Pengguna Baja Lapis Timah Kelimpungan

JAKARTA. Pelaksanaan Masyarakat Bebas ASEAN (MEA) mulai menekan industry dalam negeri. Selain industry yang belum siap, regulasi pemerintah juga ikut mengurangi daya saing industry dalam negeri di pasar bebas ASEAN.

Itu pula yang kini dihadapi oleh industry otomotif, industry pengalengan makanan, dan industry kemasan kaleng pengguna baja lapis timah (tinplate) maupun kaleng bebas timah (tin free steel). Mereka kini kelimpungan menghadapi naiknya harga bahan baku produksi.

Maklum, sudah produksi dalam negeri minim, impor tinplate dan tin free plate terkena bea impor dan bea masuk anti dumping yang setinggi langit. Akibatnya, harga bahan baku para pabrikan itu naik gila-gilaan.

Asal tahu saja, saat ini impor adalah satu-satunya pilihan memenuhi kebutuhan bahan baku mereka. “Kami berharap ketentuan tariff tersebut ditinjau lagi,” pinta Jongkie Sugiarto, Ketua I Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) kepada KONTAN, kemarin.

Dia berharap BMAD baja otomotif bisa dicabut. Sebab, cara ini bisa menurunkan biaya produksi mobil dan meningkatkan daya saing.

Sudah begitu, impor produk jadi kemasan kaleng, misalnya, tarifnya 0%. Alhasil, kaleng kemasan impor lebih murah dibanding buatan lokal.

Maklum, saat ini tak ada produsen tin free steel di dalam negeri, sementara hanya PT Pelat Timah Nusantara (Latinusa) Tbk yang memproduksi tinplate di Tanah Air. Persoalannya, “Produksi Latinusa tak sampai setengah total kebutuhan industry pengguna tinplate,” ungkap salah seorang produsen kemasan kaleng kepada KONTAN, kemarin.

Sebagai gambaran, saat ini kapasitas produksi tinplate Latinusa sekitar 160.000 ton per tahun sementara total kebutuhan industry sekitar 270.000 ton per tahun. Sementara 100% tin free steel masih dipenuhi impor.

Adi Surya, Ketua Umum Asosiasi Industri Pengalengan Ikan Indonesia (APIKI) menyebut, Indonesia kesulitan bersaing dengan produk dari negara tetangga karena harga produk kaleng terlalu mahal. “Ini kenyataan, bea masuk tin plate tinggi dan membuat kami tak bisa bersaing dengan produk ikan kaleng dari ASEAN,” terang Adi.

Asosiasi Produsen Kemasan Kaleng Indonesia (APKKI) menyebut, di ASEAN rata-rata tariff BMAD cuma di kisaran 0%-5%. ”Indonesia mengenakan tariff BMAD sampai 12,5% lewat PMK No 10/2014,” kata Halim, pengurus APKKI.

Keberatan lainnya yang disampaikan oleh APKKI adalah harga tin plate lokal justru menyesuaikan harga impor. “Harga produsen lokal mengikuti harga impor,” katanya.

Menanggapi tingginya BMAD terhadap produk tinplate ini, Ernawati, Ketua Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) bilang, seharusnya keberatan BMAD tin plate dilakukan saat penyelidikan, sebelum BMAD ketuk palu. “Sekarang tak ada prosedur laporan keberatan terhadap BMAD,” kata Ernawati. Namun, ia menambahkan, review bisa dilakukan jika ada bukti baru.

Sumber: Kontan

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com



Kategori:Berita Pajak

Tag:, , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar