George Washington, Bapak negara Amerika pernah menyatakan : no taxes can be devised which are not more or less inconvenient and unpleasant. Ungkapan tersebut secara bebas bermakna bahwa pungutan dengan nama pajak tidak akan pernah nyaman dan menyenangkan.
Ungkapan tersebut sejalan dengan kebijakan Menteri Keuangan yang menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 29/PMK.03/2015 mengenai penghapusan sanksi administrasi bunga jika Wajib Pajak melunasi utang pajak yang timbul sebelum 1 Januari 2015.
PMK tersebut merupakan kebijakan (regulasi) bidang perpajakan yang tidak didelegasikan Undang-Undang (UU). Namun demikian, kebijakan itu merupakan kebijakan yang memberi keuntungan bagi Wajib Pajak (WP). Pertimbangan Menkeu sangat jelas bahwa kebijakan diterbitkan untuk meningkatkan penerimaan negara.
Kalau begitu, Wajib Pajak perlu menyikapinya dengan positif dan siap-siap menghitung keuntungan yang diperoleh ketika sanksi bunga dihapuskan. Kebijakan ini memberikan ‘nafas segar cukup panjang’ bagi WP di tahun 2015 ini. Pertanyaannya, mengapa hanya diberikan di tahun ini saja?
Pemerintah menyatakan bahwa kebijakan penghapusan sanksi bunga dimaksudkan sebagai upaya meningkatkan penerimaan pajak. Hal ini dapat dipahami oleh karena target pajak sangat besar di tahun 2015 menjadi fokus pemerintah bagaimana cara mendapatkannya.
Kebijakan Menkeu tersebut sebenarnya dimaksudkan memberikan penegasan bagi Petugas pajak untuk tidak menolak WP yang mengajukan permohonan penghapusan sanksi bunga. Oleh karena penghapusan sanksi bunga sudah diatur dalam Pasal 36 UU No 6/1983 yang diubah dengan UU No. 16/2009 (UU KUP).
Hanya saja, cukup banyak permohonan WP banyak ditolak padahal WP mau melunasi utang pajak. Dengan adanya PMK tersebut, mau tidak mau, petugas pajak akan mengabulkan permohonan WP karena telah ada landasan hukum yang pasti. Jika tidak ada PMK, pemberian penghapusan acapkali ‘dicurigai’ sekalipun UU sudah mengaturnya.
Di sini terlihat, fleksibilitas yang diberikan UU kepada Dirjen Pajak (petugas pajak) untuk mengabulkan penghapusan sanksi bunga, masih mendapat keraguan karena berbagai pertimbangan serta kondisi atau stigma DJP yang masih belum baik. Jadi, dengan terbitnya PMK di atas, instrument hukum menjadi alat memberikan stigma positif bagi DJP.
Instrumen hukum yang memberikan kepastian hukum merupakan langkah tepat untuk menambah penerimaan pajak. Cara berfikir Pemerintah sudah sangat tepat. Sebab, peningkatan penerimaan pajak bukan berasal dari bunga pajak, tetapi dari utang pajak (pokok pajak) yang menjadi kewajiban WP.
Sanksi administrasi pajak (denda, bunga, dan kenaikan) bukan instrument meningkatkan penerimaan. Sanksi hanya merupakan alat supaya WP menjadi patuh. Bahkan UU pajak pun memberikan kelonggaran bagi WP dapat mengajukan permohonan penghapusan atau pengurangan. Tidak demikian halnya dengan utang pajak.
Kalau begitu, instrumen hukum yang digunakan Menkeu sudah tepat untuk meningkatkan penerimaan pajak. Pertanyaannya sekarang, mengapa hanya sanksi bunga yang dihapus? Padahal sanksi denda dan sanksi kenaikan merupakan sanksi administrasi yang mestinya dijelaskan juga kepada masyarakat jika mereka mempertanyakan hal itu.
Sanksi denda maupun sanksi kenaikan, adalah juga sanksi pajak yang dapat dimohonkan penghapusan sesuai Pasal 36 UU KUP. Barangkali Pemerintah memiliki pertimbangan lain, dan itu mestinya dijelaskan juga kepada masyarakat jika mereka mempertanyakan hal itu.
Keterbukaan pemerintah menjalankan pungutan pajak menjadi cara jitu supaya masyarakat puas dan senang dalam menjalankan kewajiban pajaknya. Informasi seluas-luasnya sangat dibutuhkan. Dan itu hanya bisa dilakukan dengan instrument hukum yang memberikan kepastian dan keuntungan bagi semua WP.
Filosofi pungutan pajak selalu menyatakan bagaimana mengupayakan pungutan pajak dengan mengambil ‘telur’ dan bukan ‘memotong ayamnya’. Artinya, pungutan pajak mesti dilakukan dengan memberikan ‘vitamin’ kepada si ayam supaya terus bertelur, kemudian mengambil ‘telur’nya untuk dimanfaatkan.
Dengan filosofi lain sering dikatakan dengan mencabut bulu angsa tanpa si angsa merasa sakit ketika dicabut bulunya. Artinya, pungutan pajak selalu diupayakan dengan cara-cara bijak, sekalipun sulit dilakukan karena pajak tidak pernah menyenangkan.
Jika pungutan pajak dilakukan dengan berpikir pada tataran normatif belaka, pastinya akan menanamkan sigma negatif dan tidak menguntungkan posisi pemerintah. Jadi, diperlukan tataran filosofis supaya pajak tidak melulu ‘ditakutkan’ dari masa ke masa.
Kontradiktif berpikir normatif ke arah filosofis menjadi tantangan bagaimana menanamkan hal-hal demikian bagi semua pihak. Memang tidak mudah untuk dilakukan karena sudah terjadi sejak ratusan tahun lalu. Bahkan George Washington pun sudah mengungkapkannya seperti tertulis di atas.
Dalam analisis penulis, terbitnya PMK No 29/PMK.03/2015 memberikan tiga keuntungan. Pertama, keuntungan bagi penerimaan pajak itu sendiri dengan harapan wajib pajak melunasi utang pajaknya. Kedua, petugas pajak tidak ‘dicurigai’ lagi ketika memberikan penghapusan sanksi bunga. Ketiga, wajib pajak mendapatkan reward dari pemerintah tidak ditagih lagi sanksi pajaknya.
Ketiga keuntungan itu merupakan cara berpikir filosofis yang dikehendaki bersama, sekalipun tidak bernilai sempurna. Akan tetapi langkah positif sudah dimulai dengan cara pandang menciptakan keuntungan bersama, baik bagi pemerintah maupun bagi wajib pajak.
Kebijakan Menkeu memberikan penghapusan sanksi bunga pajak menjadi setitik, dua titik, dan tiga titik harapan, adanya kepedulian pemerintah kepada wajib pajak. Semoga semakin banyak kebijakan yang demikian, dengan tetap peduli pada terpenuhinya penerimaan pajak untuk kebaikan bersama.
Sumber: Kontan
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak

Tinggalkan komentar