Laksana pesilat yang sudah keteteran dan nyaris kehabisan nafas, pemerintah makin galak mengeluarkan berbagai jurus untuk menggenjot penerimaan pajak tahun ini. Setelah berencana mengenakan pajak untuk beberapa objek dan transaksi, kali ini pemerintah berniat menerbitkan aturan yang membatasi rasio utang terhadap ekuitas atau modal, yang kondang disebut sebagai debt to equity ratio (DER).
Debt to equity ratio membandingkan jumlah utang terhadap modal. Rasio ini digunakan untuk melihat seberapa besar utang suatu perusahaan jika dibandingkan ekuitas yang dimiliki oleh perusahaan tersebut. Utang, sampai level tertentu, sebenarnya diperlukan. Sebab, jika perusahaan hanya mengandalkan modal saja, upaya ekspansi untuk mengembangkan usaha pastilah terbatas.
Utang punya peran membantu perusahaan melakukan ekspansi bisnis. Namun, jika jumlah utang sudah terlalu besar, maka risiko keberlangsungan usaha perusahaan juga semakin tinggi. DER adalah rasio untuk melihat profil risiko utang perusahaan.
Tidak ada standar rasio yang pasti untuk menetapkan level risiko karena standarnya bisa berbeda untuk tiap sektor industri. Tetapi secara umum disepakati, semakin tinggi angka DER makan profil risiko perusahaan semakin tinggi.
Cuma, jangan salah. Beleid baru ini tidak akan mengatur besar DER untuk kepentingan pembiayaan atau profil risiko. Regulasi yang direncakan berbentuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK) ini akan mengatur besaran biaya bunga atas pinjaman yang boleh dibebankan perusahaan dalam perhitungan laba bersih sebagai dasar pengenaan pajak.
Beban bunga utang yang bisa dimasukkan dalam perhitungan laba bersih inilah yang akan diatur lewat ketentuan DER. Menurut Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, pemerintah berencana menetapkan maksimal DER sebesar 5,0 atau 4:1. Artinya, batas maksimal rasio utang perusahaan adalah empat kali dari modal perusahaan.
Dengan begitu, bunga pinjaman yang bisa dibebankan hanya bunga dari utang yang maksimal jumlahnya 4 kali modal perusahaan. Lebih dari itu, beban bunga tak bisa dimasukkan sebagai pengurang penghasilan bruto. “Yang masih dapat dibebankan sampai dengan rasio 4:1. Selebihnya tak bisa,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak Mekar Satria Utama.
Yang juga tidak termasuk dalam kategori beban bunga utang yang bisa diperhitungkan sebagai pengurang penghasilan adalah bunga pinjaman sehubungan dengan penghasilan, yang telah dikenakan pajak bersifat final, dan/atau penghasilan yang tidak termasuk objek pajak.
Ambil contoh, dana hasil pinjaman yang ditempatkan dalam bentuk deposito. Karena bunga deposito sudah terkena Pajak Penghasilan (PPh) Final, maka beban bunga utang dari pinjaman itu tak boleh lagi dimasukkan sebagai pengurang laba bersih kena pajak.
Adapun yang masuk dalam ekuitas atau modal adalah saham dan komponen modal lain, seperti agio saham. “Pokoknya sesuai dengan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK), termasuk pinjaman tanpa bunga dari pemegang saham,” ujar Mekar.
Menurut Bambang, ada dua tujuan utama dari penetapan ketentuan ini. Pertama, kebijakan pembatasan debt to equity ratio ini mengendalikan utang luar negeri sektor swasta yang terus membengkak. Apalagi, banyak perusahaan saat ini memiliki utang yang jauh lebih besar dari modalnya.
Kalau beban bunga utang tak bisa dikreditkan sebagai pengurang penghasilan kena pajak, ini akan mengerem nafsu berutang dunia usaha yang besar. Lihat saja, akhir kuartal I 2015, utang luar negeri tumbuh 7,6% dari kuartal sebelumnya menjadi US$ 298,1 miliar. Utang swasta mencapai US$ 165,3 miliar atau 55,5% dari total utang luar negeri kuartal I 2015.
Kedua, beleid ini bertujuan menekan aktivitas tax avoidance atau penghindaran pajak. Banyak perusahaan saat ini, khususnya perusahaan penanaman modal asing, lumayan jor-joran berutang ke induk usahanya yang ada di luar negeri. Biaya bunga atas utang kepada perusahaan induk itu digunakan perusahaan sebagai pengurang pajak karena dihitung dalam rugi-laba perusahaan.
Walhasil, “Perusahaan tak untuk karena terus membayar utang dan bunga utang dan pembayaran pajak berkurang,” ujar Bambang. Cara ini dipakai banyak perusahaan unutk menghindari pajak. Ketentuan ini hadir untuk menekan aksi tax avoidance tersebut.
Batasan rasio utang ini akan berlaku mulai awal 2016. Diperkirakan banyak perusahaan terkena imbas aturan karena memiliki rasio utang melebihi batasan ini. Namun pembatasan rasio utang ini tidak berlaku untuk seluruh sektor. Beberapa sektor, seperti industri jasa keuangan, misalnya perbankan dan multifinance, serta sektor pertambangan serta minyak dan gas (migas) akan dikecualikan dari ketentuan ini.
Suahasil Nazara, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, mengungkapkan, kedua sektor industri tersebut memiliki karakteristik pembiayaan yang berbeda. Sektor pertambangan misalnya, memerlukan pembiayaan yang sangat besar. Adapun sektor keuangan memiliki karakter bisnis mengelola uang sehingga kebutuhan pembiayaannya juga tinggi. “Sektor keuangan juga sudah highly regulated,” katanya.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Suryadi Sasmita mengaku setuju dengan rencana ini. Menurutnya, sekarang banyak sekali perusahaan yang meminjam dari perusahaan induk di luar negeri secara besar-besaran dengan tujuan memperkecil laba bersih dan ujungnya memperkecil pembayaran pajak.
Tak sedikit yang membangun usaha dengan sumber dana yang didominasi oleh pinjaman. Akhirnya, perusahaan itu tidak untung karena terbebani bunga, terutama ke perusahaan induk. Perusahaan sebenarnya merugi tetapi tetap membayar bunga. Padahal bunga itu bukan untuk kepentingan perusahaan.
Ujungnya, karena perusahaan itu tak meraih laba akhirnya tidak membayar pajak. “Kami setuju supaya ada keadilan. Kalau orang kalau ingin berusaha itu memang harus punya modal,” kata Suryadi.
Kalau hanya mengandalkan utang, perusahaan akan sulit meraih laba karena akan terus terbebani pembayaran cicilan dan bunga utang. Ini terutama terjadi pada perusahaan yang fokus untuk produksi dan mengekspor barang ke perusahaan terafiliasi luar negeri.
Suryadi tak khawatir kebijakan ini nantinya akan menghambat ekspansi dunia usaha. Sebab, untuk mengembangkan usaha, yang bagus adalah tak seluruhnya mengandalkan pinjaman. Apalagi kalau semua modal berasal dari pinjaman, resikonya sangat tinggi.
Sementara Prianto Budi Saptono, pengamat perpajakan yang juga mengurus pusat Ikatan Konsultan Pajak Indonesia, menilai, yang hendak dilakukan pemerintah sesungguhnya adalah mencegah praktik thin capitalization. Ini adalah praktik penyetoran modal terselubung melalui pemberian pinjaman yang melampaui batas kewajaran. Tujuannya, menghindari pengenaan pajak lewat transaksi antara perusahaan terafiliasi atau transfer pricing.
Skemanya, perusahaan induk memberikan pinjaman ke anak perusahaan di Indonesia. Sumber pendanaan langsung dari induk perusahaan di luar negeri terus menerus diberikan bukan dalam bentuk penyetoran modal tambahan tetapi dalam bentuk pemberian pinjaman. Untuk itu anak perusahaan diwajibkan membayar bunga kepada induk perusahaan di luar negeri.
Bunga tersebut selanjutnya dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto anak perusahaan di Indonesia. Pemberian pinjaman terus menerus tersebut mengakibatkan perbandingan antara utang dengan modal menjadi tidak wajar. Saat ini diperkirakan lebih dari 50% wajib pajak perusahaan yang terdaftar di kantor pelayanan pajak memiliki DER di atas 4.
Memang, ini bukan praktik yang melanggar hukum mengingat tak ada aturan yang mengatur DER. Menurut Prianto, Pasal 18 UU Nomor 7/1983 tentang PPh sebenarnya memberikan kewenangan ke menteri keuangan untuk menentukan besarnya rasio utang terhadap ekuitas sebagai upaya mencegah thin capitalization.
Sebagai tindak lanjut, pada 8 Oktobr 1984 diterbitkan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 1002/1984 tentang Penentuan Perbandingan Antara Hutang dan Modal Sendiri Untuk Keperluan Pengenaan PPh.
Cuma, karena pertimbangan akan mengambat perkembangan dunia usaha, maka diterbitkan KMK Nomor 254/1985, tertanggal 8 Maret 1985 tentang Penundaan Pelaksanaan KMK Nomor 1002/1984. Penundaan pemberlakuan ketentuantersebut tanpa batas waktu. “Sampai kini ketentuan tersebut masih belum diberlakukan kembali,” ujar Prianto.
Pemerintah sebenarnya coba membatasi praktik ini dengan aturan Penanaman Modal Asing (PMA) yang meminta syarat penyetoran modal awal sebesar US$ 1 juta. Rekening koran penyetoran itu harus ditunjukkan ketika mengajukan izin PMA.
Cuma, yang terjadi, begitu izin keluar, dana tersebut ditarik lagi oleh pemegang saham di luar negeri. “Syaratnya sekarang cukup surat pernyataan kesanggupan pemegang saham menyetor modal,” kata Prianto yang juga pengurus Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) ini.
Apa boleh buat, sepertinya memang harus ada aturan yang membatasi rasio DER. Apalagi, aturan semacam ini juga lazim di luar negeri, seperti Jepang yang menetapkan DER 3:1. Amerika Serikat bahkan membatasi DER 1:1 untuk kepentingan perhitungan pajak.
Cuma, Prianto menyarankan, aturan DER ini dibatasi untuk pinjaman antar perusahaan terafiliasi, atau dimasukkan dalam ketentuan khusus tentang transfer pricing.
Sumber: KONTAN
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak
Tinggalkan komentar