Setelah melepas dua paket kebijakan ekonomi di bulan September, pertengahan pekan lalu pemerintah kembali merilis serangkaian policy baru. Berbagai kebijakan itu punya tiga tujuan besar: memelihara kondisi makroekonomi yang kondusif, menggerakan perekonomian nasional serta melindungi masyarakat berpendapat rendah.
Jika melihat tiga tujuan yang ingin dicapainya, paket kebijakan pemerintah saat ini tak Cuma menyandang misi memperkuat nilai tukar rupiah terhadap dollar As. Ambil contoh deregulasi yang masuk ke dalam agenda menggerakan ekonomi nasional. Sasaran deregulasi itu adalah berbagai aturan pemerintah yang selama ini dinilai menjadi penghambat niat berbisnis.
Namun seperti apa penilaian para pebisnis terhadap paket kebijakan yang sudah dirilis pemerintah? Dua pekan lalu, wartawan KONTAN Surtan Siahaan mewawancarai Hariyadi Sukamdani, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Berikut nukilan dari wawancara itu.
KONTAN: Bagaimana kelompok pebisnis menilai paket ekonomi pemerintah?
Hariyadi: Apindo dan asosiasi pengusaha lain sudah memberi masukan. Jadi, pemerintah sudah memahami garis besar yang apa saja diperlukan pebisnis. Yang paling penting, jangan sampai pemerintah membuat kebijakan yang tidak efektif, yang salah sasaran.
Mengingat masalah yang disasar, terutama deregulasi, cukup luas, wajar kalau pemerintah harus mengeluarkan paket secara bertahap. Memang, masalah deregulasi ini tidak mudah dilaksanakan karena birokrasi punya alur berpikir yang kadang-kadang berbeda dan menjengkelkan. Ada ego di masing-masing kementerian dan lembaga untuk mengatur. Ambil contoh dwelling time. Ada sekian kementerian yang mau ikut mengatur. Pelabuhan itu satu contoh yang paling kusut. Seorang pejabat bea cukai pernah ngomong ke saya, kalau tempat kerjanya harus mengkoordinasi lebih dari seribu macam titipan. Ini merepotkan. Artinya, fungsi untuk pengawasan oke, tapi kalau tidak terkoordinasi, kasihan petugas yang menjadi ujung tombak.
Saya melihatnya, mengapa kita harus memangkas semua? Ya karena kalau kita urut ceritanya, ada begitu banyak ego birokrat yang ingin ikut mengatur dengan berbagai macam alasan. Begitu sudah terlalu banyak yang mau mengatur, aturan itu justru menjerat, terutama pelaku usaha. Proses bisnis menjadi lambat, hingga menimbulkan permainan suap menyuap, yang akhirnya biaya tinggi.
Contoh di daerah adalah banyaknya peraturan daerah (perda) yang melenceng dari tidak hanya apa yang digariskan pemerintah pusat, tetapi juga dari undang-undang (UU). Contohnya aturan corporate social responsibility (CSR). UU Perseroan Terbatas (PT) jelas-jelas sudah mewajibkan tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL). Namun seluruh pelaksanaan TJSL diserahkan ke perusahaan. Perusahaan yang membuat anggaran dan melaporkan dalam rapat pemegang saham. Aturan di peraturan pemerintah (PP) juga begitu. Tapi kok begitu berbentuk perda, ceritanya jadi berbeda?
Dari verifikasi yang kami lakukan ada 42 perda yang mengatur TJSL. Saya baru melihat tiga contohnya. Ketiga perda itu punya nafas yang sama, mengamanatkan perbuatan forum atau tim yang intinya mengoordinasikan seluruh kegiatan CSR di bawah pemerintah daerah (pemda) dan DPRD.
Satu perda memuat aturan yang lebih konyol lagi, yaitu anggaran program unggulan daerah bisa menggunakan dana TJSL. Ini jelas salah kaprah. Pemda, kan, sudah punya APBD yang salah satunya berasal dari penerimaan pajak. Ini jadi pembenaran untuk mengutip uang dari perusahaan, di luar pajak yang disetorkan.
KONTAN: Puluhan perda tentang tjsl ini belum terjamah deregulasi yang dilakukan pemerintah pusat?
