Pertamina & Pelindo Tetap Memakai Dollar AS

527394193p

KEBIJAKAN Bank Indonesia (BI) yang mewajibkan seluruh transaksi di dalam negeri menggunakan mata uang rupiah, tak Cuma dilanggar oleh pedagang elektronik. Larangan ini masih dilangar oleh perusahaan negara alias Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Contohnya PT Pertamina. BUMN di bisnis minyak dan gas bumi (migas) ini masih menggunakan valas dalam kegiatan transaksi bisnis. Hingga kini, pertamina masih menerapkan tarif dollar Amerika Serikat (AS) dalam penjualan gas ke pelanggan di dalam negeri.

Kebijakan itu, tentu saja, menuai kritik dari sejumlah BUMN yang membeli migas dari pertamina. Salah satunya PT Krakatau Steel Tbk. Perusahaaan yang di lantai bursa memiliki kode saham KRAS itu mengeluhkan kebijakan tarif pembelian gas dari pertamina, masih memakai dollar AS.

Tapi pertamina beralasan, pemberlakuan tarif dollar as itu sulit dihindari. Sebab, pertamina hanya mengikuti kebijakan pemerintah di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) tahun 2015. Dalam APBNP 2015, asumsi harga minyak dan gas ditulis dalam dollar AS, bukan rupiah.

Ahmad bambang, direktur pemasaran pertamina, menyatakan , tarif penjualan migas harus pakai dollar AS. Namun, pembayarannya menggunakan rupiah. “Harga Gas menggunakan tarif dollar menyesuaikan dengan harga minyak mentah,” ujar Bambang kepada KONTAN, Minggu (12/4).

Bambang justru mempertanyakan atas kebijakan yang mewajibkan penjualan migas menggunakan rupiah. Pasalnya, harga minyak mentah alias Indonesia Crude Price (ICP) ditetapkan dalam dollar AS.

Bukan hanya pertamina yang keberatan dengan kewabijan penggunaan rupiah dalam setiap transaksi bisnis. Keberatan serupa juga diungkapkan manajemen Pelindo II. BUMN di sektor jasa pelabuhan ini meminta pemerintah dan BI melonggarkan kewajiban penggunaan dollar dalam transaksi jasa pelabuhan. Kewajiban ini, terutama dikecualikan terhadap transaksi di terminal internasional.

Rima Novianti, Corporate Secretary Pelindo II mengatakan, permintaan itu telah disampaikan Pelindo II kepada Menteri Perekonomian, Menteri BUMN, dan Menteri Perhubungan. Rima mengklain, permintaan itu dipicu lantaran bentuk transaksinya non-tunai. “Semua ditransfer dan invoice-nya nanti selama satu bulan. Kalau dipaksakan pakai rupiah lalu terjadi perubahan kurs, selisihnya siapa yang menanggung?” kata Rima kepada KONTAN, akhir pekan lalu.

Jika BUMN saja keberatan dan meminta pengecualian, bagaimana swasta mematuhi kebijakan pemerintah? Seharusnya BUMN menjadi terdepan atas kebijakan pemerintah dan BI ini.

Sumber: KONTAN

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com



Kategori:Berita Pajak

Tag:, , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar