Menjelang tutup tahun biasanya waktu yang tepat untuk evaluasi. Introspeksi, melihat apa yang telah berhasil dan gagal kita capai sepanjang tahun ini. Dalam organisasi, ada juga evaluasi berdasarkan Key Performance Indicator (KPI) alias acuan pokok kinerja. Apakah masing-masing telah menjalankan tugasnya dan mencapai target yang ditetapkan dalam KPI? Atau sebaliknya?
Sadar bahwa pencapaiannya masih sangat jauh dari KPI yang ditetapkan, Direktur Jenderal Pajak Sigit Priadi Pramudito mengundurkan diri pada 2 Desember 2015. Setelah menjabat sekitar 10 bulan, Direktorat Jenderal Pajak yang dia pimpin gagal mencapai target pendapatan pajak sebesar Rp 1.294 triliun. Hingga 27 November, penerimaan pajak di luar pajak minyak dan gas mencapai Rp 806 triliun. Itu berarti, baru sekitar 62,29% dari target yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015.
Menelusuri catatan penerimaan pajak selama 10 tahun terakhir, performa tersebut adalah yang terburuk. Tidak pernah terjadi sebelumnya, penerimaan pajak di bawah 90%. Dari 2005-2014, perincian realiasi penerimaan pajak sebagai berikut: 98,74% (2005), 97,5% (2006), 96,7% (2007), 106%(2008), 97,99% (2009), 98,1% (2010), 99,3% (2011), 96,4% (2012), 93,4% (2013), 91,5% (2014).
Berdasarkan data tersebut, keputusan Sigit untuk mengundurkan diri merupakan sebuah keputusan yang sewajarnya dan tepat. Apalagi, Sigit menjabat Dirjen Pajak melalui mekanisme lelang jabatan. Dus, dia mengajukan diri untuk mendapatkan jabatan tersebut dan menerima target yang ditetapkan sebagai bagian dari KPI dia. Namun, tanpa mekanisme lelang untuk jabatan ini pun, Menteri Keuangan sejatinya berhak penuh untuk mengganti siapa pun pejabat yang kinerjanya jauh di bawah KPI. Adanya mekanisme lelang jabatan tentu semakin memudahkan evaluasi jabatan.
Kegagalan mencapai target tersebut juga bisa menjadi dasar evaluasi, apakah pemberian tunjangan kinerja dan fasilitas lainnya yang diberikan memang pantas. Seperti kita tahu, pada april lalu, presiden Joko Widodo menaikkan tunjangan kinerja di lingkungan Ditjen Pajak yang bertujuan memacu kinerja. Persentase kenaikan berkisar 70%-240%, dengan besaran terendah Rp 5,36 juta untuk level pelaksana dan tertinggi Rp 117,375 juta per bulan untuk pejabat Eselon I. kenaikan tunjangan kinerja ini disertai syarat target pencapaian kinerja. Apabila pencapaian di bawah 70%, tunjangan kinerja akan dipotong 50%.
Di luar sisi positif mekanisme lelang jabatan dan aturan main yang jelas tersebut, penerimaan pajak yang terus meleset seharusnya jadi perhatian khusus pemerintah. Merujuk data di atas, sejak 2005, hanya sekali target pajak terlewati, yakni pada 2008, di bawah Menteri Keuangan Sri Mulyani. Tahun ini hampir bisa dipastikan, penerimaan pajak sangat jauh di bawah target. Pemerintah perlu mengevaluasi dan mencari penyebabnya serta solusinya.
Tentu, pemerintah bisa menyalahkan kinerja pajak yang buruk pada pelemahan ekonomi global yang berdampak pada kelesuan ekonomi di dalam negeri. Namun selain itu, pemerintah tentu harus mawas diri pula; apakah target yang ditentukan sejak awal memang realistis? Apalagi, di awal tahun sudah tercium krisis ekonomi global. Jika faktor kegagalan karena masih banyak perusahaan atau wajib pajak yang mangkir dari kewajiban membayar pajak, tentu pemerintah juga harus mencari tahu mengapa ini bisa terjadi dan seperti apa cara efektif untuk meminimalkan kecurangan ini.
Kegagalan ini bukan hanya kegagalan Sigit. Pemerintahan Joko Widodo juga gagal membuat perkiraan yang realistis. Apa artinya target penerimaan besar jika realisasinya jauh dari harapan? Sudah pasti, ini membuat rencana belanja pemerintah juga terganggu.
Sumber: KONTAN
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak

Tinggalkan komentar