Hariyadi: tidak karena ini aturan di daerah. Ini sekadar menggambarkan bahwa masalah yang kami hadapi tidak Cuma masalah yang sudah dideregulasi. Yang mau saya mau ungkapkan, pemerintah pusat maupun pemda memiliki kecenderungan untuk melempar tanggungjawab ke swasta. Apa yang seharusnya menjadi bagian mereka, kenapa tidak digunakan? Seharusnya mereka mengoptimalkan anggaran yang dimiliki untuk merealisasikan program yang bermanfaat. Tetapi dalam kenyataannya, banyak sekali kewajiban negara yang dilempar ke swasta.
Contoh lain yang mudah dilihat adalah BPJS Kesehatan. Pemerintah mempercepat waktu pemberlakuan untuk swasta dari seharusnya 2017 menjadi Januari 2015. Kami sudah ingatkan kapasitas BPJS belum memadai, seperti fasilitas kesehatan yang tersedia. Tapi, ya, mereka tetap memaksa karena ingin mengambil iuran. Tidak ada masalah kalau memang siap. Ternyata tidak, kan? Itu sebabnya kami minta coordination of benefit agar kami tidak harus membayar dobel, dan manfaat yang sudah kami berikat ke karyawan tetap ada.
Dasarnya di BPJS, sementara top up dilakukan dengan asuransi swasta atau kita biayai sendiri. Tapi itu tidak jalan. Akhirnya, BPJS dibayar, tapi karyawan enggan dipaksa ke BPJS. Akhirnya yang terjadi adalah kami jadi semacam amal ke BPJS. Ini, kan, namanya ekonomi biaya tinggi.
KONTAN: Apa sebetulnya masalah dalam kebijakan ekonomi kita?
Hariyadi: Saat kami bertemu, Presiden Joko Widodo mengeluhkan konsolidasi di eselon I dan eselon II yang lambat. Pejabat di tingkat itu seperti tidak men-support. Ada ego kementerian, ego korps. Semuanya ingin ikut mengatur.
KONTAN : Apakah itu berarti birokrasi gagal menerapkan kebijakan presiden?
HARIYADI : Maksud presiden bagus, tetapi pelaksanaannya bisa melenceng, bisa berubah. Banyak kejadian yang seperti itu dan perlu diantisipasi. Tapi saya melihat ada dua masalah besar di sini, yaitu masalah di pemerintah pusat dan masalah di daerah. Di lapangan, perusahaan itu sudah jadi sapi perahan, seperti kasus TJSL.
KONTAN : Apakah kebijakan yang termuat dalam dua paket yang sudah terbit itu tidak melihat masalah yang dialami oleh pengusaha?
HARIYADI : Saya kira bukan luput, tapi paketnya harus bertahap. Presiden saya lihat punya semangat yang firm. Saya yakin dia tulus. Tapi problemnya ada di birokrasi. Kalau mereka tidak support, ya, tidak jalan. Jangan lupa, presiden dan wakil presiden sebelumnya pengusaha. Mereka tahu apa yang dibutuhkan. Cuma, menteri-menteri harus bisa mengendalikan betul kebijakan. Kalau kami lihat, itu belum terjadi di Kementerian Kelautan dan Perikanan. Industri banyak yang kolaps karena ada moratorium.
KONTAN : Menteri Kelautan Susi Pudjiastuti berulang kali menyatakan moratorium bertujuan mendorong perekonomian nelayan kecil?
HARIYADI : Setuju saja dengan niat itu. Tetapi samapi kapan kita mau menunggu datangnya 5.000 kapal? Menurut saya itu tidak masuk akal. Menurut saya, tidak bisa semua disetop di saat kita membutuhkan devisa. Kalau saya jadi pejabat, seharusnya kebijakannya mempercepat karena semua masalah harus ada solusinya.
KONTAN : Dalam jangka pendek, paket kebijakan ekonomi sudah tepat?
HARIYADI : Dalam jangka pendek ada deregulasi, semua yang sifatnya menghambat, menimbulkan ekonomi biaya tinggi, dipotong. Lalu, relaksasi fiskal yang saat ini sangat agresif dan eksesif. Oke, presiden dulu salah prediksi, dipikir on ternyata tidak. Makro ekonomi dunia juga rusak.
Jadi harus direlaksasi karena kondisi sedang susah. Maksud kami, carilah sumber-sumber yang bisa diandalkan. Penegakan hukum atau compliance itu oke. Tetapi jangan sampai malah menimbulkan ketidakpercayaan. Semua pihak tolong memahami seluruh bisnis sedang kesulitan cash flow.
KONTAN : Apa pandangan pebisnis terhadap reinventing policy, atau berbagai kebijakan baru Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak?
HARIYADI : Dalam waktu dekat, tahun ini juga, setahu saya pemerintah akan mengeluarkan kebijakan pengampunan pajak. Reinventing policy sama sekali tidak menarik karena, pertama, wajib pajak kita betul-betul belum patuh. Kebijakan itu mengharuskan kita membayar kekurangan pembayaran pajak secara full dalam 5 tahun ke belakang. Itu jumlahnya pasti besar sekali bagi orang yang biasanya hanya melaporkan 10%-20% dari total omzet.
Kedua, reinventing policy hanya membebaskan denda administrasi yang nilainya kecil sekali. Ketiga, untuk mendapatkan pembebasan itu ada proses merepotkan yang harus dilalui pengusaha. Mereka harus mendapat ketetapan pajak dulu, lalu meminta pembebasan administrasi dari Ditjen Pajak.
Tidak ada jaminan juga kalau sudah mengikuti proses itu, tidak akan diungkit-ungkit lagi. Bandingkan dengan konsep tax amnesty yang tidak peduli dengan kekurangan pembayaran pajak di tahun terdahulu, dan hanya bayar uang tebusan.
Reinventing policy ini termasuk contoh bahwa apa yang diinginkan presiden tidak diikuti oleh pejabat di tingkat eselon I dan II. Sudah jelas presiden berniat memberikan pengampunan pajak, mengapa harus membuat policy lain yang aneh-aneh? Reinventing policy lah, lalu mengejar pengusaha untuk diperiksa lah. Ini justru membikin pengusaha resah.
KONTAN : Dua paket yang sudah muncul belum menyinggung masalah ketenagakerjaan. Apa harapan pengusaha?
HARIYADI : Ya kita tahu sama tahu lah, selama lima tahun terakhir upah minimum naik gila-gilaan. Ini akhirnya memukul industri padat karya. Pemerintah sudah paham situasi itu.
Kami berharap pemerintah segera mengeluarkan pengaturan tentang pengupahan. Jadi yang kami harapkan, upah harus rasional dan dikembalikan ke karakternya semula sebagai jaringan pengaman sosial. Sekarang yang terjadi adalah upah rata-rata. Kalu dikembalikan ke konsep jaring pengaman sosial, ada ruang bagi penyerapan tenaga kerja. Data BPJS Ketenagakerjaan mencatat, per 28 September kemarin, lebih dari 724.000 orang yang mencairkan jaminan hari tua. Ini masalah yang serius.
KONTAN : Bisa dibilang belum ada kebijakan pemerintah yang benar-benar menjawab harapan pengusaha ya?
HARIYADI : Saya bisa memahami karena memang tidak mungkin seluruh harapan terpenuhi sekaligus. Tapi saya confident dan mendukung penuh langkah-langkah presiden. Kami cocok dan paham ini sebuah proses. Apindo juga terpanggil untuk membantu agar ekonomi kita bangkit lagi.
Memang, kondisi ekonomi hari ini tak bagus. Tetapi kita punya kemampuan untuk keluar dari masalah terkini. Anda lihat saja sendiri, likuiditas di perbankan kita nggak jelek, malah meningkat. Itu tandanya orang tidak mau kerja, orang menahan diri semua. Ini masalah persepsi, dollar sampai kisaran Rp 14.000-an, mengapa? Bukan semata-mata masalah makroekonomi, tetapi masalah persepsi dan keyakinan yang harus kita balik. Dan saya sangat optimisis itu bisa terjadi.
Negara ini memang punya problem koordinasi di antara birokrasinya jelek. Menurut saya, beberapa menteri tidak qualified dan layak diganti.
Kalau seluruh tugas kita lakukan dengan benar, tidak akan ada masalah di 2016. Pada 1998 dan 2008 kita juga mengalami hal sama, toh kita tetap survive. Jadi masalah ini bisa dibenahi asal dikerjakan dengan serius. Memang kalau semua tidak mau kerja, ya susah. Itu sebabnya pengusaha akan marah apabila pemerintah mengambil langkah kebijakan yang justru kontra produktif.
Sumber: KONTAN
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak

Tinggalkan komentar