Menggugat Tunjangan Kinerja Pajak

3Banyak yang menyebut, Kabinet Kerja adalah Kabinet Pengusaha. Bukan saja karena presiden dan wakil presiden adalah pengusaha, namun juga karena banyak menteri yang berlatar belakang pengusaha. Barangkali karena didominasi pengusaha, banyak pula kebijakan pemerintah yang dikeluarkan dengan perspektif pengusaha yang sedang memimpin perusahaan.

Contoh paling anyar adalah diterbitkannya Peraturan Presiden No. 37/2015 tentang Tunjangan Kinerja di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak. Berdasarkan Perpres tersebut, pegawai pajak akan memperoleh tunjangan kinerja dengan jumlah yang sangat berlimpah.

Tunjangan kinerja tertinggi yang diberikan kepada pejabat structural eselon I, misalnya, mencapai Rp 117,375 juta, sedangkan terendah untuk Account Representative Tk. V sebesar Rp 12,316 juta. Pemerintah beralasa, pemberian tunjangan kinerja yang besar itu diperlukan agar para pegawai pajak lebih bergairah mencapai target pajak dan tidak lagi tergoda untuk melakukan korupsi.

Tentu saja, kebijakan ini memperoleh dukungan para pegawai pajak. Mereka merasa layak mendapatkannya karena memanggul target penerimaan pajak yang sangat berat. Apalagi, mengumpulkan pajak di Indonesia bukanlah perkara mudah karena banyak wajib pajak yang bandel.

Meskipun tidak disuarakan secara terbuka, banyak yang mengkritisi perpres ini. Kebijakan ini jelas menjadikan pegawai Ditjen Pajak sebagai abdi negara kelas wahid, sementara PNS di instansi lain adalah aparatur negara kelas dua, tiga, dan seterusnya.

Lihat saja jumlah tungjangan kinerja terenah yang diterima oleh Account Representative Tk. V jauh di atas gaji berikut tunjangan yang diterima oleh seorang guru besar di perguruan tinggi. Perbedaan ini semakin timpang jika dibandingkan dengan yang diterima oleh “guru kecil” di tingkat pendidikan dasar atau menengah.

Apabila para pegawai pajak merasa berhak memperoleh tunjangan kinerja berlimpah karena harus bekerja keras memungut pajak dari wajib pajak, kelayakan klaim mereka layak dipertanyakan. Marilah kita bandingkan dengan bagaimana perjuangan guru-guru di daerah terpencil yang setiap hari harus menempuh medan yang terjal dan penuh bahaya untuk menjalankan tugasnya mendidik generasi penerus bangsa.

Tidak sedikit pula kisah heroic para petugas kesehatan yang ditengah keterbatan fasilitas dan penghargaan dari negara, tetap menunaikan tugasnya menjaga kesehatan dan mencegah kematian warga bangsa di pelosok Tanah Air. Atau lihatlah kehidupan tentara yang stia berjaga di tengah sepi di ujung pelosok negeri demi menjaga keutuhan wilayah.

Keseimbangan organisasi

Bagaimanakah dapat dikatakan bahwa tugas mereka yang memungut pajak lebih utama dan karenanya layak mendapatkan tunjangan kinerja yang fantastis? Apalagi, masyarakat merasa banyak anggaran negara yang berasal dari pajak lebih sering digunakan untuk kepentingan yang sama sekali tak berkaitan dengan urusan peningkatan kesejahteraan rakyat.

Dunia usaha sebenarnya memberikan contoh bagaimana mempertahankan harmoni antar bagian dalam sebuah organisasi. Meskipun bagian penjualan, sebagai revenue center yang berperan utama sebagai ujung tombak memperoleh pendapatan, mereka tidak kemudian memperoleh kedudukan istimewa atau lebih penting dibandingkan cost center, seperti bagian sumberdaya manusia, keuangan, atau operasi.

Kaplan dan Norton (1996) memperkenalkan balanced scorecard yang mengkoreksi praktik penekanan besaran keuangan sebagai tolak ukur keberhasilan yang ada akhirnya justru merugikan keberlanjutan organisasi. Mereka menganjurkan dikembangkannya keseimbangan antara perspektif keuangan dengan perspektif pemangku kepentingan, proses bisnis internal, serta pembelajaran dan pertumbuhan.

Dalam perspektif balanced scorecard, kebijakan pemberian tunjangan kinerja yang fantastis untuk pegawai pajak menyimpan potensi bahaya di masa mendatang. Ibarat tubuh, kebijakan itu bak mengistimewakan kedua tangan karena dianggap paling berperan dalam bekerja dan memasukkan makanan ke dalam tubuh. Anggapan ini jelas mengabaikan peran penting otak, hati, jantung, kaki, mulut, mata, telinga, serta anggota tubuh yang lain.

Yang berbahaya adalah jika pengabaian ini membuat anggota tubuh lain ini mogok bekerja, sehingga seluruh system tubuh pun akan terganggu akrenanya.

 

Sumber: KONTAN

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com

 



Kategori:Berita Pajak

Tag:, , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar