Agar Beras Tidak Mahal karena Produksi Merosot

42526_04171105042015_62280_seorang_petani_tengah_menata_hasil_padi_panenannya_663_382Setengah bulan lagi seharusnya menjadi masa yang membahagiakan bagi Edi Riyanto. Dalam hitungan Edi, pengunjung Agustus nanti padi di sawahnya siap panen.

Namun perhitungan awal itu kemungkinan besar meleset. Kekeringan selama hampir tiga bulan terakhir mengakibatkan pada milik petani asal Kecamatan Rembang, Purbalingga, Jawa Tengah, ini tumbuh tak wajar. “Dari awal pembenihan, bibit-bibit tumbuh kurang baik karena airnya kurang,” kata lelaki yang berusia 55 tahun ini. Melihat gejala itu, ia pun memastikan hasil panen nanti tidak sebagus panen sebelumnya.

Edi menuturkan, laha sawahnya seluas setengah hektare (ha) biasanya menghasilkan 30 karung gabah, atau gabah seberat 1.200 kilogram (kg) sampai 1.500 kg. nah, dalam prediksi Edi, pada panen mendatang, ia hanya mendapat lima karung gabah, atau setara dengan 250 kg gabah.

Edi bahkan sudah menyiapkan skenario lebih buruk lagi, yaitu kemarau semakin panjang. Jika skenario itu terjadi, ia hendak menanam palawija atau pohon kayu seperti albasia sebagai pengganti padi. Maklum, apabila memaksakan menanam padi, ia bakal merugi.

Kondisi ini tak hanya dialami Edi. Ancaman gagal panen juga dialami banyak petani di berbagai wilayah di Tanah Air, yang juga dibayang-bayangi kekeringan, seperti Jawa Tengah. Bahkan, ancaman kekeringan ini juga muncul di luar negeri. Kekeringan ini memang fenomena global, yang merupakan buntut dari Badai El Nino.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperkirakan gelombang panas El Nino akan menyerang wilayah Indonesia sampai November 2015. Akibatnya, awal musim hujan di tahun 2015-2016 di beberapa wilayah Indonesia akan mundur. Wilayah-wilayah yang terkena dampak El Nino antara lain Sumatera bagian Selatan, Lampung, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi bagian Selatan dan Tenggara.

S. Gatot Irianto, Direktur Jenderal Sarana dan Prasarana Kementerian Pertanian (Kemtan) menyebut, saat ini dampak kekeringan sudah menimpa lahan pertanian seluas 17.000 ha. “Jangan sampai bertambah,” kata Gatot.

Ketua Asosiasi Hortikultura dan Kedelai Indonesia, Benny Kusbini, menambahkan, lazimnya El Nino berdampak besar terhadap produksi hortikultura, seperti padi, kedelai, cabai, kentang, sayuran di gunung, dan semua produk musiman. “Saat ini memang belum terasa dampaknya karena ada yang baru masuk panen, dan ada yang baru ditanam bulan lalu,” ujar dia.

Namun, bila tidak ada tindakan, efek El Nino bisa awet hingga tahun depan. Alasan dia, sekarang ini beberapa wilayah pertanian sudah sulit air. Benny pun menyarankan, petani untuk tidak menanam apabila kekeringan berlanjut di tahun depan, demi menghindari kerugian akibat gagal panen.

 

indexImpor besar-besaran

Bila kekeringan yang dipicu El Nino berlanjut hingga November sampai Desember tahun ini, maka musim tanam yang baru akan dimulai Januari 2016 dan baru dipanen pada April tahun depan. “Jadi bia dibilang kelangkaan akan terjadi sampai dengan April 2016. Persediaan mungkin masih ada, tapi jumlahnya sedikit dan harga pasti akan naik. Nah, kekurangan ini yang harus diakali pemerintah dengan menambah jumlah impor,” ujar dia. Benny memperkirakan, kekurangan produksi hortikultura akibat El Nino di tahun sekitar 30-40%.

Selain memangkas produksi, yang berbuntut pada kurangnya pasokan dan naiknya harga, kekeringan juga berpengaruh terhadap aktivitas bisnis lain yang terkait dengan pertanian. Ambil contoh angkutan komoditas. “Belum lagi pengaruhnya terhadap penghasilan para penjual,” kata Benny.

Ekonom Samuel Sekuritas Lana Soelistianingsih menyarankan pemerintah patut mengkaji kemungkinan memasukkan kekeringan akibat El Nino dalam daftar potensi bencana nasional. “Efeknya bisa terlihat pada inflasi yang akan naik. Ini membuat pendapatan, terutama di tingkat petani, akan turun,” jelasnya. Ujung dari rangkaian sawah kekeringan ini adalah pertumbuhan ekonomi berjalan kian lambat.

