Pemerintahan Jokowi-JK bertekad mendorong pertumbuhan ekonomi ke level yang tinggi, minimal 7% per tahun. Untuk merealisasikan hal itu, sangat dibutuhkan dukungan infrastruktur. Bukti empiris menunjukkan bahwa infrastuktur yang tersedia dengan kuantitas dan kualitas yang baik akan memberikan dampak positif pada kualitas dan kesinambungan pertumbuhan ekonomi. China menjadi rujukan yang baik dalam hal ini dan saat ini diikuti oleh India.
Meski begitu, harus diakui bahwa kondisi infrastruktur saat ini sangat memprihatinkan.
Hal inilah yang juga membuat rendahnya daya saing perekonomian Indonesia. Menurut World Economic Froum (WEF), posisi daya saing Indonesia saat ini tertinggal jauh dibandingkan dengan negara tetangga. Selain itu, buruknya kondisi infrastruktur ini membuat ketimpangan perekonomian sulit diturunkan.
Oleh karena itu, pemerintahan Jokowi-JK sangat berkomitmen mempercepat realisasi proyek infrastuktur yang bleu print-nya telah ada, seperti jalan, jembatan, bandara, pelabuhan, jaringan rel kereta api, jaringan tol laut, irigasi, power plant, energy baru, dan terbarukan, dan lain sebagainya.
Meski begitu, untuk merealisasikan seluruh proyek infrastruktur tersebut dibutuhkan investasi yang sangat besar. Setidaknya, dalam lima tahun ke depan, nilai investasi yang dibutuhkan diperkirakan mencapai Rp 5.519 triliun atau sekitar 1.000 triliun per tahun. Pendanaan dari APBN tentu tidak akan mampu mengaver investasi yang besar ini.
Itulah sebabnya, pemerintah sangat aktif membuka kerjasama dengan investor global, baik antara pemerintah dengan pemerintah, pemerintah dengan sector swasta, dan pemerintah dengan lembaga keuangan. Presiden Jokowi bahkan turun langsung tangan sebagai “marketer” mengundang dan meyakinkan investor global agar berinvestasi di proyek infrastruktur. Ini pernah dilakukan dihadapan pebisnis disela-sela KTT-G20 China tahun lalu.
Di samping itu, Jokowi juga selalu memanfaatkan peluang mencari investasi dari negara yang dikunjunginya, seperti yang baru-baru ini dilakukan di Jepang dan Korea. Dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5% dan di tengah realitas ekonomi global yang melambat, Indonesia menjadi tempat investasi yang menarik dan menguntungkan.
Namun, buruknya kondisi infrastruktur, masalah perizinan dan kepastian hukum, serta birokrasi yang tidak professional membuat investor global sering menunda investasinya. Ini pekerjaan rumah yang harus secepatnya dibereskan.
Reformasi APBN
Keseriusan pemerintah merealisasikan pembangunan infrastruktur ditunjukkan dengan mereformasi APBN yang dalam 10 tahun terakhir tidak pernah dilakukan. Dari sisi penerimaan, pemerintah menargetkan penerimaan pajak yang cukup tinggi. Target penerimaan pajak dalam APBN-P 2015 sebesar Rp 1.294,3 triliun atau naik 31,3% dari realisasi tahun 2014 sebesar Rp 985,1 triliun.
Harus diakui bahwa untuk mengejar target penerimaan pajak yang sangat besar itu tidaklah perkara mudah. Dibutuhkan upaya ekstra keras, apalagi di tengah realitas belum kondusifnya perekonomian global, harga minyak, dan komoditas global yang masih akan cenderung tertekan, terbukanya risiko dari pasar keuangan global terkait normalisasi kebijakan moneter AS, dan potensi melambatnya pertumbuhan ekonomi domestic.
Bukan itu saja, dalam lima tahun terakhir, realisasi penerimaan pajak selalu di bawah target (shortfall). Bank Dunia menyatakan poteni shortfall pajak tahun ini bisa mencapai sekitar Rp 288 triliun (2,4% dari PDB).
Potensi terjadinya shortfall tahun ini memang makin nyata, mengingat realisasi penerimaan pajak sampai kuartal I-2015 hanya sebesar Rp 170 triliun (13% dari target) atau lebih rendah dari realisasi di kuartal I-2014 yang sebesar Rp 264,4 triliun (19% dari target).
Meski begitu, pemerintah tetap yakin dapat memaksimalkan target pajak ini. Ini tidak terlepas dari masih rendahnya tingkat kepatuhan membayar pajak, khususnya dari wajib pajak (WP) badan. Menurut berita di sejumlah media masa, Center of Indonesia Taxation Analysis, menyatakan bahwa dari sekitar dua juta WP badan, hanya sekitar 500.000 yang patuh melaporkan pajaknya.
Untuk itulah agar target pajak ini bisa dimaksimalkan, pemerintah melalui Direktorat Pajak telah melakukan berbagai langkah, seperti pemberian sanksi penyaderaan (Gijzeling), pelaporan SPT elektronik (e-filling), hingga kebijakan pemberian sunset policy. Namun, jika shortfall tidak dapat dihindari, pemerintah harus buka opsi melebarkan defiit yang saat ini di level 1,9% dari PDB. Artinya, target utang harus dinaikkan.
Tentu, seluruh kebijakan ini akan efektif meningkatkan kepatuhan WP, jika pejabat publik (Presiden dan jajarannya) terlebih dahulu menunjukkan keteladanannya dalam pelaporan pajak, meningkatkan governance pengelolaan APBN, dan konsisten dan tegas memberantas kasus korupsi, khususnya yang merugikan penerimaan negara.
Dari sisi belanja, pemerintah melakukan penghematan, khususnya belanja birokrasi. Selain itu, langkah berani mereformasi belanja ialah dengan memangkas subsidi BBM dan mendapat apresiasi positif dari banyak kalangan. Besarnya subsidi BBM dalam 10 tahun terakhir telat membuat pemerintah kehilangan kesempatan membangun infrastruktur dan pendidikan, kesehatan, dan asset.
Dalam APBN-P 2015, subsidi BBM hanya sekitar Rp 65 triliun atau turun 72% dari APBN-P 2014 yang sebelar Rp 240 triliun. Ini membuat belanja infrastruktur tahun ini bisa ditingkatkan jadi Rp 290,3 triliun atau terbesar dalam sejarah. Dana yang meningkat ini harus diikuti kualitas penyerapan yang baik. Bagaimana pun,kualitas penyerapan belanja infrastruktur selama ini sangat buruk.
Meski begitu, pemerintah harus mewaspadai dampak pencabutan subsidi BBM terhadap inflasi. Perubahan harga premium dan solar setiap dua minggu sekali akan mempengaruhi ekspektasi terhadap inflasi dan dapat mempengaruhi daya beli masyarakat. Jika dibiarkan tanpa kebijakan yang antisipatif, ini akan berdampak pada pertumbuhan. Bagaimana pun, konsumsi masih jadi tulang punggung pertumbuhan.
Sumber: KONTAN
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak

Tinggalkan komentar