Simpang Siur Data yang Meresahkan

Tahun ini sepertinya menjadi tahun yang berat bagi dunia bisnis di tanah air. Tidak hanya industri lokal yang terus berguguran. Perusahaan milik asing atau multinasional satu per satu tumbang.

Dari mulai rontoknya industri komoditas tambang dan migas akibat harga minyak mentah dunia tergelincir, industri elektronik, otomotif, dan farmasi juga tengah meradang. Isu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal pun menyeruak di mana-mana.

Sejak awal 2016, sejumlah perusahaan besar memilih melakukan efisiensi tenaga kerja. Sebut saja PT Chevron Pacific Indonesia, PT Panasonic, PT Toshiba hingga perusahaan otomotif asal Amerika Serikat, Ford Motor Indonesia, yang memutuskan hengkang dari negara ini.

Yang mendapat sorotan publik paling tajam adalah rencana penutupan usaha PT Panasonic Lighting di Cikarang, Jawa Barat, dan Pasuruan, Jawa Timur, serta PT Toshiba Consumer Products Indonesia di Cikarang. Maklum, opsi tersebut berdampak kepada PHK ribuan karyawan. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengklaim, sekitar 2.500 anggotanya yang bekerja di perusahaan itu bakal kehilangan pekerjaan. Perinciannya, sebanyak 1.700 karyawan Panasonic dan 970 pekerja Toshiba. Jumlah PHK terus bertambah karena ada dua perusahaan elektroknik lain asal Korea Selatan telah mengumumkan penutupan pabriknya di Indonesia yaitu PT Samoin dan PT Starlink. Dus, total jumlah pekerja yang di PHK oleh dua perusahaan itu mencapai 1.700 orang.

Tidak berhenti sampai di sini. Sejumlah pabrik otomotif asal Jepang, seperti Honda, Yamaha, dan Kawasaki juga santer diberitakan segera menciutkan pekerjanya. Diperkirakan, ribuan karyawan yang rata-rata tenaga kontrak di industri otomotif ini siap-siap melamar pekerjaan anyar.

Gelombang PHK dikatakan juga terjadi di industri farmasi. Data KSPI menyebutkan, PT Novartis sudah mem-PHK 100 orang dari total 300 orang di Kuningan, Jakarta Selatan, PT Sandoz sebanyak 200 orang dari 300 orang pekerja. Perusahaan lain yang akan merumahkan ratusan buruh, yakni PT Merck, PT Glaxo, PT Jhonson and Jhonson karena memangkas kapasitas produksi.

Presisden KSPI Said Iqbal mencatat, jumlah PHK sejak awal Januari lalu sudah mencapai 8.000 orang. “Kalau pemerintah tidak cepat tanggap, maka hingga akhir 2016 nanti, potensi PHK bisa mencapai 50.000 orang,” sebutnya.

Persaingan Usaha

Namun, Pemerintah dan pengusaha masih meragukan klaim serikat buruh soal data PHK ini karena akurasinya yang masih dipertanyakan. Sebab itu, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Franky Sibarani menilai, data PHK versi buruh harus segera dikoreksi karena berdampak negatif terhadap iklim investasi di Indonesia. “Informasi soal jumlah PHK menimbulkan keresahan,” akunya.

Beberapa informasi yang harus dikoreksi adalah soal jumlah PHK di Yamaha dan Honda. Menurut Franky, sampai saat ini, belum ada PHK di kedua pabrik itu. “PHK di Panasonic disampaikan 2.000 lebih, tapi faktanya adalah 425 orang,” paparnya.

Direktur Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) Kementerian Tenaga Kerja Sahat Sinurat menjelaskan, PHK yang terjadi di awal tahun  ini sebenarnya masih sama dengan tahun 2014 dan 2015 lalu. “Masalah yang dihadapi sejak 2014 adalah persaingan usaha global dan turunnya harga minyak dunia yang berdampak ke banyak sektor,” terangnya.

Deddy Harsono, Ketua Forum Investasi Bekasi (FIB), bisa memahami adanya silang pendapat soal perbedaan data PHK, tapi harus segera diakhiri agar tidak berkembang liar. Namun demikian, ia bilang, perusahaan dalam mengambil suatu keputusan bisnis apa pun, seperti merger, relokasi sampai menutup pabrik, sudah lewat pertimbangan masak sebelumnya.

Pertimbangan tersebut didasarkan pada pertama, kondisi lokasi tempat usaha apakah masih kondusif dari sisi upah dan aktiviatas buruh. “Sekarang upah sektoral di Bekasi mencapai Rp 3,9 juta,” ungkap Deddy. Dus, tidak heran banyak perusahaan dari Cikarang yang merelokasi pabrik ke tempat lain. Kedua, produk yang dihasilkan masih kompetitif atau tidak. Ketiga, sisi perubahan regulasi di tingkat pemerintah pusat dan daerah.

