JAKARTA. Pebisnis pelayaran mengeluhkan efek dari berlakunya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11/2015 tentang Penerimaan negara bukan pajak (PNBP) di Kementerian Perhubungan (Kemhub).
Aturan yang berlaku sejak Maret ini membuat tambahan biaya perusahaan pelayaran dan wisata. Menurut Witono Suprapto, Ketua Bidang Angkutan Cair Indonesian National Shipowners Association (INSA), tarif pelayaran sejatinya cenderung turun. Namun, tarif yang lain, seperti jasa pelabuhan dan yang lainnya yang masuk dalam PNBP justru naik. Misalnya, jasa labuh di pelabuhan.
Untuk kapal angkutan laut niaga luar negeri kelas utama tarifnya US$ 0,115 per gross tonate (GT) per kunjungan. Sedangkan di aturan lawas, PP Nomor 6/2009 cuma US$ 0,035 per GT per kunjungan, selama 15 hari. “Ini membuat beban operasional industri pelayaran naik,” katanya, Senin (18/5).
Dari studi industri ini, biasanya beban operasional industri pelayaran naik 3% per tahun. Tapi dengan kenaikan PNBP ini, kenaikan beban bisa lebih dari 5%. INSA tidak sendiri. Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) juga mengeluhkan hal serupa. Bedanya, soal penerapan pajak barang mewah (PPnBM) bagi penunjang wisata bahari, seperti peralatan menyelam, alat pancing, kapal wisata, marina dan sarana wisata bahari lainnya.
Menurut Didien Junaedy, Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia, pengenaan PPnBM terhadap alat wisata bahari bisa menghambat roda bisnis wisata ini. Ia setuju bila pemerintah ingin menggenjot pendapatan dari objek pajak.
Namun bila PPnBM ada keringanan, maka perkembangan industri wisata ini bisa menyebar. Misalnya, cukup diterapkan dalam jangka waktu lima tahun dulu.
Bila pemerintah mendengarkan saran ini, pebisnis optimistis target 20%-30% dari 20 juta wisatawan asing di wisata bahari tercapai 2019.
Sumber: KONTAN
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak
Tinggalkan komentar