Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Pameo ini barangkali tepat ditujukan bagi produsen minyak sawit mentah alias crude palm oil (CPO). Di saat harga CPO melempem, produsen CPO yang mengekspor produknya bakal memperoleh beban tambahan.
Beban tambahan ini berasal dari rencana pemerintah membentuk dana pengembangan kelapa sawit alias CPO supporting fund. Dana yang akan dikelola oleh Badan Layanan Umum (BLU) di bawah Kementerian Keuangan ini ditujukan untuk mendukung keberlanjutan perkebunan kelapa sawit, dana pengembangan dan riset, dan dana pendidikan bagi petani untuk meningkatkan produktivitas mereka.
Masalahnya, dana pengembangan ini tidak bersumber dari kantong pemerintah melainkan dari pungutan ekspor CPO dan ekspor produk turunan CPO. Artinya, eksportir CPO-lah yang harus menanggung pendanaan tersebut. Rencananya, pemerintah akan memungut US$ 50 per ton untuk setiap ekspor CPO. Adapun untuk ekspor produk turunan CPO, pungutannya sebesar US$ 30 per ton.
Dengan pungutan itu, beban produsen CPO tentu bakal bertambah. Namun, pemerintah menjanjikan, pungutan ini bisa meningkatkan permintaan domestic sehingga mengerek harga CPO. Selain itu, pungutan ekspor akan mendorong hilirisasi kelapa sawit dan pengembangan minyak nabati alias biodiesel.
Seperti diketahui, sejak awal April lalu, pemerintah menambah persentase kewajiban penggunaan biodiesel pada bahan bakar minyak (BBM) dari 10% menjadi 15%. Penambahan kewajiban pengunaan biodiesel berpotensi mendorong kenaikan harga CPO lantaran permintaan meningkat.
Namun, analis Ciptadana Securities Andre Varian pesimistis kebijakan baru itu akan menopang kinerja perusahaan produsen CPO. Kewajiban penggunaan biodiesel 15% sulit diterapkan karena harga minyak saat ini cenderung masih murah.
Analis NH Korindo Securities Indonesia Reza Priyambada mengatakan, semula peningkatan kewajiban penggunaan biodiesel memberi sentimen positif sehingga harga CPO terkerek naik pada awal April lalu. Namun, harga CPO kembali turun lantaran pelaku pasar tidak melihat kemajuan berarti dalam penerapan penggunaan biodiesel 15% pada BBM.
Harga makin tertekan
Nah, saat sentimen positif dari kebijakan biodiesel memudar, kini giliran industri kelapa sawit yang terpukul oleh kebijakan pungutan ekspor. Apalagi, kebijakan tersebut diterapkan justru saat harga CPO tengah anjlok.
Seperti diketahui, harga CPO sejak tahun lalu terus menurun. Sejak awal tahun 2015, harga CPO untuk kontrak pengiriman Juli 2015, yang paling aktif diperdagangkan di Malaysian Derivative Exchange, sempat menyentuh level tertinggi sebesar RM 2.332 per ton. Setelah itu, harga CPO cenderung turun. Pada perdagangan Kamis (23/1) lalu, harga CPO berada di level RM 2.158 per ton.
Alhasil, saat ini emiten sawit menghadapi pukulan ganda. Andre mengatakan, cepat atau lambat kebijakan pungutan ekspor CPO bakal berimbas ke emiten sawit yang menjual produknya ke luar negeri. Memang, kebanyakan emiten sawit menjual produknya ke pasar domestik. Namun, Andre menilai, pungutan ekspor CPO akan membebani emiten sawit yang tidak menjual produk ke luar negeri secara tidak langsung.
Dengan adanya pungutan ekspor CPO, harga jual CPO akan meningkat. Namun, hal ini menyebabkan harga CPO tidak lagi kompetitif dibandingkan harga minyak kedelai. Alhasil, permintaan pasar internasional terhadap CPO bakal berkurang. Ujung-ujungnya, harga CPO bakal semakin tertekan.
Andre memperkirakan, harga CPO akan bergerak di kisaran RM 2.150-RM 2.200. Dalam tiga bulan ke depan, pergerakan harga CPO relatif stagnan.
Makanya, dia memperkirakan, pertumbuhan pendapatan emiten sawit yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) tidak akan signifikan. Pada kuartal I 2015, laba bersih emiten sawit bakal turun cukup dalam. Hingga akhir tahun nanti, Andre meramal, laba bersih emiten sawit secara industri bisa turun 5%-20% seiring tertekannya harga CPO.
Sumber: KONTAN
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak

Tinggalkan komentar