Ditjen Pajak Perlu Koordinasi dan Teladan

tax2

BERKACA pada fakta-fakta yang ada, rekor penerimaan pajak tahun-tahun sebelumnya tidak terlalu menjanjikan. Bahkan, sejarah mencatatkan bahwa sejak tahun 2002 hingga 2014, pemerintah hanya mampu sekali mencapat target yang ditetapkan yaitu pada tahun 2008.

Tahun ini, pemerintah tampak ambisius mencapai target pajak tinggi. Di era Presiden Joko Widodo (Jokowi), Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemkeu) sudah menyiapkan strategi baru guna mencapai target itu. Intinya, mereka akan merevisi berbagai aturan guna perluasan basis pajak.

Namun, karena terburu-buru dan kurang koordinasi, dua aturan baru yang baru saja dirilis Ditjen Pajak harus ditunda implementasinya. Penundaan ini juga akibat desakan masyarakat.

Akhirnya pekan lalu Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mencabut Peraturan Dirjen Pajak (Perdirjen) tentang pelaporan bukti potongan bunga deposito yang diterbitkan akhir januari lalu. Padahal, beleid Nomor Per-01/PJ/2015 ini berpotensi meningkatkan penerimaan pajak sebesar Rp 1,25 triliun. Pencabutan ini dilakukan karena Otoritas Jasa Keuangan dan bank menolak.

Kedua, Perdirjen yang mengatur mengenai pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) jalan tol sebesar 10%. Peraturan bernomor Per-10/PJ/2015 itu juga ditunda. Sebelumnya, kebijakan ini sempat menimbulkan kontroversi karena Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono Dan Menteri Koordinator bidang Perekonomian Sofyan Djalil tak mengetahuinya.

Tak Cuma dua aturan pajak itu saja. Beberapa rencana perubahan kebijakan yang seharusnya sudah keluar, saat ini belum ada perkembangan. Sebut saja, revisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Aturan ini ingin menurunkan batasan nilai barang mewah agar bisa dipungut. Pemerintah tampak kesulitan menentukan batasan nilainya setelah mendapat protes dari pengusaha properti. Target akhir Januari rampung, hingga kini masih molor.

“Kami hanya mewacanakan, yang memutuskan BKF (Badan Kebijakan Fiskal),” kilah Dirjen Pajak Sigit Priadi Pramudito, Minggu (15/3).

Pastinya, ada pelajaran berharga dari mundurnya kebijakan itu. Pemerintah berhak membuat kebijakan tapi tak boleh sembrono. Ditjen pajak harus lebih matang dan mau melibatkan banyak pijak untuk menguji dan member masukan sebelum mengeluarkan kebijakan.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Jakarta Yustinus Prastowo, mengatakan, kurangnya koordinasi menyebabkan pemerintah terlihat plin-plan. Ini mengurangi kepercayaan masyarakat sebagai wajib pajak.

Di sisi lain, pemerintah tampak belum siap dengan ambisinya sendiri. Berdasarkan informasi yang diterima KONTAN, memasuki Maret 2015, Presiden Joko Widodo belum juga melaporkan SPT-nya . bahkan, 13 menteri dan setingkat menteri era Jokowi juga belum menyampaikan SPT sejak tahun 2013.

Koordinasi dan pemberian contoh yang baik merupakan tugas para pemimpin lembaga negara. Jika dua hal itu berjalan, kepercayaan masyarakat akan tumbuh. Sistem perpajakan yang baik pun akan tercipta, sehingga target pajak bisa tercapai.

Sumber : Kontan

pajak@pemeriksaanpajak.com

http://www.pemeriksaanpajak.com



Kategori:Berita Pajak

Tag:, , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar