
JAKARTA – Direktorat Jenderal Pajak mencatat tax ratio sepanjang tahun 2015 mencapai 10,47 persen. Jumlah ini jauh menurun dibandingkan dengan tax ratio pada tahun 2019 sebesar 13 persen.
Hal ini menjadi perhatian utama Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro. Bahkan, dalam pelantikan Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiastiadi pada Selasa lalu, tantangan pertama Bambang terhadap Ken adalah menaikkan tax ratio hingga dua atau tiga persen dari tax ratio saat ini.
Lantas, apa yang menyebabkan tax ratio Indonesia hanya menyentuh 10 persen pada tahun lalu?
Direktur Peraturan II Ditjen Pajak John Hutagaol mengungkapkan, rendahnya tax ratio ini menunjukkan masih rendahnya kesadaran masyarakat dalam membayar pajak. Hal ini terlihat dari total perbandingan antara besarnya pajak yang telah dipungut dengan besarnya potensi pajak yang seharusnya dapat dipungut (tax coverage ratio) yang hanya mencapai 55 persen, jauh dari angka maksimal sebesar 70 persen.
“Tax ratio belum bisa menembus 12 persen. Dalam lima tahun terakhir. Kenapa? Ini karena tax coverage ratio kita itu sekitar 55 persen. Masih ada yang di luar sebesar 45 persen lagi,” jelasnya di kantor pusat BTN, Jakarta, Rabu (2/3/2016).
Dia menambahkan, saat ini Ditjen Pajak masih mengalami kesulitan untuk meningkatkan tax coverage ratio. Sebab, hingga saat ini hanya terdapat 37 ribu pegawai yang bertugas untuk meningkatkan penerimaan pajak bagi 250 juta masyarakat Indonesia.
“Saat ini masih ada 37 ribu pegawai. Ini masih belum memadai,” tandasnya.
Untuk diketahui, berdasarkan informasi dari Dirjen Pajak Ken Dwijugiastiadi, hingga saat ini masih terdapat 129 juta masyarakat kelas menengah ke atas di Indonesia yang belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam membayar pajak, Ken pun telah membentuk Direktorat Intelijen Pajak yang diresmikan pada Selasa lalu.
Sumber: okezone.com
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak
Tinggalkan komentar