Deddy menilai, keputusan Panasonic dan Toshiba mengadakan restrukturisasi usaha karena tuntutan perkembangan pasar global yang semakin kompetitif adalah wajar. “Kalau tetap bertahan, tidak relokasi akan menutup pabrik, akhirnya mati juga akibat biaya produksi makin mahal,” bebernya.

Hal senada diutarakan Wakil Sekretaris Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Aditya Warma, yang menganggap keputusan PHK dengan alasan efisiensi merupakan hal yang natural dalam dunia bisnis dan industri. Walauapun pahit bagi buruh, PHK tidak bisa dihindari apabila cara ini mampu menyelamatkan roda bisnis tetap berjalan. “Jadi jangan hanya dilihat dari sisi buruh, bagaimana perusahaan bisa survive dari situsi sulit juga harus diperhatikan,” kritik Aditya.

Sebab itu, Apindo meminta semua pihat terkait tidak mudah saling menyalahkan. Semestinya harus saling bersinergi sehingga masalah PHK tidak tambah runyam. Dalam hal ini, tugas pemerintah proaktif memfasilitasi dan menyelamatkan karyawan yang terkena kebijakan efisiensi tetap bekerja meski di tempat lain.

Bos Panasonic Gobel Indonesia Rachmat Gobel mengakui, rasionalisasi dan restrukturisasi pabrik-pabrik yang dioperasikan Panasonic akibat produknya kalah bersaing. “Dengan rasionalisasi dan modernisasi mesin-mesin, perusahaan akan focus memproduksi barang yang sesuai dengan permintaan pasar,” ujarnya.

Adapun manajemen Toshiba dalam keterangan tertulisnya menyatakan, perusahaan ini diakusisi Skryworth Group, salah satu produsen elektronik terbesar di Tiongkok. Memang, dalam 10 tahun terakhir, Toshiba hanya memiliki satu perusahaan yang bertahan setelah enam lainnya stop operasi.

PT Sharp Elektronic Indonesia juga akan memindahkan pabrik televise di Pulo Gadung ke pabrik Karawang yang kapasitasnya lebih besar. “Pemindahan pabrik sudah direncanakan karena semua produksi Sharp pada satu tempat, yakni di Karawang,” papar Herdiana Anita Pisceria, General Marketing Product Planning Divisions PT Sharp Electronic Indonesia.

Sejatinya bukan hanya perusahaan Jepang yang terkapar, korporasi sekelas LG Electronic Indonesia dari Korea Selatan juga tidak mampu mengelak dari tuntutan efisiensi dan relokasi. “Akana ada pemindahan produksi dari Indonesia ke Vietnam. Tapi sebaliknyam pabrik di Vietnam, ada yang dipindah ke Indonesia,” jelas Budi Setiawan, Direktur Penjualan PT LG Electronics Indonesia.

Anjloknya permintaan pasar elektronik dunia plus penurunan penjualan di pasar dimestik hingga 23% pada tahun lalu ketimbang 2014, mendesak LG Electronics mengurangi jumlah karyawan. “PHK karyawan tetap tidak ada, karyawan kontrak yang dikurangi,” aku Budi.

Nah, di tengah hantu PHK yang terus membayangi-bayangi ribuan pekerja, berhembus angin segar terbukanya lowongan kerja dari 40 perusahaan yang siap ekspansi di Indonesia. Aditya membeberkan, 40 perusahaan itu tersebar di beberapa daerah, terutama Jawa Tengah dan Jawa Timur. “Perusahaan padat karya ini siap menampung karyawan yang di PHK,” tukasnya.

Berdasarkan data BKPM, hingga 2019 nanti, penyerapan lapangan kerja oleh 40 perusahaan ini ditargetkan sebanyak 189.000 tenaga kerja. Sepanjang 2015, 40 perusahaan ini sudah menyerap tenaga kerja hingga 21.383 orang atau 52,4% dari target 39.504 orang.

Menurut Franky, komitmen investasi yang ditandai dengan diterbitkannya izin prinsip, tercatat pada periode Januari 2016 senilai Rp 530 miliar atau tumbuh 85% dari periode yang sama bulan lalu sebesar RP 286 miliar. Dari komitmen investasi per Januari 2016, terdapat perusahaan Tiongkok di sektor elektronik. “Nilai investasinya Rp 125 miliar dengan rencana menyerap tenaga kerja 1.500 orang,” papar Franky.

Semoga simpang siur soal gelombang PHK bisa segera mereda.

Sumber: Tabloid Kontan

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com



Kategori:Berita Pajak

Tag:, , , , , , , ,

Tinggalkan komentar