Pemerintah Indonesia tampaknya ingin meniru kebijakan Pemerintah Singapura: mengerek tariff pajak property mewah. Bedanya, Singapura menaikkan tarif pajak rumah mewah untuk meredam spekulasi dan lonjakan harga rumah yang sangat tinggi. Sementara, Indonesia memperketat pajak property mewah demi menggenjot peneerimaan pajak, kendati pertumbuhan pasar properti tengah melambat.
Tahun ini, pemerintah menargetkan penerimaan perpajakn sebesar Rp. 1.484,6 triliun. Jumlah ini naik hampir 30% ketimbang realisasi penerimaan perpajakan tahun lalu, sebesar Rp. 1.143,3 triliun. Untuk mencapai target itu, pemerintah berencana merevisi berbagai regulasi perpajakan.
Salah satunya, pemerintah akan merevisi aturan pajak penghasilan (PPh) pasal 22 tentang penjualan barang yang tergolong sangat mewah, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 253 Tahun 2008.
Memang, tarif PPH pasal 22 untuk penjualan barang sangat mewah tetap 5%. Namun, pemerintah akan memperluas batas objek yang terkena pajak. Dalam beleid saat ini, yang termasuk barang sangat mewah adalah rumah beserta tanah harga jual di atas Rp 10 miliar dan luas bangunan lebih dari 500m2. “Sekarang patokan minimal harganya turun menjadi Rp 2 miliar atau luasnya 400 m2,” ujar Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo.
Begitu pula, batasan apartemen ataupun kondominium yang tergolong barang sangat mewah berubah. Dalam PMK 253 tahun 2008, apartemen terkena PPh pasal 22 adalah apartemen dengan harga jual di atas Rp 10 miliar, atau luas bangunan lebih dari 400m2. Nantinya, penjualan apartemen dengan harga jual di atas Rp 2 miliar atau luas bangunan di atas 150m2 akan masuk dalam kelompok barang sangat mewah dan terkena PPh pasa; 22.
Tak cukup sampai di situ, pemerintah berencana mengubah aturan pajak penjualan barang mewah (PPnBM) untuk rumah ataupun apartemen. Dalam aturan saat ini, yang tergolong rumah mewah dan terkena tariff PPnBM sebesar 20% adalah rumah denga luas di atas 350m2. Sementara, apartemen dianggap mewah jika luas bangunan lebih dari 150m2.
Irawan, Direktur Peraturan Perpajakan I direktorat Jenderal Pajak, mengatakan, pemerintah berencana memasukkan harga jual seb agai batas penggolongan rumah dan apartemen mewah. Nantinya, meski luas bangunan di bawah batas penggolongan rumah mewah, penjualan rumah atau apartemen akan terkena PPnBM jika harga jualnya di atas batas bawah penggolongan rumah mewah. Namun, Irawan mengatakan, saat ini pemerintah belum memutuskan batasan harga jual tersebut. Yang jelas, “Potensi penerimaan pajak dari revisi aturan ini mencapai Rp. 4 triliun,” kata Irawan.
Bikin ciut nyali pembeli
Pemerintah mengklaim, reivisi PPh pasal 22 untuk rumah dan apartemen yang tergolong barang sangat mewah tidak akan membebani konsumen. Penyebabnya, setoran PPh pasal 22 secara otomatis akan mengurangi PPh terutang dalam surat pemberitahuan (SPT) pajak penghasilan di akhir tahun. Jika nanti terjadi kelebihan bayar, wajib pajak bisa melakukan restitusi. “Aturan ini lebih untuk melihat profil dan kepatuhan wajib pajak”.” Ujar Wahyu Karya Tumakaka, Direktur Penyuluhan dan Pelayanan Masyarakat Ditjen Pajak.
Namun, revisi aturan ini jelas akan memberatkan konsumen yang ingin membeli rumah atau apartemen dengan harga di atas Rp 2 miliar. Direktur sekaligus Sekretaris Perusahaab Ciputra Development Tulus Santoso menilai, pungutan PPh 5% akan memaksa calon konsumen menyediakan dana lebih besar. Meski bisa dijadikan pengurang pembayaran pajak penghasilan di akhir tahun, pungutan pajak ini akan semakin membebani konsumen di tengah penuruni daya beli masyarakat.
Menurut Tulus, masyarakat akan menganggap pungutan 5% sebagai beban tambahan. Bisa jadi, sebagian dari mereka membatalkan niat membeli rumah di atas Rp 2miliar. Bisa juga, mereka lebih memilih membeli rumah dengan harga di bawah Rp 2 miliar agar mereka tidak terkena pungutan PPh pasal 22.
Direktur Keuangan Pakuwon Jati, Minarto Basuki, mengamini rencana aturan ini akan membikin nyali konsumen menciut. Tambahan dana yang harus disiapkan calon pembeli jelas memberatkan. Karena itu, pemerintah sebaiknya melakukan sosialisasi rencana aturan tersebut dengan baik.
Jika alasannya untuk mengetahui profil wajib pajak, Minarto menilai, kebijakan pemerintah memperluas batasan objek PPh pasal 22 untuk properti kurang tepat. Toh, selama ini, ttransaksi jual beli properti sudah transparan. Pembeli juga harus melampirkan nomor pokok wajib pajak ( NPWP) pada saat penandatanganan akta jual beli.
Selain itu, batasan harga jual sebesar Rp 2 miliar tidak tepat. Menurut Minarto, apartemen dan rumah seharga Rp 2 miliar di beberapa tempat tidak bisa dibilang mewah. Direktur Eksekutif Indonesia Properti Watch (IPW) Ali Tranghanda sepakat, batasan harga jual Rp 2 miliar tidak sesuai dengan kondisi di lapangan. “Rumah seharga Rp 2 miliar tidak termasuk rumah mewah apalagi sangat mewah,” tutur Ali.
Jika pemerintah tetap memaksakan aturan tersebut, Ali menilai, penjualan properti akan melambat. Padahal, saat ini pasar properti masih tertekan akibat penurunan daya beli masyarakat, suku bunga tinggi, dan kebijakan Loan To Value (LTV). Jika transaksi jual beli properti semakin sepi, aturan ini akan menjadi boomerang bagi pemerintah. Penurunan transaksi jual beli properti bakal berujung kepada tergerusnya penerimaan pajak dari pajak pertambahan nilai (PPN) yang disetor pembeli dan PPh final yang disetor pengembang.
Jadi? Pemerintah sebaiknya tidak asal mengeluarkan jurus-jurus menggenjot penerimaan pajak, tanpa menghitung buntut yang akan muncul.
Sumber: Kontan
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak


Tinggalkan komentar