Pertaruhan Kredibilitas kebijakan Anggaran

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) perdana kreasi Jokowi-Jusuf Kalla menghadirkan fenomena baru. Untuk kali pertama, APBN 2016 mengakomodasi kemungkinan pemangkasan belanja sesuai dengan potensi realisasi penerimaannya.

Keberanian memotong anggaran belanja merupakan hal yang patut dicatat. Tampaknya pemerintah menyadari betul bahwa sisi penerimaan APBN menjadi titik api masalah. Dalam tujuh tahun terakhir, penerimaan negara praktis gagal memenuhi target. Pada 2015 lalu, misalnya, capaian penerimaan pajak hanya 83,3% atau sebesar Rp 1.240,4 triliun dari target Rp 1.489,3 triliun.

Pada tahun yang sama, serapan belanja mencapai 91% dari target Rp 1.948 triliun. Akibatnya, rasio defisit membengkak menjadi 2,8% dari sasaran awal 1,9% sehingga terjadi penambahan aliran utang untuk menambalnya.

Untuk 2016, persoalannya lebih rumit. Turbulensi eksternal di Tiongkok, Amerika Serikat, dan Eropa, merosotnya harga komoditas unggulan di pasar internasional, dan perlambatan perekonomian domestic secara simultan berimbas pada kondisi keuangan negara. Kas negara bisa kehilangan pendapatan sekitar Rp 67 triliun sampai Rp 100 triliun jika harga minyak mentah turun ke posisi US$ 40 atau US$ 35 per barel, bersamaan harga minyak sawit dan batubara yang terus merosot.

Celakanya, pembahasan UU Pengamunan Pajak juga tersendat sehingga menunda pemasukan Rp 60 triliun – Rp 100 triliun ke pundi-pundi pemerintah. Totalnya, penerimaan negara susut pada kisaran Rp 1.700 triliun dari target awal Rp 1.822 triliun.

Menyikapi potensi melesetnya penerimaan, pemerintah hendak mengurangi belanja Rp 200 triuliun-Rp 290 triliun demi menyelamatkan APBN. Dengan pemangkasan belanja Rp 200 triliun saja, total belanja jadi Rp 1.900 triliun dari sasaran awal Rp 2.096 triliun.

Pemotongan belanja ini sejatinya sangat berisiko. Secara ekonomi, pemangkasan belanja berdampak pada berkurangnya daya stimulus APBN. Belanja pemerintah menciptakan multiplier effect yang berhilir pada pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, dan pemerataan pendapatan.

Secara politis, masalah ini membawa akibat yang jauh lebih serius yaitu kredibilitas kebijakan fiskal. Sederhananya, kebijakan fiskal yang diterjemahkan dalam APBN dikatakan kredibel jika anggaran yang direncanakan sama dengan besaran realisasinya.

Inkonsistensi kebijakan

Dari sudut pandang public, kredibilitas adalah pikiran yang berkembang di benak masyarakat tentang seberapa dekat kebijakan yang digariskan dengan pelaksanaannya. Dengan demikian, kebijakan yang kredibel mampu merawat kepercayaan masyarakat untuk mendukung kebijakan itu.

Kredibilitas dapat pula dijustifikasi dari efektivitasnya. Meski memiliki kedekatan makna, keduanya tak identik. Dalam kondisi ketidakpastian, misalnya, efek konfidensi lebih banyak berperan dan respon masyarakat tergantung kredibilitas kebijakannya.

Kebijakan yang mengacu pada rencana awal sering dilawankan dengan kebijakan diskresi. Jika merujuk pada efektivitas, kebijakan diskresi tidak selalu berarti tak kredibel. Kebijakan diskresi boleh jadi efektif mengendalikan perekonomian karena diramu sesuai masalah yang dihadapi.

Namun, efektivitas kebijakan diskresi bisa diperdebatkan apakah terkait dengan kredibilitas kebijakan ataukah kredibilitas kebijakan ataukah kredibilitas si pembuat kebijakan. Contoh konkretnya, kebijakan APBN pada masa Orde Baru sangat efektif karena ditopang oleh kredibilitas sang pembuat kebijakan, alih-alih kredibilitas kebijakannya.

Dilema yan senantiasa dihadapi setiap kebijakan adalah trade off antara fleksibilitas dan kredibilitas. Terlalu longgar sebuah rencana guna mengejar fleksibilitas menyebabkan kehilangan kredibilitas. Jika kredibilitas kebijakan fiskal sudah mencapai level tinggi, RAPBN yang semula didesain akan identik dengan realisasi APBN di akhir tahun. Dengan demikian, RAPBN memiliki kandungan informasi yang sangat berharga bagi stakeholder dalam pengambilan keputusan.

Penyesuaian ulang stakeholder atas perubahan kebijakan pemerintah sangatlah mahal. Alhasil, revisi APBN 2016 potensial ditafsirkan sebagai inkonsistensi kebijakan yang mendistorsi bangunan reputasi pemerintah.

Ini semua bakal menciptakan (lagi-lagi) ketidakpastian. Kalau sudah begini, kredibilitas kebijakan dengan sendirinya menjadi pertaruhannya.

Sumber: Kontan

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com



Kategori:Berita Pajak

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar