayanan pajak (KPP) tempat wajib pajak terdaftar. Setelah itu, aparat pajak akan melakukan pemeriksaan atas permohonan tersebut. Jika memang terbukti jumlah kredit pajak lebih besar daripada jumlah pajak terutang, Dirjen Pajak akan menerbitkan Surat Ketetapan pajak lebih bayar (SKPLB).
Wahyu menambahkan, SKPLB diterbitkan paling lama 12 bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap. “Jika dalam waktu 12 bulan tidak terbit, permohonan otomatis terpenuhi dan SKPLB diterbitkan paling lambat satu bulan setelah jangka waktu berakhir,” kata Wahyu.
Agus Susanto Lihin, konsultan pajak dari ATS Consulting, mengatakan, restitusi yang ingin mengajukan restitusi harus menyiapkan berbagai dokumen. Karena itu, saat melakukan transaksi pembelian barang sangat mewah, wajib pajak jangan lupa meminta bukti pemungutan PPh pasal 22 dari penjual. Wajib pajak juga sebaiknya menyimpan bukti pemungutan PPh lain seperti PPh pasal 21, PPh pasal 23, dan PPh pasal 24. “Semua bukti pemungutan PPh harus dilampirkan delama permohonan restitusi,” kata dia.
Teorinya, kata Agus, wajib pajak memang bisa meminta restitusi. Namun, praktiknya, proses restitusi cukup ribet. Sebab, permohonan restitusi harus melewati proses pemeriksaan dan audit. Dalam kasus tertentu, aparat pajak bisa meminta data transaksi rekening wajib pajak. Wajib pajak juga harus siap jiak sewaktu-waktu dipanggil aparat pajak.
Menurut Agus, jika jumlah kelebihan pajak cukup besar, tidak masalah bagi wajib pajak untuk memproses permohonan restitusi. Namun, jika jumlahnya kecil, upaya restitusi cuma bkin ribet. Apalagi, prosesnya bisa memakan waktu hingga enam bulan.
Aduh, kok, ribet ya.
Sumber: Kontan
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak

Tinggalkan komentar