Belakangan ini, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak mulai menggunakan penyanderaan untuk pencairan tunggakan pajak. Penyanderaan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan Penanggung Pajak dengan menempatkannya di tempat tertentu untuk jangka waktu paling lama enam bulan yang dapat diperpanjang paling lama enam bulan berikutnya.
Dalam Undang-Undang (UU) Penagihan telah ditetapkan persyaratan dan prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam melakukan penyanderaan. Selain harus memenuhi persyaratan kuantitatif (adanya utang pajak minimal Rp 100 juta) dan persyaratan kualitatif (diragukannya itikad baik penanggung pajak melunasi hutang pajaknya), penyanderaan baru bisa dilakukan apabila telah dilakukan penagihan pajak sampai dengan surat paksa. Penyanderaan juga harus dilakukan hati-hati, selektif dan hanya merupakan upaya (penagihan) terakhir.
Peraturan Pemerintah (PP) No 5 Tahun 1998 yang diubah dengan PP No. 137 Tahun 2000 yang mengatur pelaksanaan penyanderaan, tidak sepenuhnya mendukung terpenuhinya persyaratan dan prinsip penyanderaan yang telah digariskan dalam UU Penagihan. Penyebab utamanya adalah karena penyanderaan sudah bisa dilakukan setelah pemberitahuan surat paksa.
Bentuk konkret tindakan penagihan pajak “sampai dengan surat paksa” yang menjadi salah satu syarat penyanderaan memang menimbulkan multi-tafsir antara penagihan pajak dengan surat paksa dan pemberitahuan surat paksa. Seperti diketahui, pemberitahuan surat paksa merupakan tahap awal dari penagihan pajak dengan surat paksa sebelum penyitaan, pengumuman lelang dan pelelangan harta sitaan.
PP No. 5 Tahun 1998 menafsirkan tindakan penaguhan tersebut sebagai Pemberitahuan Surat Paksa (PSP). Penyanderaan sudah bisa dilakukan setelah lewat 14 (empat belas) hari dari tanggal PSP. Artinya penyanderaan sudah bisa dilakukan sebelum PSP ditindaklanjuti dengan penyitaan harta penanggung pajak. Ketentuan ini juga diikuti oleh PP Nomor 137 Tahun 2000 yang berlaku sampai sekarang.
Diizinkannya melakukan penyanderaan sebelum melakukan penyitaan cenderung mengakibatkan terjadinya penyimpangan terhadap prinsip-prinsip penyanderaan yang telah digariskan.
Sebelum melakukan penyitaan, secara formal, jurusita belum bisa mengukur kemampuan ekonomis penanggung pajak sehingga belum bisa memastikan penyebab tidak dilunasinya hutang pajak apakah karena tidak mampu melunasinya atau karena tidak mempunyai itikad baik melunasi. Jadi sebelum melakukan penyitaan, sesungguhnya terlalu dini meragukan itikad baik penanggung pajak.
Perlu diatur kembali
Penyanderaan sebelum penyitaan juga menyimpang dari hakikat penyanderaan sebagai upaya emaksa penanggung pajak menunjukkan hartanya yang disembunyikan untuk dilakukan penyitaan, sekaligus melanggar prinsip penyanderaan sebagai upaya penagihan terakhir.
Dampak negatif lainnya adalah kemungkinan terjadi penyanderaan terhadap penanggung pajak yang tidak mampu melunasi utang pajaknya. Padahal penyanderaan hanya ditujukan kepada penunggak pajak yang memiliki kemampuan melunasi tunggakan pajaknya, tapi diragukan itikad baiknya untuk melunasinya. Penyanderaan tidak ditujukan kepada penanggung pajak yang tidak mampu melunasi utang pajaknya.
Dampak lebih jauh adalah kemungkinan ditinggalkannya kegiatan penyitaan yang memelahkan dan berisiko tinggi tersebut. Setelah PSP, jurusita kemungkinan besar akan langsung mempersiapkan usul penyanderaan dan tidak berpikir lagi menindak-lanjuti PSP ke tahap penyitaan. Hal demikian bisa mengakibatkan penyanderaan berubah menjadi tindakan semena-mena tapi legal terhadap penanggung pajak. Jaminan utama pelunasan utang pajak adalah harta benda penanggung pajak, sehingga penyitaan harta benda penanggung pajak harus diprioritaskan daripada penyanderaan penanggung pajak.
Mengingat banyaknya masalah yang bisa timbul karena diizinkannya melakukan penyanderaan sebelum tindakan penyitaan, sepertinya yang dimaksud dengan penagihan pajak sampai dengan surat paksa dalam UU Penagihan bukanlah PSP, melainkan penagihan pajaj dengan surat paksa dalam arti luas. Apalagi, tujuan penagihan dimaksud adalah untuk mendapatkan data atau informasi yang akurat yang diperlukan sebagai bahan pertimbangan untuk mengajukan permohonan izin penyanderaan.
Oleh karena itu, pelaksanaan penyanderaan sebaiknya diatur kembali. Penyanderaan baru bisa dilakukan setelah dilakukan penagihan dengan surat paksa minimal samapi pada tahap penyitaan harta benda penanggung pajak.
Apabila nilai harta uang berhasil disita mencukupi untuk jaminan pelunasan utang pajak, penyitaan harus dilanjutkan ke tahap berikutnya dan tidak diperkenankan beralih ke penyanderaan. Sepanjang hasil sitaan cukup untuk jaminan pelunasan utang, petunjuk adanya harta yang disembunyikan bukan lagi alasan yang bisa digunakan untuk melakukan penyanderaan.
Apabila hasil sitaan tidak mencukupi untuk jaminan pelunasan utang pajak, penyanderaan bisa dilakukan jika ada petunjuk kuat tentang adanya harta yang masih disembunyikan. Jika petunjuk demikian tidak ada, jurusita hanya bisa menindaklanjuti penyitaan ke tahap berikutnya dan tidak diperkenankan menyandera.
Soal menduga adanya harta yang disembunyikan ini, jurusita harus memiliki petunjuk atau alat bukti yang kuat dan harus siap membuktikan bila penyanderaan digugat ke pengadilan.
Melakukan penyanderaan sebelum melakukan penyitaan hanya diperkenankan bila ada petunjuk Wajib Pajak akan melarikan diri, mengecilkan usahanya, mengalihkan hartanya, atau melakukan perbuatan lain yang akan merugikan kegiatan penagihan.
Persyaratan kuantitas penyanderaan juga sudah saatnya dinaikkan. Tidak pantas lagi melibatkan banyak pihak (termasuk Menteri Keuangan) untuk mengurusi penagihan pajak yang hanya bernilai ratusan juta rupiah.
Sumber: Kontan
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak

Tinggalkan komentar