
Belum lama ini netizen gerah dengan diblokirnya Netflix oleh salah satu penyedia internet yang lalu diikuti pernyataan Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) bahwa penyedia konten internet atau over the top (OTT), seperti Twitter dan Facebook, akan diwajibkan mempunyai kantor resmi di Indonesia. Tujuannya antara lain adalah, selain perlindungan konsumen, untuk pengenaan pajak, mengingat nilai transaksi iklan dari Indonesia di dunia digital cukup besar.
Tahun lalu saja, Menkominfo memperkirakan, sebagaimana dilansir Kompas Tekno, nilai transaksinya mencapai US$ 850 juta. Tulisan ini membahas bahwa optimalisasi pajak atas OTT sulit dilakukan. Untuk itu, dijelaskan landasan yang memungkinkan negara mengenakan pajak, dalam hal ini pajak penghasilan, dan cara perusahaan OTT menghindarinya.
Negara bisa mengenakan pajak jika penghasilan yang akan dipajaki penghasilan yang akan dipajaki berasal dari usaha di wilayahnya. Alasannya jelas, bahwa kegiatan itu menggunakan fasilitas negara, seperti jalan, keamanan, atau listrik. Bisa pula negara memperoleh penghasilan terdaftar sebagai subjek pajak di negara itu. Misalnya Indonesia mewajibkan wajib pajaknya untuk membayar pajak atas seluruh penghasilannya dari negara manapun asalnya.
Ini bisa menyulitkan karena atas penghasilan yang sama bisa dikenakan pajak dua kali. Misalnya Indonesia bisa mengenakana pajak atas dividen yang diperoleh orang Indonesia dari perusahaan di Amerika Serikat (AS).
AS berhak pula mengenakan pajak karena dividennya dibayar oleh perusahaan dari AS. Untuk menghindari ini, dibuatlah Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang berisi pembagian hak untuk mengenakan pajak. Biasanya, P3B disusun berdasarkan model tertentu, seperti Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) Model atau United Nations (UN) Model. Dari kedua model ini, yang lebih lazim dipakai adalah OECD Model.
Runyamnya, justru prinsip-prinsip yang digariskan dalam OECD Model bisa dipakai oleh perusahaan OTT untuk menghindari pajak. Pertama, dengan menghindari terbentuknya Bentuk Usaha Tetap (BUT).
Definisi BUT diatur dalam article 5. BUT disebut sebagai tempat permanen untuk melakukan usaha (fixed place of business), seperti pabrik atau kantor. Jadi BUT mengindikasikan lokasi usaha.
Menariknya, kendati bisa dipakai untuk usaha, website tak bisa menimbulkan BUT. Sebab, website dipandang sebagai kumpulan program dan data elektronis tanpa wujud fisik. Alhasil unsure permanen dalam definisi BUT tidak terpenuhi.
Oleh karena itu yang harus diperhatikan adalah lokasi computer server tempat website disimpan. Lokasi server ini bisa dipakai untuk mengindikasikan terpenuhinya syarat permanen tadi.
Tidak langsung berdampak
Namun demikian, server tidak dapat menimbulkan BUT jika tidak sepenuhnya dalam penguasaan entitas itu, seperti ketika server disewa dari perusahaan penyedia jasa hosting. Sebagai contoh, perusahaan F dari Amerika Serikat memperoleh uang dari iklan yang dipasang di layanan pertemanan online miliknya.
Jika F tidak ingin mempunyai BUT di Indonesia, F bisa menjalankan website-nya dari server yang lokasinya tidak di Indonesia, misalny di Irlandia. Jadi pemasang iklan dari Indonesia akan menempelkan iklannya di website yang tersimpan di Irlandia. Akibatnya Indonesia tidak berhak mengenakan pajak karena lokasi usahanya, yaitu server, tidak di Indonesia.
Kedua, Jika BUT terpaksa harus didirikan, pajak bisa dihindari dengan mengupayakan agar laba usaha tidak diperoleh BUT itu. Sebagai contoh, perusahaan F pada contoh di atas, disyaratkan mempunyai kantor di Indonesia.
Hal ini lalu dipatuhi F dengan mendirikan BUT berupa kantor pengembangan produk. Di sisi lain, F tetap memperoleh iklan dari situs pertemanan yang lokasi server-nya di Irlandia.
Dalam hal ini, fee iklan yang diperoleh F dari Indonesia tidak bisa dikenakan pajak di Indonesia. Sebab, penghasilannya tidak diperoleh BUT F yang fungsinya sebagai tempat pengembangan produk, bukan lokasi pemasangan iklan.
Jadi, F mempunyai BUT di Indonesia, namun laba usahanya tidak terkena pajak di sini. Pajak penghasilan yang bisa dikenakan paling sebatas pajak atas gaji karyawan yang sering kali jumlahnya tidak terlalu banyak.
Ketiga, jika BUT mempunyai penghasilan, pajak bisa diminimalkan dengan memperkecil jumlah penghasilan. Ini bisa dilakukan misalnya dengan menggelembungkan biaya lisensi atas pemakaian intellectual property milik induk perusahaan. Praktik seperti ini sulit diatasi secara maksimal karena adanya keterbatasan data pembanding dan keahlian aparat pajak.
Kantor pajak biasanya susah menganalisis kewajaran nilai transaksi seperti itu karena sulit mencari data yang sebanding. Hal ini karena memang intellectual property biasanya mempunyai sifat yang sangat spesifik.
Lalu bagaimana mengatasinya? Pertama, lakukan negosiasi ulang atas P3B Indonesia dengan negara asal perusahaan-perusahaan OTT itu untuk setidaknya memperluas cakupan BUT. Ini jelas tidak mudah dan memakan waktu yang tidak singkat.
Kedua, ubah cara penghitungan penghasilan BUT. Dalam hal ini, penerapan formulary apportionment yang penghasilan untuk pengenaan pajak dibagi antar wilayah dengan rumus tertentu sebagaimana dianut di Amerika Serikat, bisa dipertimbangkan. Ini juga tidak mudah karena melawan prinsip umum yang sekarang berlaku.
Dari sini terlihat bahwa mewajibkan perusahaan OTT mempunyai BUT tidak akan langsung membuat penghasilannya terkena pajak. Untuk ke aras sana, jalannya masih panjang.
Sumber: Kontan
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak
Tinggalkan komentar