Ratusan perusahaan IUP batu bara sedang dilingkupi perasaan was-was. Mereka masih menunggu keputusan akhir Kementerian ESDM, yang berencana segera menaikkan tarif royalti IUP pada tahun ini. Rencana tersebut sudah berlangsung sejak dua tahun lalu. Saat itu pemerintah ingin menaikkan tarif royalti batu bara sebesar 13,5% bagi seluruh jenis kadar batu bara. Pemerintah beralasan, untuk menegakkan prinsip keadilan, batu bara IUP harus disesuaikan dengan tarif batu bara PKP2B.
Rencana itu tidak diterima begitu saja oleh pelaku usaha. Mereka menolak lantaran harga batu bara lagi jeblok. Mereka menolak lantaran harga batu bara lagi jeblok. Tahun 2013, harga rata-rata batu bara berada di level US$ 70-75 per ton. Jumlah tersebut jauh lebih rendah dibandingkan tahun 2011, ketika harga batu bara di kisaran US$ 100 per ton. Pemerintah tetap menaikkan tarif, namun merevisi nilai kenaikannya sesuai dengan kualitas batu bara.
Akhir 2013, Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) melakukan kajian di tingkat internal untuk memprediksi akibat yang dihadapi pelaku usaha dan negara apabila rencana kenaikan royalti tetap dijalankan. Saat itu harga batu bara berada di level US$ 70 per ton.
Hasil kajian mereka menunjukkan, dengan harga sebesar itu, hanya 72% perusahaan tambang yang masih bisa berlaba. Namun, angka itu disertai dengan pengurangan pegawai demi efisiensi untuk menekan ongkos produksi.
Wakil Ketua APBI bidang IUP, Pandu Sjahrir, mengatakan bahwa penghitungan tersebut masih berlaku hingga kini. Bahkan ia memperkirakan, dengan kondisi harga batu bara yang jatuh ke level US$ 60 per ton, jumlah perusahaan yang merugi jauh lebih besar, yakni 60% dibandingkan yang bisa bertahan. Data dari kementerian ESDM menunjukkan, saat ini terdapat 2.419 IUP yang berstatus bersih dan tuntas. Sebanyak 1.028 IUP diantaranya sudah memasuki tahap operasi produksi, sementara sisanya masih dalam tahap eksplorasi.
Menurut Pandu, jika mengacu pada data tersebut, berarti ada sekitar 600 IUP yang neracanya bakal merah. “Coba saja dihitung berapa jumlah karyawan yang harus kehilangan pekerjaan. Efisiensi yang pertama diambil adalah pengurangan jumlah karyawan supaya perusahaan tidak rugi,” ujar Pandu kepada Majalah TAMBANG.
Pandu yang kebetulan menjadi ketua tim kajian apbi merekomendasikan kepada pemerintah untuk tidak menaikkan tarif royalti terlebih dahulu. Pasalnya, kenaikan royalti justru akan mengurangi pendapatan negara secara umum. Apabila royalti naik, banyak perusahaan akan tumbang. Akibatnya pendapatan negara dari sektor pajak seperti pajak pertambahan nilai, pajak dari penghasilan pegawai, dan pajak penghasilan dari keuntungan perusahaan, justru akan menurun.
Prinsip keadilan antara PKP2B dan IUP juga tidak bisa dibenarkan sebab kontribusi yang diberikan IUP bagi pendapatan negara sudah setara dengan yang diberikan PKP2B. apabila pemerintah tetap berkeinginan menaikkan royalti, pandu merekomendasikan agar pemerintah memberikan jeda waktu lagi hingga harga batu bara naik secara signifikan. Garis batas yang aman adalah di level US$95 per ton.
Harga batu bara diperkirakan akan naik lumayan pada pertengahan tahun ini. Membaiknya perekonomian di Amerika Serikat akan berimbas pada meningkatnya transaksi ekonomi negara Abang Sam itu kepada Cina.
Direktur Program Pembinaan Minerba, Kementerian ESDM, Sujatmiko, memperkirakan peningkatan tersebut akan memberikan pengaruh kepada permintaan batu bara dari Indonesia. Cina tetap diunggulkan sebagai pasar batu bara dari Indonesia yang paling dominan meskipun telah mengurangi permintaan batu baranya.
Namun, kata Sujatmiko, buka berarti pemerintah akan menunggu hingga kenaikan harga benar-benar terjadi. Ia masih optimis target PNBP tahun ini mampu tercapai. Dari sektor batu bara, kementerian ESDM masih akan bergantung kepada royalti yang dibayarkan perusahaan PKP2B. sementara dari IUP jumlahnya tidak terlalu signifikan, hanya sekitar 10 sampai 20%.
Argumentasi itu masuk akal bila menimbang surat keputusan yang dikeluarkan Ditjen Minerba agar seluruh pemegang KK dan PKP2B yang masih dalam tahap eksplorasi untuk segera meningkatkan taraf kegiatannya menjadi operasi produksi mulai tahun ini. Saat ini ada 57 PKP2B yang sudah dalam tahap produksi, sementara 18 perusahaan lainnya masih tahap konstruksi, eksplorasi, dan uji kelayakan.
PKP2B juga harus menyamaratakan seluruh kegiatan di konsesi mereka. Singkatnya, pemerintah melarang bila masih ada wilayah konsesi yang mengatur atau belum berproduksi. Apabila perusahaan tidak sanggup, kementerian ESDM akan mencabut dan mengembalikan konsesi itu ke wilayah pencadangan negara, jika skenario kini berjalan, bukan mustahil bila PNBP hasil sumbangan PKP2B menjadi ujung tombak pemenuhan target pemerintah.
Sekretaris Perusahaan PT Adaro Enegery Tbk, Mahardika Putranto menilai kenaikan royalti bagi IUP akan memaksa perusahaan untuk melakukan efisiensi dengan lebih baik lagi. Jika tidak, akan sulit bagi mereka untuk bertahan. Dengan demikian, produksi batu bara nasional kemungkinan akan berkurang. Dalam jangka waktu tertentu, berkurangnya produksi batu bara ini mendorong peningkatan harga batu bara.
Adaro menurutnya akan menghormati kebijakan pemerintah menaikkan royalti batu bara dengan besaran yang sama di angka 13,5% baik untuk PKP2B generasi pertama, kedua, maupun pemegang IUP. Naiknya royalti batu bara tersebut melengkapi aturan yang telah dibuat sebelumnya agar perusahaan membayar royalti di muka serta wajib menjadi eksportir terdaftar sebelum melakukan ekspor.
“Sebagian pemegang PKP2B generasi pertama, Adaro Indonesia sudah dikenakan royalti 13,5%. Pada intinya kami tetap ingin membantu pemerintah,” ujar Mahardika.
Hingga akhir februari 2015, kementerian ESDM belum berani mengumumkan kapan kenaikan royalti resmi diterapkan. Kabar lain menyebutkan, kepastian kenaikan royalti yang tertuang di revisi PP No. 9 Tahun 2012 masih terganjal oleh alotnya tawar-menawar antara Kementerian Keuangan dengan perusahaan PKP2B perihal mekanisme penghitungan pembayaran royalti. Pemerintah menginginkan pembayaran dibayarkan pada free on board (FOB) II atau ketika batu bara tiba di pelabuhan tujuan.
Sementara PKP2B menginginkan royalti dibayarkan saat batu bara pada posisi FOB I, yakni ketika masih di pelabuhan asal, sesuai yang tertera dalam kontrak. Selisih harga batu bara antara FOB I dan FOB ii mencapai US$ 2-8 per ton.
Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Batu Bara, Bambang Tjahjono secara tersirat mengakui hal itu. Perundingan masih dibicarakan secara detail antara kementerian ESDM dan kementerian keuangan. Namun ia memastikan tarif royalti yang baru bagi IUP tidak mungkin lagi bisa ditawar. “Masih mentok di kementerian keuangan. Tapi kami harap dalam satu dua bulan ini segera diputuskan. Jika semakin lama ditunda tentu target PNBP tidak akan mungkin tercapai.”
Mengenai potensi banyaknya perusahaan yang akan gulung tikar, Bambang berpendapat, kenaikan royalti tak ubahnya seperti seleksi alam. Hanya perusahaan yang memiliki dana bagus, sumber daya berkualitas, serta berhasil melakukan efisiensi yang bisa bertahan. Ia menyarankan kepada pemilik IUP yang sumber dayanya kecil untuk menahan dulu produksi hingga kondisi modal mereka menguat.
“Usaha pertambangan itu bukan usaha satu dua tahun. Bila kami kasih perizinan itu bisa untuk 20 sampai 30 tahun, perusahaan harus siap berbisnis selama waktu itu. Harus kuat modal dan teknologi,” ungkapnya.
