Pelaku industri tekstil, keramik dan industri padat karya lain, tampaknya harus meredam kegirangan. Sebab diskon tarif listrik yang dijanjikan pemerintah seperti yang tertuang dalam Paket Kebijakan Ekonomi Jilid III tidak sesuai dengan harapan. Padahal ketika mendengar adanya potongan diskon listrik sebanyak 30%, pelaku industri sudah berekpektasi bakal terbantu dalam menekan ongkos produksi.
Ibarat iklan di swalayan, diskon tarif listrik bagi industri itu bisa didapat asal sesuai dengan syarat dan ketentuan yang berlaku. Tak heran bila pelaku industri gondok karena kebijakan itu tak sesuai saat diumumkan dengan ketika diimplementasikan sesuai petunjuk pelaksanaan yang baru saja disosialisasikan.
Ya, sejak diluncurkan September lalu, paket ekonomi memang tak lepas dari pro kontra. Paket yang terbit paling buntut di tahun 2015 adalah paket kebijakan jilid VII yang memuat kemudahan untuk izin investasi, keringanan pajak penghasilan untuk pegawai di industri padat karya selama dua tahun, dan kemudahan mendapatkan sertifikat tanah.
Paket kebijakan yang sudah dikeluarkan pemerintah itu diharapkan menjadi angin segar, obat mujarab, pelega dahaga bagi suasana investasi dan bisnis di tanah air. Namun apa lacur, ternyata paket itu terlihat tak bergigi saat diimplementasikan.
Paket kebijakan ekonomi memang ibarat resep dokter yang belum bisa ditebus di apotek karena pihak apoteker masih harus meraciknya dahulu. Pun beberapa obat yang sudah selesai diracik tak bisa segera diminum karena aturan minum yang diberikan apoteker berbeda dengan yang diberikan dokter.
Serangkaian debirokratisasi dan deregulasi yang tertuang dalam paket kebijakan ekonomi mulai jilid I sampai jilid VII yang sudah digelontorkan pemerintah ke publik masih banyak yang belum tuntas. Misalnya terkait dengan deregulasi. Mengacu ke siaran pers yang dimuat dalam website Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, pada bulan ini Presiden Joko Widodo akan mengundangkan 13 rancangan peraturan di tingkat menteri. Beleid itu meliputi 11 Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) dan dua Rancangan Instruksi Presiden.
Padahal, dari paket jilid I sampai jilid VII ada ratusan aturan yang harusnya menjalani deregulasi. Paket kebijakan ini memang bukan senjata pemerintah untuk menstabilkan kondisi perekonomian yang limbung sejak awal tahun dalam waktu singkat.
Kebijakan yang berseri itu dibuat untuk menata rencana bisnis jangka menengah dan panjang. Namun yang patut manjadi catatan adalah, pemerintah harus konsisten dan sinkron dalam membuat kebijakan.
Kebijakan itu harus sesuai antara yang diumumkan dengan yang dicantumkan dalam petunjuk teknis (juknis) atau petunjuk pelaksanaan (juklak).
Misalnya saja kebijakan mengenai diskon tarif listrik. Ternyata ada perbedaan persepsi antara pelaku usaha dengan pihak PT Perusahaan Listrik Nasional (PLN), selaku operator.
Ketua Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) Elisa Sinaga menyatakan, belum lama ini mendapatkan pengumuman tentang tata cara peaksanaan diskon tarif listrik dari PLN.
Dalam pengumuman yang diberikan oleh PLN itu, disebutkan bahwa diskon tarif 30% akan diberikan pada tambahan daya di luar pemakaian selama ini diambil dari tiga bulan pemakaian rata-rata pada bulan Agustus, September, dan Oktober. “Kelebihannya baru dapat diskon. Diskon bisa diberikan jika pemakaian pada bulan selanjutnya lebih tinggi dibanding bulan lalu,“ katanya.
Ini jelas berbeda dengan apa yang dibayangkan oleh para pebisnis. Menurut ekspektasi pengusaha, diskon tarif listrik 30% pada pukul 23.00 sampai pukul 08.00 diberikan untuk total pemakaian selama itu. Maklum saja, Muasal dari aturan ini adalah keluhan pengusaha yang dibebankan tarif listrik 50% lebih tinggi di jam beban tinggi, yakni dari pukul 18.00-22.00 atau selama empat jam. “Kami minta, jika ada beban tarif maka harus ada insentif tarif,“ jelasnya.
Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat mencontohkan demikian: bila pengusaha memakai listrik pada siang hari 1.200 watt dan pada malan hari hanya 1.000 watt, “Maka versi PLN, diskon listrik 30% diberikan untuk 200 watt itu. Menurut kami, diskon seharusnya berdasarkan pemakaian 1.000 watt,“ kata dia. Karena masih ada silang pendapat, paket ini pun belum bisa dimplementasikan. “Kami minta pemerintah pusat untuk turun tangan menyelesaikannya, yang benar yang mana,“ lanjut Ade lagi.
Sekadar mengingatkan, aturan diskon listrik ini tertuang dalam Paket Kebijakan II yang diumumkan pada Oktober lalu. Saat konferensi pers pengumuman paket kebijakan III ini, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menyatakan, harga listrik industri akan didiskon pada pemakaian pukul 23.00-08.00 sebesar 30% tanpa merinci persyaratannya.
Ketika petunjuk teknisnya turun, ternyata tidak sesuai dengan pengumuman tersebut. “Ini berbeda dari ekspektasi kami. Jika kebijakannya yang diterapkan seperti yang PLN sampaikan maka dampaknya kecil sekali. Niat untuk membuat industri berjalan jadi tidak terasa. Kami pasti masih kesulitan di daya saing, keadaan jadi tidak berubah. Ini sama saja, tak pangkas biaya produksi,” terang Elisa. Dalam hitung-hitungan versi perusahaan di industri keramik, biaya listrik memakan 11% dari biaya produksi keramik.
Pengumuman PLN yang diterima Elisa juga menjelaskan, uang mendapatkan diskon adalah yang mengajukan kepada PLN. Artinya, diskon ini tidak diberikan secara serentak kepada seluruh industri.
Menurut Elisa, baru ada satu perusahaan yang mendaftar untuk mendapatkan diskon ini. Elisa menilai, jika kebijakannya seperti itu maka tidak semua perusahaan tahu info ini dan mau mendaftar. Elisa juga tidak tahu pasti, perhitungan diskon ini sudah bisa dilaksanakan pada Desember ini atau tahun depan.
Elisa bilang, bisa jadi kebijakan yang diterapkan menurut petunjuk dari PLN ini lantaran kondisi pemerintah yang juga sulit. DI satu sisi pemerintah ingin meningkatkan daya saing industri dengan berbagai insentif. Tapi di sisi lain pemerintah sendiri harus tetap mendapatkan pemasukan untuk belanja negara. “Kami situasinya memang sulit. Tapi, insentif ini kan untuk membangun industri yang berujung mendorong roda ekonomi. Jadi, harusnya pemerintah bisa memetakan mana dampak yang ingin dirasakan lebih dulu,“ ungkap dia.
Pihaknya, akan melakukan audiensi dengan PLN yang diwakilkan oleh Kamar Dagang Indonesia (Kadin) atau Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). “Mungkin kami akan ngomong lewat Kadin atau Apindo ke PLN, yang jelas harus ada audiensi ke PLN bila kondisinya seperti ini, “ ujarnya.
Segera implementasi
Kebijakan lain yang masih menjadi perhatian pelaku industri padat karya adalah kebijakan terkait penurunan harga gas bumi. Sampai saat ini memang belum berapa penurunannya. Pemerintah menjanjikan penetepan penurunan harga gas bumi pada awal tahun depan.
“Kami merekomendasikan harga gas bisa turun mejadi US$7,41/per juta metric british thermal unit (MMBTU), Ini bisa menyaingi Malaysia yang mencapai US$5/MMBTU. Saat ini harga gas mencapai US$9,1/MBBTU,” kata Elisa.
Di sisi lain, apabila penurunan tarif gas dan diskon listrik tidak bisa diberikan untuk seluruh perusahaan, Elisa mengusulkan, pemerintah memberlakukan persyaratan untuk menerima subsidi itu. Pertama, harus diberikan pada industri padat karya. Kedua, harus diberikan pada industri mengkonsumsi listrik atau gas sekitar 10% dari biaya produksi.
Selain aturan yang memusingkan dalam implementasi seperti kebijakan diskon tarif listrik, pelaku industri juga gregetan karena aturan-aturan yang sudah disampaikan pada September lalu belum juga ada yang diterapkan.
Contohnya deregulasi terhadap Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) tentang impor tekstil yang memiliki tujuan mempersingkat proses birokrasi. Deregulasi tersebut tertuang dalam Paket Kebijakan 1 yang diluncurkan September lalu. Dengan deregulasi tersebut, birokrasi izin pengurusan akan makin singkat karena dalam aturan tersebut Importir Producer (IP) mendapatkan keleluasaan.
Maksudnya? Melalui aturan ini, saat impor barang tak perlu lagi ada surat rekomendasi yang perlu pengecekan kembali ke lokasi usaha, mengecek NPWP, dan sebagainya. Barang bisa masuk asal keanggotaan IP sudah terverifikasi. Lazimnya orang memiliki izin untuk impor dengan kapasitas tertentu dalam waktu tertentu yang tertera dalam dokumennya. Jadi, pengimpor tinggal menunjukkan dokumen IP tersebut lalu bisa impor barang.
“Aturan tentang impor belum juga diterapkan. Yang saya dengar ini masih menunggu juklak dan juknisnya. Biasalah ini, persoalan birokrasi cukup lama matangnya. Kami harapkan bisa secepatnya, kalau bisa akhir tahun ini siap diimplementasikan,” ungkap Ade.
Untui itu Ade meminta pemerintah untuk lebih serius lagi melakukan pengawasan terhadap paket kebijakan yang sudah diluncurkan. Sehingga bisa diimplementasikan tepat waktu.
Sudah ada yang jalan
Meski demikian, Ade Sudrajat mengapresiasi paket kebijakan I-VII yang telah diluncurkan oleh pemerintah Jokowi. Adanya kebijakan tersebut memiliki tujuan untuk menciptakan optimisme pebisnis. Angin segar sudah dihembuskan oleh pemerintah untuk menjaga industri agar tetap tumbuh. Untuk itu, pemerintah perlu manjaga angin segar ini tetap berhembus. “Dampak yang kami rasakan saat ini baru ada harapan. Harapan di masa depan bisnis masih bisa jalan, tidak ada lagi PHK,“ katanya.
Terlepas dari aturan-aturan yang masih belum jelas kapan bisa diimplementasikan, Ade mengapresiasi untuk dua kebijakan yang sudah dijalankan. Pertama, kebijakan cicilan listrik. Menurutnya, kebijakan ini sudah dijalankan oleh beberapa perusahaan tekstil. Namun sayangnya, Ade tidak ingat berapa jumlah perusahaan tekstil yang telah menikmati fasilitas kebijakan cicilan listrik ini.
Seperti dketahui, dalam paket ekonomi jilid III juga disampaikan adanya kebijakan penundaan pembayaran tagihan rekening listrik hingga 60% dari tagihan selama setahun dan melunasi 40% sisanya secara angsuran pada bulan ke-13. Aturan ini khusus untuk industri padat karya.
Kedua, kebijakan pengupahan. Namun, lantaran singkatnya waktu, tak semua daerah menjalankan aturan pengupahan ini. “Menurut saya, perlu bagi pemerintah pusat untuk memberikan reward and punishment bagi para pelaksana aturan tersebut. Kalau soal pengupahan, pelaksananya adalah pemerintah daerah. Untuk listrik, PLN yang in charge. Perlu ada sanksinya kalau tidak melaksanakan, “ ucapnya.
Direktur Peneliti Core Indonesia Mohamad Faisal mengungkapkan, sebaiknya pemerintah mematangkan konsep kebijakan antar kelembagaan terkait sebelum melontarkan kebijakan itu ke publik. Sebab, bila tak ada kematangan antar lembaga sangat memungkinkan terjadinya perbedaan persepsi atau ekspektasi. “Pemerintah harusnya hati-hati sebab paket kebijakan itu menjadi sinyal optimisme dunia usaha,“ pesannya.
Oleh karena itu perlu antisipasi sejak awal demi mengurangi potensi ketidakpercayaan publik karena adanya perbedaan konsep dan pemahaman yang menunjukkan belum adanya kesepakatan yang matang antar lembaga pemerintah.
Kebijakan-kebijakan yang buat pemerintah itu pasti melibatkan beberapa lembaga. “Harusnya ada sinergi antar kelembagaan sehingga yang sampai ke publik itu satu suara,“ ujar Faisal lagi.
Sumber: KONTAN
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak

Tinggalkan komentar