JAKARTA. Kuping pasar saham agaknya tipis sekali dan amat sensitif. Sedikit saja kabar kurang sedap mampir ke kupingnya, reaksinya bisa begitu dahsyat.
Itu pula yang tampak saat ini. Begitu mendengar kenaikan harga barang (inflasi) sepanjang Mei 2015 mencapai 0,5% atau lebih tinggi ketimbang inflasi sebulan sebelumnya yang di posisi 0,36%, reaksinya langsung tandas; pasar saham langsung dihajar.
Di sisi lain, selama tiga bulan pertama tahun ini, ekonomi tumbuh di bawah harapan karena naik 4,7%. Pasar tak suka dengan perpaduan buruknya data inflasi dan pertumbuhan ekonomi tersebut.
Tak pelak, kemarin, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terjun 1,6% menjadi 5.130,5. Jika menghitung sejak awal tahun, laju indeks saham sudah minus 1,85%.
Sebastian Tobing, Kepala Riset Trimegah Securitites, menilai, tingginya inflasi ini adalah isyarat program ekonomi pemerintah belum efektif. Dengan kata lain, kerja tim ekonomi kabinet mulai diragukan pasar, utamanya akibat belum berpengalaman. “Sebagian besar menteri belum pernah menduduki jabatan Direktur Jenderal atau posisi yang berhubungan dengan kementerian saat ini,” kata Sebastian, kemarin (3/6).
Kepercayaan pasar makin tergerus melihat setumpuk persoalan lain. KONTAN merangkum sejumlah persoalan yang jadi perhatian pelaku pasar dan pebisnis. Misalnya, regulasi pemerintah yang simpang siur, aturan perpajakan yang kontroversial, tim kabinet yang belum kompak, belanja pemerintah yang masih seret, janji perhelatan proyek infrastruktur yang maju mundur, hingga potensi macetnya penataan birokrasi.
Aspek psikologis turut memperunyam situasi. Maklum, menurut Norico Gaman, Kepala Riset BNI Securities, awalnya, pelaku pasar menaruh harapan tinggi pada pemerintah Joko Widodo. Sayang, urusan eksekusi masih dipertanyakan. Kini, bulan madu pasar dan Jokowi sudah usai akibat jurang harapan dan kenyataan yang kian lebar.
Kepala Riset MNC Securities, Edwin Sebayang melihat, pembenahan birokrasi ini menjadi krusial saat ini. Pembenahan birokrasi yang terganjal akibat pembentukan nomenklatur kementerian yang belum selesai, menyebabkan sejumlah instansi tak bisa membelanjakan dananya. Akibatnya, belanja pemerintah tetap seret dan ekonomi kekurangan stimulus.
Edwin memperkirakan, ekonomi Indonesia di kuartal kedua ini bakal melambat lagi. Laba emiten saham pun berpeluang terkikis lagi. “Meski konsumsi masyarakat naik menjelang puasa dan Lebaran, itu belum bisa menahan penurunan ekonomi,” tandas dia.
Itu sebabnya, Edwin tanpa tedeng aling-aling berharap, Presiden Jokowi menggelar reshuffle, utamanya mengubah komposisi tim ekonominya. Sebab, hampir delapan bulan berjalan, tim ekonomi kabinet belum berprestasi.
Norico juga pesimistis ekonomi Indonesia bisa tumbuh 5% jika duit pemerintah tetap macet. Jika itu terjadi, laba emiten saham tahun ini diperkirakan hanya tumbuh berkisar 10%-12% atau di bawah tahun lalu yang berkisar 18%-20%. Efek selanjutnya, indeks saham bisa di bawah 5.000 dan sulit menembus ke atas 5.500 di akhir tahun nanti.
Sumber: Kontan
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak

Tinggalkan komentar