Setelah sempat molor sekitar sepekan, paket kebijakan ekonomi yang dijanjikan akhirnya muncul juga. Pada Rabu (9/9) sore kemarin, Presiden Joko Widodo (Jokowi) didampingi tim ekonomi Kabinet Karya, mengumumkan serangkaian kebijakan yang bertujuan untuk mendorong daya saing industri nasional, mempercepat proyek strategis sekaligus peningkatan investasi di bidang properti.
Untuk mencapai peningkatan daya saing industri nasional, jurus yang disiapkan pemerintah adalah memangkas aturan yang selama ini dinilai menghambat selera berbisnis. Nah, menurut catatan pemerintah, ada 134 peraturan yang layak untuk dievaluasi.
Pada paket tahap I yang diumumkan kemarin, baru 89 peraturan yang dideregulasi. Perinciannya, 23 aturan berasal dari Kementerian Perdagangan, 15 aturan dari Kementerian Perindustrian (Kemperin), 10 aturan dari Kementerian Tata Agrarian dan Tata Ruang, dan 11 aturan dari Kementerian Energi Sumber Daya Manusia. Ada juga aturan dari kementerian lain, hingga total ada 17 kementerian dan lembaga yang menyumbang aturan untuk dilonggarkan di paket tahap pertama.
Menteri Perindustrian Saleh Husin berharap paket kebijakan tersebut mampu meningkatkan optimisme pelaku industri. Di Kemperin, deregulasi yang diterbitkan antara lain peraturan presiden tentang kebijakan harga gas bumi tertentu dalam kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi, dan akan efektif berlaku Januari 2016. Ada juga penghapusan Peraturan Menteri ESDM No 3/2010 tentang alokasi dan pemanfaatan gas bumi untuk kebutuhan dalam negeri. “Kami siap berkoordinasi dengan Kementerian ESDM untuk mempercepat pelaksanaan kebijakan harga gas,” ujar Saleh.
Kebijakan stimulus ekonomi juga menyinggung pengembangan kawasan industri. “Dampak paket ini adalah pengembangan kawasan industri akan lebih menyebar, tidak hanya terpusat di Jawa,” kata Dirjen Pengembangan Perwilayahan Industri Kemperin, Imam Haryono.
Suara industri
Pebisnis menyambut baik deregulasi yang menggelinding dalam paket tahap awal. Namun, mereka berharap kebijakan tersebut bisa segera direalisasikan dan sesuai dengan kebutuhan berikut kondisi di lapangan.
Ambil contoh rencana penurunan harga gas untuk industri. Ketua Umum Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB) Achmad Safiun menyatakan, pemerintah harus segera menurunkan harga gas bumi untuk industri. “Penurunan harga gas untuk industri ini tidak bisa ditunggu sampai tahun depan. Harus tahun ini, malah kalau bisa secepatnya. Kami tidak dapat menunggu terlalu lama lagi, kalau tahun depan, bisa-bisa sudah gulung tikar semua industrinya,” kata Safiun.
Selama ini, harga gas dunia terus menurun, kondisi pasar global lesu, sedang di dalam negeri harga gas tak kunjung bergerak. Padahal, bahan baku impor sudah naik lantaran rupiah melemah. Situasi ini berujung pada kenaikan ongkos produksi. “Ongkos jadi naik, daya beli turun, akhirnya pengusaha terpaksa melepas para pekerjanya. Di catatan saya, gara-gara hal ini, PHK terjadi di mana-mana, ada 200.000 pekerja di industri tekstil dilepas, lalu ada 2000-an pekerja di industri keramik juga dilepas. Maka itu, pemerintah perlu segera menurunkan harga gas industri sebesar 50% dari harga saat ini,” tutur Safiun lagi.
Sementara kalangan nelayan memiliki harapan pemerintah lebih cermat dalam mengkaji kebutuhan nelayan. Dalam paket kebijakan disebutkan adanya kebijakan elpiji untuk nelayan demi efisiensi biaya. Untuk konversi dari solar ke elpiji, nelayan akan dibekali dengan alat konverter.
Nah inilah yang menjadi persoalan. Menurut Ketua Umum Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Yussuf Solichien konverter itu hanyalah suplemen mesin kapal. Jadi, mesin kapal yang berbahan solar diberi konverter untuk elpiji.
Konverter tidak masalah bila digunakan di medan yang pasti seperti jalur darat. Namun bila alat itu dipasang di mesin kapal yang harus menghadapi situasi yang tidak bisa diantisipasi, seperti hantaman ombak, tentu akan menyulitkan.
Yussuf memberi saran supaya alat konverter itu diganti dengan mesin, bukan sekadar suplemen, tetapi mesin yang benar-benar menggunakan gas sebagai bahan bakar. “Kami tidak menolak apabila solar diganti gas, karena kami melakukan ujicoba berlayar dengan mesin berbahan bakar gas. Memang lebih irit,” ujar dia.