Lana membandingkan ancaman dampak El Nino di tahun ini mirip dengan krisis tahun 1997. Di tahun itu, Indonesia harus melakukan impor beras besar-besaran. Kebijakan membuka pintu lebar-lebar itu harus diambil pemerintah, jika ingin mengerem laju inflasi akibat kenaikan harga beras.

Namun, kebijakan itu juga baru manjur apabila Vietnam dan Thailand tidak menderita kekeringan yang parah. Jika itu terjadi, “Harga beras di pasar internasional tidak akan naik,” kata Lana.

Di sisi lain, Indonesia patut berharap kekeringan akibat El Nino bakal mengerek harga jual minyak sawit mentah alias crude palm oil (CPO). Jika hasil ekspor dari CPO meningkat, paling tidak tekanan negatif di sektor pangan akan berkurang.

Ada empat hal yang menurut Lana bisa disiapkan pemerintah untuk menghadapi El Nino. Pertama, mengamankan pasokan pangan, minimal untuk tiga bulan mendatang, agar mengurangi tekanan inflasi jika musim tanam Agustus ini terganggu.

Kedua, menyiapkan petani untuk menanam palawija yang tidak membutuhkan banyak air. Ketiga, fokus terhadap masalah sektor pertanian di jangka pendek. Keempat, menyiapkan hujan buatan.

Seruan agar pemerintah mengantisipasi dampak El Nino dengan serius juga datang dari Dwi Andreas Santosa, Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI). “Jangan terlalu percaya diri dengan data produksi sebelumnya, bahwa ada peningkatan produksi padi, kedelai, dan jagung,” kata dia.

Dwi pesimistis target produksi padi yang ditetapkan pemerintah di tahun ini bisa tercapai. Catatan saja, pemerintah semula optimistis produksi padi tahun ini akan mengalami peningkatan 6,4% dari hasil di 2014.

Dalam hitungan Dwi, target itu berarti tersedia surplus sebanyak lima juta ton gabah. Angka itu menurut Dwi harus dicermati. “Jika benar, itu brarti sudah cukup hingga kita tidak perlu impor. Namun, dalam kondisi saat ini, kita perlu lebih waspada dalam emramal hasil produksi dan ketersediaan produk,” ujar Dwi.

Hasil studi dari berbagai lembaga internasional, dampak badai El Nino akan memangkas hasil pertanian global berkisar 15-35%. Di Indonesia, prediksi penurunan produksi cuma 10%. Angka penurunan produksi Indonesia di bawah kisaran global karena El Nino muncul saat negeri ini memasuki musim panen kedua. Dwi memperkirakan ada sekitar 800.000 ha lahan sawah yang mengalami kekeringan. Proyeksi Dwi jauh di atas perkiraan versi pemerintah yang sebesar 200.000 ha.

Pemerintah memang sudah menyiapkan strategi untuk menangkal dampak El Nino. Sejak akhir tahun lalu, ujar Gatot, mulai pejabat tingkat eselon I, II, hingga menteri di Kementerian Pertanian (Kemtan) turun langsung ke daerah yang terkena dampak kekeringan. “Pemerintag saat ini fokus untuk turun tangan dengan harapan tidak impor produk pertanian dari luar negeri,” kata Gatot.

Bentuk antisipasi kekeringan saat ini antara lain membagikan pompa air. Sejak Desember tahun lalu, Keman membagikan hampir 36.000 unit pompa air ke daerah-daerah yang rentan terserang kekeringan, seperti Lampung, Sumatra Selatan, Banten Jawa, Bali, Nusa Tenggara, dan Sulawesi.

Pemerintah juga menyediakan dana hingga Rp 100 miliar untuk membangun tempat penampungan air atau embung. Salah satu daerah yang saat ini ditangani Kemtan adalah Grobogan, Jawa Tengah. “Kemarin daerah Grobogan sempat mengalami puso atau gagal panen,” kata Gatot. Nah, di daerah Grobogan saat ini dibangun 1.000 sumur untuk menjamin ketersediaan air irigasi.

Selain Grobogan, Kemtan juga mengamankan pasokan air untuk sentra pertanian di Indramayu, Sukoharjo, Karang Anyar, Sragen. Gatot menjamin daerah kekeringan yang dalam musim tanam akan aman irigasinya. “Yang ada penanaman kami jamin airnya. Sementara yang sudah panen tentu tidak ada puso,” ujar dia.

Selain mengalokasikan dana untuk embung, Kemtan juga mengawal ketersediaan air dari Jatiluhur ke Purwakarta sampai Indramayu. “Intinya, kami turun ke lapangan,” kata Gatot. Semoga strategi itu bisa menangkal ancaman kekeringan.

 

Sumber: KONTAN

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com



Kategori:Berita Pajak

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar