Tim Optimalisasi Pajak Belum Maksimal

taxKeberadaan Tim Optimalisasi Penerimaan Pajak yang dibentuk Menteri Keuangan pada awal tahun ini dinilai belum efektif. Hingga Mei lalu, realisasi penerimaan pajak baru mencapai 29,13% dari target. Angka ini lebih rendah dari realisasi tahun lalu.

BERBAGAI strategi untuk mendongkrak penerimaan pajak yang ditargetkan dalam APBN-P tahun ini, terus dilakukan pemerintah. Upaya ini tak hanya menggenjot intensifikasi, tapi juga ekstensifikasi pajak.

Bahkan sebagai otoritas penerimaan negara dari sektor pajak, Kementerian Keuangan (Kemkeu) telah membentuk Tim Optimalisasi Penerimaan Pajak (TOPP).

Tim ini dibentuk Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro pada awal tahun ini. TOPP bertugas memberikan pertimbangan atas berbagai regulasi yang akan dikeluarkan oleh otoritas pajak.

Tim ini diisi oleh pejabat negara dan akademisi yang mumpuni di bidang Pajak. Jabatan Ketua TOPP dipegang oleh Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Mardiasmo. Adapun Sekretaris diisi oleh Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Penerimaan Negara, Astera Prima Bhakti.

Anggota TOPP juga tak kala ngetop. Ada Fuad Rahmany dan Machfud Sidik. Keduanya merupakan mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Kemkeu. Dari kalangan akademis, ada pakar ekonomi Univesitas Indonesia, Raksaka Mahi, dan Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Wihana Kirana Jaya. Ada pula Yustinus Prastowo, pakar perpajakan yang juga direktur eksekutif Center for Indoensia Taxation Analysis (CITA).

Selain itu, TOPP juga melibatkan aparatur penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan dan Badan Intelijen Negara (BIN). Namun aparat keamanan ini tak terlibat langsung dalam kebijakan, hanya koordinasi.

Sayangnya, belakangan ini gaung TOPP tak lagi ngetop. Keberadaannya selama paruh pertama tahun ini, belum memberi dampak signifikan terhadap penerimaan pajak.

Hingga Mei lalu, realisasi penerimaan pajak hanya Rp 377,028 triliun. Dari target APBN-P 2015 sebesar Rp 1.294,2 triliun, realisasi penerimaan pajak mencapai 29,13%. Bahkan, jika dibandingkan dengan periode yang sama di tahun 2014, angka tersebut lebih rendah 2,44%.

Ironisnya, di tengah kinerjanya yang memble, sejumlah anggota TOPP mengundurkan diri lantaran semangat tim ini dinilai tak lagi sejalan. Bahkan, ada yang tidak aktif. Contohnya, Fuad Rahmany. Mantan Dirjen Pajak di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini, mengklaim, memiliki kesibukan lain, sehingga kerap tidak mengikuti rapat yang diadakan TOPP.

Menurut Fuad, tim ini hnya bertugas memantau dan memberi pertimbangan terkait kebijakan pajak. “Tim ini hanya memberi masukan, bukan operasional,” ungkap Fuad, akhir pekan lalu.

Mardiasmo sendiri mengaku, kendati ada TOPP, penerimaan pajak hingga semester I 2015 belum memuaskan atau di bawah 50% dari target APBN-P 2015 sebesar 1.294 trilliun. “Tapi realisasi penerimaan pajak tidak bisa dihitung separuh target,” katanya.

Ia menjanjikan, di sisa paruh kedua tahun ini, TOPP akan lebih intensif memantau masuknya penerimaan, ditambah dengan kebijakan-kebijakan yang telah dirilis pemerintah seperti reinventing policy dan faktur pajak elektronik (e-Faktur).

Ronny Bako, pengamat pajak dari Universitas Pelita Harapan (UPH) menilai, keberadaan TOPP tidak terlalu dibutuhkan. Selain tidak memiliki kewenangan dalam hal eksekusi, tim ini tidak memiliki tanggung jawab langsung terhadap otoritas pajak. Sehingga, fungsi pengawasannya kurang optimal.

Apalagi, kata Ronny, pemerintah juga memiliki Komite Pengawasan Pajak (KPP). Tim ini justru dibentuk secara legal setiap lima tahun sekali berdasarkan amanat Undang-Undag Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Pengawasan penerimaan pajak lebih efektif lewat KPP. Sebab, komite ini menjalankan fungsi eksekusi. “Mestinya KPP ini digerakkan. Selama ini kinerja komite pengawas pajak juga tak terlihat,” kata Ronny.

 

Sumber: KONTAN

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com



Kategori:Berita Pajak

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar