Penerimaan Pajak dan Beneficial Ownership

taxes

Penulis: Wiko Saputra (Peneliti Kebijakan Ekonomi, Publish What You Pay (PWYP) Indonesia)

Sudah dapat dipastikan, realisasi penerimaan pajak tahun ini tidak akan mencapai target. Sampai pertengahan Desember 2015, realisasi penerimaan pajak baru mencapai 71,3% atau sebesar Rp 924,5 triliun dari target sebesar Rp 1.294,2 triliun dalam APBNP 2015. Ini merupakan realisasi penerimaan pajak terendah dalam tiga dekade terakhir.

Pemerintah juga sudah menetapkan target penerimaan pajak dalam APBN 2016 sebesar Rp 1.360 triliun. Targetnya sangat optimistis sekali. Walaupun, asumsi kenaikan cuma 5,2% dari target APBNP 2015, tapi, kalau dibandingkan dari realisasi penerimaan pajak tahun 2015, kenaikannya bisa mencapai 27%-30%. Realistisnya, kenaikan penerimaan pajak di Indonesia paling optimal sebesar 13,5% tahun depan.

Untuk mencapai optimalisasi penerimaan pajak, banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi oleh pemerintah. Salah satunya adalah beneficial ownership. Dalam kaidah umum, beneficial ownership adalah penerima manfaat sebenarnya dalam aktifitas bisnis. Menurut OECD Tax Convention, beneficial ownership adalah pemilik yang sebenarnya dari penghasilan berupa dividen, bunga, dan royalti, baik dari Wajib Pajak (WP) perorangan maupun WP badan, yang berhak sepenuhnya untuk menikmati secara langsung manfaat penghasilan itu.

Di dalam OECD Tax Convention, juga dijelaskan bahwa conduit companies, nominee, dan agent bukan merupakan bagian dari beneficial ownership, karena pihak tersebut hanya sebagai perantara. Mereka bukan penerima manfaat sebenarnya dari sebuah penghasilan, karena dibatasi oleh kewajiban hukum, yang mengharuskan mereka menyerahkan penghasilan kepada pihak lain atau pihak yang menerima manfaat sebenarnya. Sehingga, belum tentu pemilik saham perusahaan yang terdaftar secara legal merupakan bagian dari beneficial ownership.

Dalam praktik perpajakan, informasi dan data beneficial ownership dibutuhkan untuk mencegah praktik penghindaran pajak (tax avoidance). Skema penghindaran pajak yang lazim dilakukan adalah memanfaatkan celah kerjasama perpajakan (tax treaty) antar negara. Di Indonesia, kerjasama perpajakan antar negara tertuang dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dengan negara lain.

Dalam P3B, biasanya ada skema pemberlakuan aturan khusus perpajakan, seperti pengaturan tarif pajak terhadap dividen, bunga pinjaman dan royalti terhadap WP antar negara. Salah satu contoh P3B antara Indonesia dengan Belanda. Pasal 11 dalam perjanjian tersebut mengatur pajak terhadap bunga pinjaman. Di pasal tersebut, ada ketentuan, penerima manfaat (beneficial ownership) atas bunga pinjaman, yang timbul dari pinjaman dengan jangka waktu pinjaman lebih dari dua tahun, hanya dikenakan pajak di Belanda. Artinya, Indonesia tidak berhak menarik pajak atas bunga pinjaman tersebut. Sehingga, aturan terhadap Pajak Penghasilan (PPh) pasal 26 yaitu PPh yang dikenakan atau dipotong atas penghasilan yang bersumber di Indonesia, yang diterima atau diperoleh, WP luar negeri selain Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia, tidak bisa diterapkan terhadap hal ini.

 

Penguatan integrasi data

Celah ini digunakan oleh WP untuk melakukan penghindaran pajak. Caranya, mereka mengalihkan pinjaman ke Belanda, dengan mendesain satu perusahaan pembiayaan di Belanda. Mereka melaporkan data beneficial ownership perusahaan. Tetapi, sebenarnya perusahaan di Belanda hanya conduit companies, sehingga tidak berhak mendapatkan fasilitas pemotongan pajak terhadap bunga pinjaman.

Terkait kebijakan beneficial ownership dalam perpajakan di Indonesia, sudah ada skema aturan yang tertuang dalam UU No. 38 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Tapi, aturan tidak berjalan baik, karena aturannya masih multitafsir. Selain itu, ada persoalan validitas data beneficial ownership. Pemerintah tidak bisa melacak data dan informasi beneficial ownership hanya dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), data legalitas pemilik perusahaan dan data pemegang saham. Karena, banyak data dan informasi yang ada dalam catatan legal (legal owner) di Indonesia bukanlah data dan informasi beneficial ownership. Praktik nominee (penjokian investasi) atau conduit companies sangat banyak di dalam aktivitas bisnis di Indonesia.

Untuk itu, perlu beberapa strategi khusus untuk mengatur persoalan beneficial ownership. selain untuk mengoptimalkan penerimaan pajak dengan mencegah praktik penghindaran pajak, juga menata sistem integrasi data di Indonesia.

Pertama, pemerintah harus mengintegrasikan semua data, baik kependudukan, perbankan, transaksi keuangan, legalitas kepemilikan perusahaan dan lainnya ke dalam sistem Single Identity Number (SIN). SIN sangat penting sebagai basis dasar informasi dan data perpajakan. Dengan SIN, otoritas perpajakan di Indonesia mempunyai database dan informasi beneficial ownership yang valid.

Kedua, emmperkuat kerangka regulasi terkait beneficial ownership agar ada kepastian hukum. Selama ini, ada multitafsir dalam mendefinisikan beneficial ownership dalam kebijakan perpajakan di Indonesia. Untuk itu, pemerintah perlu memperkuat aturan ini dan memasukkan ke dalam Revisi UU Pajak Penghasilan. Selain itu, perlu penyederhanaan proses administrasi perpajakan terhadap pemotongan pajak (witholding tax), terkait dengan status beneficial owner dan perjanjian pajak (tax treaty) antarnegara. Ketiga, meningkatkan kapasitas SDM di otoritas perpajakan terkait dengan beneficial ownership dan penghindaran pajak. Kebanyakan praktik ini melibatkan aturan perpajakan internasional, sehingga kemampuan SDM untuk mendeteksi praktik ini harus kuat.

Belum banyak pegawai pajak yang memiliki kemampuan itu, padahal praktik ini sudah sangat mengglobal.

 

Sumber: KONTAN

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com



Kategori:Berita Pajak

Tag:, , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar