Program pemerintah untuk meningkatkan nilai tambah atau hilirisasi produk mineral sepertinya bakal susah jalan. Bahkan, pada tahun 2017 mendatang belum ada smelter yang sudah siap beroperasi secara penuh. Padahal, Undang-Undang No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menandaskan bahwa ekspor seluruh produk mineral mentah akan dihentikan total mulai tahun 2017.
Direktur Jenderal Mineral Dan Batubara (Dirjen Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bambang Gatot Ariyono mengklaim, meski dirinya belum bisa memerinci berapa proyek smelter yang sudah dan akan berjalan di tahun ini, saat ini sudah ada perusahaan yang menyatakan proyek smelternya berjalan sampai 75%. “Sudah ada beberapa kok yang akan beroperasi tahun ini, tapi untuk namanya saya lupa, contohnya satu di Sumatera itu perusahaan emas,” urainya kepada KONTAN, akhir pekan lalu.
Saat ini pemerintah terus meminta perusahaan tambang untuk mempercepat pembangunan smelter. Pemerintah berdalih, pembangunan smelter membutuhkan waktu lama sehingga harus segera dimulai sekarang.
Selain itu, dengan mendorong realisasi investasi smelter, pemerintah berharap pengusaha membawa dollar ke dalam negeri. Alhasil, cara ini bisa mengangkat nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat yang terus melemah.
Bambang masih optimis, ada beberapa smelter yang beroperasi pada tahun 2017 mendatang. Sebab, sesuai dengan ketentuan tahun UU Minerba, sudah tidak ada alasan lagi bagi perusahaan tambang untuk mengekspor mineral mentah tanpa memurnikannya terlebih dahulu, “Kami yakin bisa tercapai,” urainya.
Ia mengakui, memang ada ganjalan soal perizinan saat proses membangun smelter. Kondisi itu juga yang membuat proyek mangkrak. Di sisi lain, investor mulai ragu apakah pembangunan smelter ini musti mengikuti aturan Kementerian ESDM atau Kementerian Perindustrian (Kemperin). Dua kementerian ini masih berebut soal perizinan, yakni Izin Usaha Industri (IUI) dari Kemperin dan Izin Usaha Pertambangan Operasi Pertambangan Khusus (IUP OPK) di Kementerian ESDM. “Belum selesai kepastiannya mengikuti siapa, kami tunggu dari BKPM,” ungkap dia.
Bambang menuturkan, penentuan kewenangan perizinan tersebut berhubungan dengan penentuan besaran royalti. Makanya, ia belum mengetahui apakah pembayaran royalti tersebut pada saat menjual akan menjual produk kepada pembeli, atau sistemnya menjahitkan (toll smelt). “Kalau perizinan dari kami kan untuk menarik royalti. Dengan IUI royaltinya dibayar di Kementerian ESDM. Padahal intinya adalah mau optimalisasi terhadap royalti,” terangnya.
Chief Executive Officer (CEO) Harita Group Erry Sofyan menambahkan, tarif ulur bukan cuma di Kementerian Perindustrian dan ESDM, tapi juga antara pemerintah pusat dan daerah. Hal ini dia alami pada proyek di Kalimantan.
Menurut Erry, semula ditargetkan kelar Oktober 2015 tersebut, saat ini progres proyek smelter mereka baru mencapai 70%. “Agar proyek ini lancar kami juga ingin ada diskon pajak dari pemerintah, tapi permintaan kami belum dikabulkan,” kata Erry.
Di sisi lain raksasa mineral seperti PT Freeport Indonesia dan PT Newmont, Nusa Tenggara, terlihat santai-santai saja, dan tidak ngoyo untuk memenuhi target pembangunan smelter. “Masih on the track, kira-kira saat ini 15,6%,” terang Juru Bicara Freeport Indonesia Riza Pratama kepada KONTAN, Minggu (11/10).
Dua raksasa ini pilih mengirit investasi. Caranya, mereka berkongsi membangun smelter di Gresik, Jawa Timur. Namun hingga kini realisasinya sangat lambat.
Sumber: Kontan
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak

Tinggalkan komentar