Dia memberi perbandingan apabila berlayar dengan mesin berbahan solar menelan biaya Rp 100.000, maka ongkos yang ditempuh dengan mesin berbahan gas hanya Rp 40.000. Yussuf bilang, ujicoba itu merupakan hasil kerjasama dengan produsen mesin dari Amerika.
Mesin berbahan gas itu bisa dipasang di kapal-kapal kecil. “Belum bisa dinikmati semua nelayan karena mesin-mesin dengan bbg ini masih butuh sertifikasi,” kata Yussuf.
Saat ini, HNSI menyiapkan kerjasama untuk mendapatkan sertifikasi dari balai pengembangan perikanan tangkap di semarang. Setelah itu, baru mesin berbahan gas itu bisa dijual ke nelayan.
Pun demikian dengan kebijakan soal perdagangan khususnya terkait stabilitas harga komoditi pangan khususnya daging sapi yang ditanggapi dingin importir. Pemerintah mempunyai kebijakan bakal memperluas negara impor sapi.
Ketua Asosiasi Pengusaha Importir Daging Indonesia (Aspidi) Thomas Sembiring mengatakan pemerintah harus jujur belum bisa mencapai target swasembada daging. Dia menuding, kenaikan harga daging yang terjadi akhir-akhir ini dikarenakan pemerintah menutup keran impor daging. “Ternyata kapasitas lokal belumlah cukup. Akibatnya harga melonjak,” ujar dia.
Bila pemerintah mau impor sapi dari India, jelas akan melanggar undang-undang karena india merupakan negara yang belum bebas dari penyakit mulut dan kuku. Risiko penyakit yang masuk nantinya akan ditanggung oleh peternak sapi di sini. Memang, harga sapi India lebih murah. Namun harus dipertimbangkan pula, harga murah itu justru menyurutkan gairah pasar peternak lokal.
Sementara bila impor dari Meksiko, memang sudah bebas dari penyakit mulut dan kuku. Namun bagaimana dari sisi harganya: lebih murah atau lebih murah? Bisa jadi justru lebih mahal. Sebab lokasinya lebih jauh dari Indonesia.
Biar begitu, secara umum Thomas setuju adanya negara importir baru untuk daging sapi. Namun, jangan dimonopoli perum Bulog. “Kalau hanya Bulog yang main ya mematikan importir yang lain. Karena Bulog bisa saja menjual dengan harga jauh di bawah pasar,” kata Thomas.
Perlu detail
Tim Riset Mandiri Sekuritas Aldian Taloputra mengatakan, dampak dari kebijakan deregulasi ini tak bisa cepat dirasakan sebab setelah deregulasi tersebut ditandatangani presiden, pemerintah akan membutuhkan waktu untuk menetapkan aturan pelaksananya.
Menurut Aldian, ada beberapa paket yang bukan hal baru dan sudah masuk dalam program di tahun ini. “detail lanjutan dari paket ini penting untuk membedakan dari kebijakan-kebijakan pemerintah sebelumnya,” katanya.
Ekonom INDEF Enny Sri Hartati menilai paket kebijakan yang dinamakan September 1 belum mampu meningkatkan ekspektasi pasar. “Paket kebijakan ini belum berhasil meningkatkan kepercayaan dan keyakinan para pelaku usaha. Lantaran isinya masih belum konkret,” ujar dia.
Padahal, dalam situasi seperti ini, kredibilitas pemerintah harus dijaga dengan kemampuan mengelola kepercayaan pasar. Namun rupanya, kebijakan yang selama ini ditunggu-tunggu oleh para pelaku tidak jelas bentuk implementasinya.
Menurutnya, aturan yang akan dideregulasi masih mengawang-awang. Masyarakat, termasuk pebisnis belum tahu aturan mana saja yang diubah, ditambah, dihilangkan, dan diharmonisasikan.
Bahkan, tidak ada kejelasan siapa yang bertanggung jawab dalam melakukan harmonisasi aturan ini. “Siapa yang menjadi kepalanya, ditugaskan ke siapa deregulasinya,” ujar Enny. Nah, pertanyaan-pertanyaan soal ketidakjelasan inilah yang membuat industri justru tidak merespon secara positif.
Enny menyarankan agar pemerintah segera menjelaskan apa bentuk konkret dari deregulasi. “Instrumennya masih belum jelas, pengusaha masih bertanya-tanya kemudahan dan kelonggaran apa saja yang akan diberikan untuk meningkatkan produktivitasnya,” katanya.
Ditunggu kejelasannya, ya Pak Presiden.
Sumber: Kontan
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak

Tinggalkan komentar