Pencangan tahun 2015 sebagai tahun pembinaan wajib pajak (WP) di konkretkan pemerintah melalui penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 91/PMK/03/2015 (Kontan, 9 Mei 2015). Dalam program yang bisa dinamakan sebagai Sunset Policy Jilid II (SP II) ini, WP diberi kesempatan untuk membetulkan SPT Tahunan dan SPT PPN Tahun Pajak 2014 dan tahun-tahun sebelumnya. Sepanjang hal itu dilakuan di tahun 2015, WP berhak memperoleh pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sesuai UU KUP.
Jika menyimak penjelasan Presiden Jokowi, banyak orang berharap bahwa pengampunan akan diberikan tanpa syarat. Ternyata, menurut Pasal 2 PMK 91, tidak semua WP bisa memperoleh pengampunan. Sebab sanksi administrasi yang bisa dikurangkan atau dihapuskan hanya karena kekhilafan, bukan karena kesalahan WP.
Kalau ketentuan tersebut diterapkan secara konsisten dan jujur, WP yang dengan sengaja tidak menyampaikan SPT atau SPT yang tidak benar di masa-masa lalu dan baru membetulkan di tahun 2015, pengenaan sanksi terhadap mereka tidak akan memenuhi kriteria sanksi yang dapat dihapuskan/ dikurangkan. Sebab pengenaan sanksi itu sudah sesuai ketentuan yang berlaku.
WP memang dipermudah agar sanksi yang dikenakan memenuhi Kriteria sanksi yang berhak mendapatkan pengampunan. Caranya cukup dengan melampirkan Surat Pernyataan (di atas materai) yang menyatakan bahwa keterlambatan, penyampaian SPT, Keterlambatan pembayaran pajak, dan/ atau pembetulan SPT dilakukan karena kekhilafan atau bukan karena kesalahan WP. Tapi kemungkinan tidak semua WP (apalagi WP besar) besedia membuat pernyataan demikian. Sebab, pernyataan demikian mungkin merupakan pernyataan palsu yang bisa saja suatu saat menjeratnya. Pembatasan sanksi yang mendapat pengampunan kemungkinan besar mempengaruhi jumlah WP yang bersedia mengikuti program itu.
SP II sepertinya memang salah kemasan atau salah payung hukum. Penyebabnya adalah karena program itu hanya diatur dengan PMK. Menkeu sendiri tidak berwenang menghapuskan sanksi administrasi dari program tersebut. Oleh karena itu, Menkeu hanya mengandalkan wewenang Dirjen Pajak yang diatur dalam Pasal 36 ayat (1) angka 1 UU KUP.
Menurut pasal itu, Dirjen Pajak dapat mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda dan kenaikan yang terutang karena kekhilafan, bukan karena kesalahan WP. Karena ketentuan ini yang dipakai sebagai dasar hukum pengampunan sanksi administrasi dalam SP II, penghapusan sanksi administrasi dalam SP II akhirnya harus mengikuti ketentuan pasal itu.
Pengampunan tanpa syarat
Jadi PMK 91 tersebut sesungguhnya tidak memuat sebuah kebijakan atau peraturan baru, sebab hanya merujuk kepada peraturan yang sudah ada. PMK tersebut dapat dikatakan hanya semacam peraturan pelaksanaan dari pasal 36 ayat 1 angka 1 UU KUP. Jadi, SP II ini sesungguhnya hanya menggunakan peraturan yang sudah ada, yakni UU KUP.
Dapat ditambahkan bahwa penghapusan atau pengurangan sanksi administrasi berdasarkan Pasal 36 ayat 1 angka 1 tersebut tidak bersifat absolut. Dirjen Pajak hanya “dapat” mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi, bukan “wajib”. Jadi sesungguhnya bagi WP yang mengikuti program SP II ini tidak ada kepastian akan memperoleh pengampunan sanksi administrasi.
Seorang Kepala KPP yang hati-hati belum tentu langsung mengabulkan permohonan WP jika modal WP mengajukan permohonan hanya Surat Pernyataan. Dalam uraian pemandangan yang dijadikan pertimbangan mengambil keputusan harus diuraikan dengan rinci bukti bahwa penerbitan administrasi pada WP terjadi karena kekhilafan WP atau bukan karena kesalahannya.
SP II sebaiknya diatur dalam sebuah peraturan yang baru agar pemerintah mempunyai keleluasaan mengatur program tersebut tanpa terikat dengan ketentuan yang berlaku.
Semua WP yang mengikuti program SP II sebaiknya memperoleh pengampunan sanksi administrasi tanpa syarat, selain syarat melunasi pajak terutang. Apapun alasannya, sehingga dulu tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT yang tidak benar, jangan lagi dipersoalkan atau dikait-kaitkan dengan pengampunan sanksi administrasi. Hanya dengan demikian, jumlah WP yang mengikuti program tersebut bisa lebih maksimal.
Dengan sebuah Peraturan Pemerintah Penggantian Undang-Undang (Perpu), Presiden bisa mengubah UU KUP tanpa memerlukan persetujuan siapapun bila ketentuan UU KUP dianggap kurang mendukung program yang akan dijalankan. Hanya agar penetapan Perpu tersebut menjadi UU kelak bisa berjalan lancar, rencana penerbitan Perpu sebaiknya terlebih dahulu dikomunikasikan dengan DPR.
Melalui Perpu tersebut, Presiden bisa membatasi berlakunya sanksi – sanksi UU KUP yang terkati dengan SP II. Perpu tersebut hanya perlu melakukan perubahan kelima terhadap UU KUP dengan menambahkan satu pasal dalam UU tersebut, misalnya Pasal 14A. Isinya mengatur bahwa sanksi yang diatur dalam Pasal 7, Pasal 8 ayat (2), Pasal 8 ayat (2a), Pasal 9 ayat (2a), Pasal 9 ayat (2b) dan Pasal 14 ayat (4) UU KUP tidak dikenakan kepada WP yang mengikuti program SP II tersebut.
Pilihan bentuk pengampunan berupa “tidak dikenakan sanksi administrasi” lebih praktis daripada diberi pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi. KPP tidak perlu lagi repot-repot menerbitkan STP untuk menagih sanksi tersebut untuk kemudian dikurangkan atau dihapuskan. WP juga akan memperoleh pengampunan secara langsung tanpa perlu mengajukan permohonan dan membuat pernyataan palsu.
Mengingat tidak terbatasnya tahun pajak dan masa pajak yang masuk dalam program SP II, jangka waktu program itu juga perlu ditetapkan lebih lama, minimal satu tahun. Hal ini perlu untuk memberikan kesempatan bagi WP mempersiapkan dana pelunasan pajak kurang bayar dan memperbaiki Laporan Keuangannya sebagai lampiran SPT. Bagi sebagian WP Laporan Keuangan tersebut mungkin harus diaudit oleh Akuntan Publik.
Sumber: Kontan
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak

Tinggalkan komentar