Ketika Transaksi Dollar Tak Lagi Leluasa

527394193p

Menjelang jam makan siang, Rabu (28/4) lalu, suasana gedung Sahid Sudirman Center masih tampak lengang. Sejumlah pekerja terlihat menyapu lantai dan merapikan taman. Tak berselang lama, sebuah Mercedez-Benz warna putih parkir di halaman gedung perkantoran modern yang baru saja rampung dibangun ini.

Pada 14 Maret lalu, Presiden Joko Widodo meresmikan pembukaan Sahid Sudirman Center yang ditandai penandatanganan prasasti di Kompleks Sahid City, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat. Sahid Sudirman Center merupakan hasil kerja dari aliansi strategi Sahid Group, Pikko Land Group, dan Tan Kian. Ketinggian bangunan ini mencapai 59 lantai atau 258 meter. Hanya kalah dari Wisma 46 yang menjulang 261,9 meter.

Harga sewa di gedung yang menyedot dana pembangunan sebesar Rp 1,5 triliun itu menggunakan mata uang dollar Amerika Serikat (AS). Harga yang dipatok dalam sewa gedung berkisar antara US$35-US$55 per meter persegi (m2). Tapi harga bergantung dari jenis dan ukuran ruangan yang disewa.

Terletak di kawasan strategis ibukota, Sahid Sudirman Center banyak diminati. Buktinya, hingga resmi dibuka pada pertengahan bulan lalu, sewa gedung keseluruhan tersisa 10.000 m2 lagi dari total luas bangunan keseluruhan 206.000 m2 dan luas kurang kantor 3.000 m2. Sampai saat ini, Sahid Sudirman Center telah terisi lebih dari 70% dengan penyewa utama adalah Mitra Adi Perkasa Group.

Pengelola gedung punya pertimbangan tarif sewa kantor harus pakai mata uang negara Paman Sam. “Mengamati perkembangan dollar as yang terus bergerak. Jadi untuk harga sewa kantor juga pakai dollar AS,” aku Director Sales Marketing & Business Development Sahid Group Vivi Herlambang.

Apalagi dengan level bangunan dan fasilitas gedung grade A yang berlokasi di kawasan Central Business District (CBD) Jakarta, tidak heran jika pengelola Sahid Sudirman Center turut menyewakan unit office-nya dalam bentuk dollar AS. Maklum, rata-rata perkantoran di kawasan CBD di Jakarta menggunakan dollar AS untuk harga sewanya.

Cuma, per 1 April lalu, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang lebih tegas, yakni membatasi transaksi dollar di masyarakat. Pangkal persoalannya tidak lain adalah permintaan mata uang asing terutama dollar as yang semakin besar dan mengakibatkan keterpurukan atau tekanan terhadap rupiah.

Pada pertengahan maret lalu, rupiah sampai tembus Rp 13.000 per dollar AS. Kini, kurs tengah BI masih berada di level Rp 12.980 per dollar AS. Kebijakan pembatasan transaksi dollar merujuk Undang-Undang (UU) Nomor 23/1999 tentang BI dan UU Nomor 7/2011 tentang Mata Uang. Paling anyar, Bank Indonesia merilis Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 17/2015 tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah.

Tak tanggung-tanggung, bagi yang melanggar aturan ini dikenai sanksi, yakni pidana kurungan paling lama setahun dan denda Rp 200 juta. Namun, pemerintah masih memberi masa transisi untuk transaksi nontunai sampai 30 Juni mendatang. Tujuannya, menyelesaikan perjanjian jika sudah disusun dalam valuta asing.

“Ini guna mewujudkan rupiah berdaulat dan mendukung nilai tukar rupiah,” kata Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Departemen Pengelolaan Keuangan BI Eko Yulianto. Selain wajib memakai rupiah dalam bertransaksi di wilayah NKRI, beleid ini mewajibkan pencantuman harga (kuotasi) barang dan jasa hanya dalam rupiah.

Properti kena imbas?

Bila transaksi dollar AS dibatasi, bagaimana nasib bisnis properti di Jakarta? Apakah kebijakan ini berpotensi menimbulkan kerugian akibat selisih kurs rupiah terhadap dollar AS?

Lena Thong, CEO sekaligus pendiri Marquee, perusahaan jasa service office terbesar di Indonesia, menganggap, langsung atau tidak langsung, mandatori penggunaan rupiah dalam setiap tranaksi bisa berimbas pada bisnis properti di Jakarta. Tapi sejauhmana pengaruhnya belum terlihat karena kebijakan ini baru efektif setelah Juni nanti. “Tentu, kami akan memperhitungkan potensi kerugian karena sebagian kantor yang disewakan dalam dollar AS, “ujar Lena.

Asal tahu saja, salah satu pemain besar di bisnis jasa service office dan virtual office adalah PT Karya Central Bisnis yang menaungi brand Marquee. Di Indonesia, Marquee sedikitnya mengelola satu hektar ruang kantor di beberapa center gedung di Jakarta.

Sampai saat ini, ruang perkantoran Marquee tersebar di sembilan lokasi gedung perkantoran ternama, antara lain Menara Karya, Talavera Office, Cyver2 Tower, Equity Tower, Sovereign Plaza, Pondok Indah Office Tower, Alamanda Tower, dan Talavera Office Suite.

Lena mengaku  belum bisa menyebutkan perkiraan angka kerugian sebagai dampak kebijakan BI ini. Bagi pengusaha, bila semua transaksi pendapatan harus menggunakan rupiah tentu memberatkan juga merepotkan. Sebab, ada sejumlah pos pembiayaan yang harus di bayarkan dalam bentuk dollar AS. Misalnya, pembayaran pinjaman luar negeri yang dipakai untuk belanja modal.

Tak Cuma itu, bagi pengembang ada biaya pengadaan barang yang harus diimpor. “Kalau selisihnya besar, ini tentu berpotensi perusahaan rugi,” papar Lena.

Bisa saja perusahaan membebankan kepada konsumen tiap kali rupiah melemah, tapi ini dikhawatirkan bisa menurunkan tingkat permintaan sewa akibat harga yang semakinn mahal. Lena bercerita, ketika rupiah menyentuh Rp 13.000 per dollar AS, ada penyewa terutama dari korporasi yang complain karena biaya sewa membengkak. Itupun, Marquee baru menaikkan service charge sebesar 5%-10%, yang mestinya 30% atas pelemahan rupiah tersebut.

Atas dasar itu, ada penyewa yang meminta tarif sewa dalam rupiah. Hanya permintaan tersebut tidak bisa dipenuhi karena kontrak antara Marquee dengan pemilik gedung dalam bentuk dollar AS. Ke depan, dalam renegosiasi kontrak, penyesuaian harga dari dollar ke rupiah bisa dilakukan.

Lena menyampaikan, Marquee siap menaati peraturan wajib transaksi menggunakan rupiah. Hanya itu semua tergantung kesiapan pihak pemilik gedung yang membuat kontrak sewanya. Apalagi sebagian besar, hingga 70% dari klien Marquee yang menyewa merupakan perusahaan asing. Mereka bergerak di bidang informasi teknologi, perwakilan perusahaan obat-obatan dari luar negeri, yang tak memiliki banyak karyawan di sini. “Tapi kalau semuanya rupiah, bagaimana kalau rupiah melemah terus?” ucap Lena, khawatir.

Begitu pun, penggunaan mata uang dollar untuk sewa kantor di gedung Sahid Sudirman Center karena hampir sebagian besar komponen pembuatan gedung masih diimpor, seperti lift, baja, dan sebagainya. “Pakai dollar karena sesuai leasing agent seperti itu,” imbuh Vice President Sahid Group Exacty Sukamdani Suryantoro.

Adapun, harga sewa dan jual yang dipatok Sahid Group sudah sesuai dengan perhitungan perusahaan, seperti komponen bangunan serta lokasi gedung di jalan Sudirman yang strategi. Lagipula harga tanah SCBD ini sangat mahal, yakni Rp 120 juta per meter.

Vivi menambahkan , penggunaan mata uang AS juga antisipasi ketika rupiah terperosok lebih dalam. Tapi, bagaimanapun, “Kami harus menjalankan aturan wajib pakai rupiah yang ditetapkan pemerintah,” ujarnya. Akan tetapi, Vivi bilang, pihaknya memerlukan waktu dan tahapan untuk menyesuaikan kontrak-kontrak sewa yang sudah terlanjur dalam nilai dollar AS.

Mengenai potensi rugi sebagai dampak perubahan nilai mata uang dalam sewa kantor, Vivi mengaku perlu ada perhitungan terlebih dahulu. Meski demikian, Sahid Group tidak khawatir pengembalian dana investasi bakal suram. Alasannya, permintaan sewa perkantoran di kawasan SCBD masih terbilang tinggi.

Ivy Wong, direktur pengembangan bisnis Pakuwon Jati, mengakui, potensi rugi akibat selisih kurs rupiah terhadap dollar AS sangat memungkinkan. Beruntung, Pakuwon punya diversifikasi bisnis properti. “Pengaruh secara keseluruhan ke perusahaan tidak besar karena hanya sewa kantor yang pakai dollar,” ungkap Ivy.

Pakuwon Jati adalah perusahaan pengembang real estate yang berfokus di Jakarta dan Surabaya. Selain sewa ruang perkantoran, bisnis usaha perusahaan ini meliputi pengembangan ritel, perumahan, perdagangan, dan perhotelan.

Untuk sewa mal, Ivy menuturkan, Pakuwon Jati tak memprioritaskan pembayaran dalam dollar. Tapi setelah ada aturan BI, jika masih ada kontrak, maka setelah juli mendatang akan disesuaikan ke nilai rupiah. “Jadi, kami tinggal konversikan saja dari dollar ke rupiah,” paparnya. Menurut Ivy, sejauh ini penerapan sewa rupiah tidak akan berpengaruh walaupun banyak orang asing yang menyewa properti Pakuwon. Mereka mengikuti aturan dari pemerintah.

Setelah tidak ada pendapatan dalam dollar, untuk menyiasati belanja barang impor, Ivy menyatakan, pihaknya akan membayar supplier yang ada di Jakarta dengan rupiah juga sesuai dengan peraturan pemerintah. Contoh barangnya, keramik lantai.

Di mata Cesar Dela Cruz, Direktur Keuangan Agung Podomoro Land, imbas wajib rupiah dalam setiap transaksi tidak akan sampai mengancam bisnis perusahaan. Memang, ada pengeluaran yang biasanya untuk pembelian machinery and equipment seperti escalator, lift, dan genset. “Potensi rugi, kami pertimbangkan dalam menetapkan harga jual atau harga sewa properti,” beber dia.

Sumber: Kontan

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com



Kategori:Berita Pajak

Tag:, , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar