
Perusahaan smelter dalam negeri terancam krisis bahan baku
Gebrakan pemerintahan untuk melonggarkan ekspor mineral ore mulai menuai pro dan kontra. Pengusaha yang sudah terlanjur berinvestasi membangun smelter merasa keberatan dan khawatir bakal kekurangan pasokan bahan baku bagi smelter.
Dasar pelonggaran ekspor mineral ini ada di Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Aturan teknis turunannya ada di dua peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Sebagai gambaran, polemik larangan ekspor mineral ini berawal dari perintah Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba), yang menugaskan pemerintah menyetop ekspor bijih mineral sejak 2014 lalu. Kebijakan ini bertujuan untuk mengembangkan industry pengolahan mineral dalam negeri.
Sejak itulah pemerintah mendorong pengusaha di dalam negeri dan luar negeri untuk investasi pabrik pengolahan dalam negeri dan luar negeri untuk investasi pabrik pengolahan minyak di dalam negeri. Tujuannya agar Indonesia menikmati nilai tambah dari sumber daya alam, yang selama ini hanya diekspor dalam bentuk bahan mentah saja sehingga harganya murah.
Kebijakan ini mulai mendatangkan hasil. Berdasarkan catatan Kementrian Energi dan Sumber Daya Alam (ESDM), saat ini, ada 27 pabrik smelter dari 14 perusahaan mineral, dengan total investasi US$ 12 miliar serta klaim menyerap sekitar 15.000 tenaga kerja.
Tak hanya kepastiannya yang meningkat, jumlah pabrik pengolahan bakal membengkak dalam beberapa tahun ke depan Beberapa perusahaan yang tercatat memiliki smelter antara lain PT Aneka Tambang, Vale Indonesia, Sulawesi Mining Investment dan Indoferro
Sebagai gambaran, apabila 27 semelter tersebut semuanya beroperasi maksimal, maka bisa menghasilkan 400.000 ton nikel murni per tahun . Untuk memproduksi 400.000 ton nikel murni membutuhkan sekitar 41 juta ton nikel ore per tahun.
Karena itulah pengusaha menuntut ada jaminan bahan baku bagi smelter yang sudah beroperasi maupun tengah dalam proses penyelesaian. Selain investasi proses pemurnian sangat mahal, tingkat risiko bisnis tinggi plus balik modal terbilang lama.
Direktur Utama Vale Indonesia Nico Kanter menyebut, investasi smelter membutuhkan modal yang sangat besar. “Tanpa konsistensi kebijakan, dukungan fasilitas, dan juga kondisi harga mineral yang baik, sulit sekali untuk berinvestasi,” katanya.
Kekhawatiran industri smelter terhadap kepastian bahan baku tersebut cukup beralasan. Merujuk hasil kajian dari analis independen Wood Mackenzie dalam outlook report yang dipublikasikan Desember 2016, menyebutkan kepastian produksi smelter Indonesia meningkat dari peringkat empat di dunia di 2015 menjadi peringkat tiga pada 2016. Dengan laju pembangunan yang cepat tahun ini, Indonesia diperkiraan memuncaki posisi dunia dengan kapasitas smelter paling besar.
Indonesia menempati peringkat pertama didunia yang memiliki smelter
Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat transportasi dan Elektronika Kementrian Perindustrian I Gusti Putu Suryawirawan menyatakan belum mengetahui berapa besar dampak dari pelonggaran ekspor mineral terhadap industri smelter . “Sejauh ini smelter yang paling banyak dan terbesar untuk nikel. Produk akhirnya yang berupa stainless stell yang dibutuhkan berbagai industry di Indonesia,” katanya.
Direktur pengembangan PT Indofero Jonatahan Handjojo mengungkapkan, dengan dibolehkannya ekspor, maka smelter dalam negeri akan kesulitan bahan baku. “Penambang lebih suka ekspor karena mereka akan menerima dalam bentuk dolar AS,”ujarnya.
Jonathan yang juga wakil Ketua Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan Pemurniaan Indonesia (AP3I) menyodorkan data produksi nikel murni hingga akhir 2016 yang hanya 180.000 ton hasil dari pengolahan sebanyak 17 juta ton bahan baku nikel. Sebelumada pelonggaran aturan ekspor pasokan bahan baku masi aman. “Kalau banyak yang memilih ekspor, maka pasokan smelter di dalam negeri terancam,” protesnya.
Sejauh ini Indoferro baru mengoperasikan satu unit pabrik pemurnian berkapasitas produksi 20.000 ton nikel per tahun. Adapun kapasitas input 1,5 juta wmp per tahun. Nilai investasi yang digelontorkan senilai US$ 290 juta. “ Pada Mei 2017 akan beroperasi satu unit smelter lagi,” ujar Jonathan.
Memangkas Harga
Meski dampak kebijakan terhadap proyek smelter belum tergambar nyata, kebijakan pelonggaran ekspor mineral dalam jangka pendek menunjukkan dampak negatif. Misalnya menyebabkan penurunan harga nikel di pasar global lantaran ada ekspektasi pasokan bijih nikel kembali membanjiri pasar.
Mengutip Bloomberg, Senin (16/1), harga nikel kontrak pengiriman tiga bulan di Londin Metal Exchage menyusut 0,8% ke level US$ 10.366 per metrik ton di banding hari sebelumnya . Dalam sepekan terkahir harga sudah tergerus 0,29%.
Nico mengingatkan, kebijakan pemerintah ini sebagai efek domino pelonggaran ekspor bijih mineral. Pertama, soal pengawasan dan penegakan hokum (law enforcement) di lapangan. Apabila pengawasan dan penegakan hokum lemah, maka akan menjadi celah penyimpangan. Sehingga pada praktiknya, ekspor tidak hanya terbatas pada jumlah tertentu dan bijih nikel kadar rendah saja.
Kedua, jika hal ini terjadi maka dapat dipastikan akan terjadi kelebihan pasokan atau over supply dan berpengaruh besar terhadap penurunan harga nikel, seperti yang terlihat dalam tren sejak pemerintah menerbitkan PP No. 1/2017. Nico memprediksi penurunan harga diprediksi bakal berlangsung lama.
Jika penurunan harga ini berlangsung lama, jelas berdammpak langsung pada pendapatan perusahaan smelter lokal. “Juga berdampak terhadap pendapatan pemerintah dari sektor nikel,” bebernya.
Di sisi lain Nico melihat upaya pemerintah untuk mewajibkan smelter menyerap bijih mineral dengan kadar rendah, akan meningkatkan unit biaya produksi smelter. Hal ini mengakibatkan operasional smelter menjadi boros.
Namun demikian, perombakan peraturan ekspor logam mineral dalam bentuk konsentrat menguntungkan perusahaan seperti Antam. Awal tahun ini, Antam kembali mendapat restu melakukan ekspor bijih nikel kadar rendah.
Sebagai catatan sebelumnya perusahaan ini tak memiliki rencana ekspor lantaran terbentur oleh aturan lama. Walhasil konsentrat mineral berkadar rendah yang sebelumnya tak berharga menjadi bernilai.
Sekretaris Perusahaan Antam Trenggono Sutioso menyatakan kinerja perusahaan sempat merah pada 2014 lantaran tidak bisa ekspor bijih nikel kadar rendah. Kondisi ini diperparah dengan anjloknya harga komoditas tambang dunia saat itu. “Imbasnya realisasi proyek smelter kami tersendat karena butuh investasi yang besar,” tuturnya.
Sebelum muncul kebijakan pelarangan, Antam mengekspor nikel kadar rendah ke China. Selain itu mineral kadar rendah ini juga bias masuk pasar Jepang dan India.
Meski demikian, Trenggono menegaskan, Antam selalu mendukung kebijakan pemerintah, termasuk relaksasi ekspor mineral secara terbatas terutama pada produk samping (by product) yang belum bias di olah oleh smelter di dalam negeri. Kebijakan ini sebagai jalan tengah agar tidak semua perusahaan tambang mati gara-gara kebijakan baru.
Namun demikian Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Syahrir AB tetap keberatan dengan pelonggaran ekspor bijih mineral termasuk by product. Menurut Syahrir, lebih efektif jika pemerintah memberikan insentif ke pengusaha yang akan membangun smelter ketimbang me longgarkan ekspor. “Kemudahan dalam hal perizinan bagi pengusaha smelter harusnya diutamakan,” tukasnya.
Meskipun bersebrangan dengan kebijakan pemerintah, hingga kini belum ada asosiasi pengusaha yang berniat meminta peninjauan kembali kebijakan pemerintah lewat jalur hokum seperti uji materi, di Mahkamah Agung, maupun di Mahkamah Konstitusi. Sepertinya pengusaha masih ingin memastikan apakah kebijakan ini bertentangan dengan UU Minerba atau bahkan bertentangan UUD. “Kami belum mengambil langkah apapun,” tandas Jonathan.
Sumber: Tabloid Kontan
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak
Tinggalkan komentar