PT Toba Bara Tbk menjadi salah satu perusahaan yang yakin akan bisa bertahan di tengah situasi sulit itu. Perusahaan yang dimilki kepala staf kepresidenan, luhur pandjaitan, itu memiliki tiga anak usaha yang terdiri dari PT Adimitra Baratama Nusantara (2.990 hektare), PT Indomining (683 hektare), dan PT Trisensa Mineral Utama (3.414 hektare). Rata-rata kandungan batu bara perusahaan itu mencapai 5.500 Kkal/Kg yang tersebar di wilayah Samarinda, Kutai Kertanegara, Loa Janan, Muara Jawa, hingga Sanga-Sanga, semuanya di provinsi Kalimantan timur.
Direktur Keuangan Toba Bara, Pandu Sjahrir, mengatakan, saat ini perusahaannya beruntung karena sudah mencapai nilai ekonomis yang cukup untuk memastikan keberlanjutan perusahaan perusahaan. Namun ia tak menampik bila kemungkinan purusahaan akan melakukan efisiensi karena ongkos produksi bertambah.
Aksi korporasi ini akan berpengaruh pada pengembalian keuntungan ke pemengang saham karena margin yang berkurang. Target produksi pun akan berkurang dengan sendirinya karena efisiensi juga dilakukan di sektor jasa penunjang. “Tahun lalu produksi kami hamper 8 juta ton. Bila ada kenaikan royalti tentu akan lebih rendah dari itu tapi saya belum bisa sebut berapa levelnya.”
Namun, kata Pandu, sebaiknya pemerintah berkomunikasi kembali dengan pelaku usaha sebelum benar-benar memutuskan akan menaikkan royalti. Ia berharap masih ada kesepakatan yang bisa diterima bersama antara kedua pihak untuk menjaga industri batu bara nasional agar tetap berjalan.
Sementara itu, General Manager Eksplorasi PT Bhakti Coal Resources, Waskito Tanuwijoyo mengatakan, seandainya pemerintah tetap ingin mengeluarkan aturan kenaikan royalti, sebaiknya penghitungan ditentukan berdasarkan ukuran kadar Gross As Received (GAR) bukan berdasarkan pada Air Dried Basis (ADB). Kepada Majalan TAMBANG, Waskito menjelaskan, nilai gar akan berubah bila dimasukkan dalam kategori adb. Misalnya, kalori batu bara pada perusahaannya adalah 3.000 Kkal/Kg gar. Nilai kadar itu akan berubah menjadi kategori kadar 5.100 Kkal/Kg adb. Itu berarti Waskito harus membeli royalti 5% atau sebesar 9% dengan tarif yang baru nanti.
“Batu bara kami masuk kategori kelas menengah dengan tarif royalti lima persen. Itu sama dengan gar 4500. Padahal harga batu baranya beda. Kadar 3.000 Kkal/Kg sekarang harganya US$ 21 per ton sementara yang 4.600 Kkal/Kg harganya US$ 30 per ton,” tuturnya.
Dengan menggunakan tarif royalti sekarang saja, kata Waskito, perusahaannya sudah merugi. Ongkos produksi rata-rata yang dikeluarkan Bhakti Coal mencapai US$ 23 per ton, sementara harga jualnya harus US$ 21 per ton. Itu berarti perusahaanya harus mengalami minus pendapatan sebesar US$ 2 per ton.
“Dengan asumsi harga sekarang lalu tarif royalti naik jadi 9%, tentu akan tambah minus. Asumsi ini berlaku untuk yang berkadar rendah (kadar 3.000 Kkal/Kg). kalau letak tambang dan pelabuhannya jauh, ya akan semakin sulit.”
Waskito mengatakan, seandainya aturan baru itu benar akan diterapkan, salah satu cara yang bisa diambil oleh perusahaan tambang adalah dengan membangun pltu mulut tambang. Namun hal itu butuh tantangan besar mengingat waktu pembangunannya yang lama dan biayanya yang besar.
Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Batubara, Bambang Tjahjono mengatakan usulan itu tidak terlalu bermasalah. Sebab menurut Bambang prinsip itu tidak terlalu bermasalah. Sebab menurut Bambang prinsip yang dipegang pemerintah sama yakni ingin mendorong adanya peningkatan nilai tambah. Jika dilihat dari angka pastilah ada perbedaan antara standar GAR dan ADB. Namun Bambang menegaskan bahwa itulah yang harus dilakukan perusahaan.
“Soal perusahaan yang menjual batu bara dengan gar atau bukan itu urusan lain tetap standar yang ditetapkan pemerintah adalah dengan ADB,” pungkas Bambang.
Sumber: Majalah Tambang Vol. 10 No. 117 / Maret 2015
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak

Tinggalkan komentar