
Siapa tak pernah mendengar istilah nilai jual objek pajak (NJOP) tanah dan bangunan? Istilah ini kian popular sejak mencuat kontroversi pembelian lahan RS Sumber Waras oleh Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta.
Sebulan terakhir NJOP juga lebih sering disebut dalam berbagai obrolan sehari-hari. Tapi NJOP ala obrolan warung kopi itu tak berkaitan dengan kasus Sumber Waras, lo. Orang-orang berulang kali menyebutnya saat membicarakan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Sudah sekitar sebulan ini masyarakat menerima surat cinta rutin dari pemerintah. Nah, banyak diantara mereka terpana dan takjub melihat besarnya pajak yang kudu disetor. Setelah sedikit melotot mecermati “surat tagihan” itu, ternyata banyak NJOP yang naik drastic. Akibatnya PBB yang kudu mereka bayar pun ikut-ikutan melonjak dari tahun-tahun sebelumnya.
Lonjakan NJOP bukan baru terjadi tahun ini saja. Selama dua tahun terakhir, para penerima SPT sudah dikejutkan oleh kenaikan semacam itu. Gejala ini terjadi semenjak kewenangan pungutan Pajak Bumi dan Bangunan dialihkan dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berpindah ke pemerintah daerah (pemda) kabupaten dan kota.
Di kota Tangerang Selatan, ambil contoh, NJOP tahun ini naik 29%. Kota Depok bahkan berencana mengerek NJOP hingga 100% secara bertahap selama tiga tahun mulai 2015 lalu. Demikian pula kota Makassar yang mendongkrak NJOP sejak tahun lalu. “NJOP paling tinggi Rp 18 juta di zona I, paling rendah Rp 34.000,” tutur Ibrahim Saleh, Sekretaris Daerah Kota Makassar.
Di seluruh Indonesia, juara kenaikan NJOP semntara ini dipegang Kota PangkalPinang, Provinsi Bangka Belitung. Pemda tetangga daerah asal Laskar Pelangi ini mengerek NJOP 2015 sampai 300%.
Lonjakan NJOP juga terjadi di Kota Bogor. Awal 2016, Pemda Kota Hujan menaikkan NJOP 80%-150%, terutama delapan zona yan tergolong jalan utama di Kota Bogor.
Sudah menjadipengetahuan umum bahwa kegetolan pemda mengerek NJOP bumi dan bangunan semata-mata didasari ambisi memaksimalkan pendapatan daerah. Tahun ini, misalnya, Kota Bogor menargetkan pendapatan PBB Rp 90 miliar, meningkat lebih dari 10% dibanding dengan tahun lalu yang hanya Rp 81 miliar.
Peningkatan perolehan PBB bukan satu-satunya efek kenaikan NJOP. Penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) juga ikut terdongkrak karena tariff BPHTB mengacu pada NJOP. Nah, tahun ini Kota Bogor memasang target perolehan BPHTB Rp 140 miliar, jauh lebih tinggi daripada perolehan tahun lalu senilai Rp 117 miliar.
Janji Manis Semasa Kampanye Terlupakan
Ampuhnya kenaikan NJOP untuk mengerek pendapatan asli daerah (PAD) sudah dirasakan Pemkot Makassar. Sejak tahun lalu PAD Kota Anging mamiri ini tumbuh hingga 70%.
Adalah hak pemkot dan pemkab menetapkan NJOP karena aturan maupun metode penetapan NJOP pun sudah jelas. Proses penyesuaian NJOP dimulai dengan penugasan pembentukan tim analisisi zona nilai tanah mendetail hingga ke tingkat kelurahan, hingga penerbitan Surat Pemberitahuan Pajak terutang (SPPT).
Cara menghitungnya juga sudah diatur UU No. 28/2009 tadi. NJOP adalah harga rata-rata transaksi jual beli yang terjadi secara wajar. Seandainya tak ada transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga objek lain yang sejenis, nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
Masalahnya, sejak pengelolaan beralih, tak sedikit pemda yang kemudian bersemangat mengerek NJOP dengan motif melulu menggenjot PAD. Reaksi warga sendiri ada dua macam. Di satu sisi ada yang mengeluh karena NJOP baru menyebabkan beban pajak mereka meningkat, tapi di lain sisi mereka yang berniat menjual tanah bersorak-sorai lantaran NJOP mendekati harga pasar.
Pertanyaannya, ujar Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation, adakah insentif dari pemerintah untuk golongan masyarakat berpenghasilan rendah? “DKI Jakarta, sih, oke sudah ada insentif berupa penggratisan PBB di bawah Rp 1 miliar. Bahkan, tahun depan, ahok ingin meningkatkan batas itu jadi Rp 2 miliar. Tapi bagaimana dengan daerah sumber PAD-tak sebanyak DKI Jakarta?” Tanya Prastowo.
Selain itu, apakah hasil pendapatan dari PBB dan BPHTB berul-berul disalurkan kembali secara maksimal kepada warga? Akankah ada peningkatan infrastruktur, pelayanan public, dan sebagainya; yang akan dirasakan warga memang benar-benar meningkat?
Kritik terhadap NJOP tentu juga terlontar dari masyarakat alias wajib pajak sendiri. Geonardjoadi Goenawan, seorang warga kota Tangerang Selatan, bercerita bahwa disekitar tempat tinggalnya ada rumah berdiri di atas lahan 34 meter persegi. NJOP tanahnya Rp 10 juta per meter persegi. “Ditambah bangunan, harganya menjadi Rp 700 juta. SIapa yang mempu membelu rumah dengan harga segitu?” ujarnya.
Tak urung dia menyimpulkan bahwa persoalan seputar tanah ini kerap Cuma menjadi bahan ”politik agrarian”. Maksudnya, ketika kampanye banyak calon pemimpin mengobral janji memudahkan rayat punya rumah. Setelah terpilih, mereka berubah haluan mengejar pendapatan asli daerah.
Sumber: Tabloid Kontan
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak
Tinggalkan komentar